Roadmap PLTS Mendukung 23 Persen EBT Pada Tahun 2025

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) didorong untuk mempercepat pemanfaatannya di dalam negeri dalam kontribusi EBT hingga mencapai target bauran energi 23% pada tahun 2025. Bagaimana langkah strategis untuk mencapai target tersebut?

Akselerasi pemanfaatan energi surya belakangan ini kian menekan “pedal gas” Energi Baru  Terbarukan (EBT) yang  memungkinkan cepat dieksekusi dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit EBT sektor lainnya. Meskipun saat ini biaya konstruksinya masih lebih mahal dibandingkan sektor energi EBT lainnya.

Menurut prediksi German Federal Government, sumber energi primer dunia hingga tahun 2100, menunjukkan bahwa mulai 2030 sumber energi primer yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dunia (minyak, batubara dan gas bumi) akan mengalami penurunan drastis dan akan digantikan dengan sumber energi terbarukan terutama energi surya.

Namun demikian, menurut Kepala Bidang Publikasi Penyelenggaraan Hari Listrik Nasional (HLN) 74, yang digelar Msyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) pada September tahun 2019 Roestomo, investasi komponen pembangunan PLTU  per 1 MW mencapai US$ 1,2 – 1,5 juta, biaya pembangunan PLTS bisa mencapai US$ 2 juta per 1 MW. “Artinya  tarif listrik PLTS lebih tinggi sedikit. Kalau tarifnya dinaikkan sedikit, harus mengikuti Biaya Pokok Penyedia Pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Investor merasa keberatan karena biaya pokok PLTS tidak masuk. Sekarang sedang dibahas masalah ini, supaya investor bisa tertarik investasi  di sini,” katanya serius kepada pelakubisnis.com.

Roestomo menambahkan, membangun PLTS memerlukan lahan yang luas. Ia memberi contoh, 1 hektar lahan untuk solar sel hanya menghasilkan 0.8 MW. “Pembebasan lahan kan menjadi masalah tersendiri. Kecuali seperti program PLN, yang mana waduk-waduk milik PLN untuk Pembangkit Tenaga Air (PLTA), di atasnya dibangun solar sel terapung, sehingga tidak ada pembebasan lahan,” tambahnya.

Menurut catatan pelakubisnis.com, harga energi terbarukan ke depan semakin menurun. International Renewable Energy (IRENA), sebuah organisasi yang memiliki sekitar anggota 150 negara, baru-baru ini mengeluarkan sebuah laporan tentang tren harga energi terbarukan. IRENA mengatakan biaya untuk membangkitkan listrik energi matahari telah turun sebanyak 73% sejak tahun 2010.  Biaya pembangkit tenaga matahari telah turun menjadi USD 0,1 per kwh.

Dari tahun ke tahun, tren global harga listrik tenaga surya makin murah. Bahkan, turun jauh, dari Rp100 juta, kini Rp14 juta – Rp18 juta per satu kilowatt. Di Indonesia harga listrik tenaga surya turun jadi US$3 sen hampir Rp500 per KW.

Menurut  Dirjen  Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE),  Dadan Kusdiana, tren PLTS semakin rendah. Boleh jadi fenomena ini mendorong pemerintah melakukan akselerasi pembangunan PLTS untuk mendukung program bauran energi 23% pada tahun 2025.

Meskipun koordinasi lintas sektor khususnya di sektor industri PV (Photovoltaic)  atau   solar sell, kata Dadan, ada di Kementerian Perindustrian, sementara di Kementerian ESDM, khususnya di Dirjen EBTKE adalah menciptakan pasarnya, supaya industrinya masuk dalam negeri . “Sebetulnya Industri ini sudah ada, tapi sifatnya masih laminating, belum sampai ke industri hulu. Idealnya, kalau marketnya sudah cukup, maka sampai sektor hulusnya lengkap,” kata Dadan kepada pelakubisnis.com, pada 1 Desember lalu.

Lebih lanjut ditambahkan, kalau industrinya sudah lengkap dan terintegrasi, sehingga kita bisa bersaing, “Sekarang ini tidak bisa dipungkiri, dari lokal harganya  lebih mahal. Kita mau dorong PLTS cepat, tapi sebagai impor atau kita seperti sekarang agak sulit bersaing  di dalam negeri,”tukasnya.

Menurut  Dadan,  kondisi ini dua-duanya tidak bisa kita pilih, kita punya rencana yang terintegrasi, supaya industrinya tumbuh di dalam negeri, investasinya juga ada, kita dorong supaya marketnya ada di dalam negeri .

Dadan menambahkan, Kementerian ESDM membuat market  PLTS supaya ada. Dan saat  Ini sudah ada,  “Kita ciptakan market  sebanyak  4,8 WG  selama 10 tahun. Kira-kira setahunnya 500 MW. Kalau pemahaman saya angka sebesar ini, industri solar sell sudah siap untuk investasi untuk membangun industri yang lengkap di dalam negeri. “Apalagi nanti kalau kita dorong untuk PLTS Atap. Sekarang  Pertamina sudah pasang di mana-mana, di fasilitas-fasiltas SPBU. Hal itu merupakan tambahan pasarnya,” katanya  lanjut.

Di sektor industri, misalnya, menurut Dadan, di sektor –sektor industri juga sudah memasang PLTS, misalnya, Blok Rokan sudah pasang PLTS, kemudian di industri mineral dan industri-industri lain juga mengikuti. “Hal ini dilakukan dalam hal prinsip-prinsip perubahan iklim  net zero emission dan semua   akan mengarah ke sana..” katanya serius.

Kira-kira kontribusi PLTS sampai 2025, bisa berapa besar kontribusinya? “Saya   belum bisa menghitung dari sisi KwH dengan persentase energinya. Tapi dari sisi PLTS yang on grid ke PLN target kita adalah 4,6 GW sampai 2030. Kita menargetkan tambahan untuk PLTS Atap sekitar 3 sampai 3,6 GW sampai tahun 2025. Ini adalah target yang ada di PLN,” seraya menambahkan mudah-mudahan untuk kontribusi sektor listrik bisa lebih di angka 23%,” kata Dadan. Karena perlu angka tambahan yang mungkin kurang di sektor BBM mencapai 23%. Sementara dari sisi elpiji bagaimana untuk EBT nya. Sulit, tidak ada sekarang. Pakai biogas  sangat kecil. Jadi elpijinya tetap, tapi listrik akan lebih dari angka 23%. Kita punya tabungan-tabungan dulu, jadi yang kurang-kurang ini bisa disubsidi di sektor listrik.

Sementara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya mendukung realisasi bauran EBT nasional.  Satu upaya yang dilakukan antara lain dengan mendorong pengembangan industri panel surya nasional melalui roadmap (peta jalan) yang telah disusun hingga tahun 2025.

 “Tentunya upaya ini akan memberikan efek berganda bagi perekonomian Indonesia. Baik dari sisi kemampuan industri maupun dari transfer teknologi yang sejalan dengan tekad pemerintah dalam mendorong ekonomi hijau,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (14/9).

Agus menjelaskan, guna mendukung pengembangan industri panel surya nasional, Kemenperin telah menyusun peta jalan dengan didukung berbagai kebijakan strategis. “Di dalam roadmap-nya sudah mencakup pemetaan untuk mengukur kemampuan industri penunjang ketenagalistrikan,” tuturnya.

Sementara Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Doddy Rahadi menyampaikan, peta jalan tersebut telah dimulai dari tahap pertama periode tahun 2016 – 2018, yaitu pemenuhan target Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 40% yang meliputi untuk pembuatan wafer, solar cell, dan solar module. Saat ini, terdapat 10 pabrikan modul surya di Indonesia.

Pada periode tahun 2019 – 2020, ditargetkan nilai TKDN meningkat menjadi 76% yang didukung dengan adanya ingot factory. Kemudian periode tahun 2020 – 2022, diharapkan mencapai target TKDN sebesar 85% dengan adanya solar grade silicon factory. “Tahap terakhir pada periode tahun 2023 – 2025, pencapaian nilai TKDN minimal sebesar 90% dengan adanya metallurgical grade silicon factory,” tutur Doddy.

Sementara Kementerian ESDM, menurut Dadan Kusdiana,  energi surya mampu mengakselerasi pertumbuhan EBT di Indonesia sekaligus mentransformasi kebutuhan energi bersih di masa mendatang. Pemerintah tengah bergerak cepat  melakukan tiga pendekatan agar pengembangan listrik tenaga surya bisa tumbuh lebih cepat.

“Matahari ini kan ada di manapun. Dari segi potensi, matahari ini sangat membantu menuju net zero emission. Bisa dibilang surya merupakan pilihan ekspansi (EBT) yang tak terbatas,” jelas Dadan saat diskusi virtual bertajuk Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR, pada 19/8.

Dalam proses pengembangan PLTS ini, lanjut Dadan, Pemerintah memiliki tiga pendekatan. Pertama, PLTS Skala Besar dengan target pembangunan 4,68 Giga Watt (GW) setara dengan reduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 6,97 juta ton CO2e. Selanjutnya, target PLTS Terapung di 271 lokasi setara 26,65 GW dengan reduksi emisi GRK sebesar 39,68 juta ton CO2e.

“Kita sudah punya contoh yang baik dari PLTS Terapung Cirata dan kita ingin memiliki proyek kelanjutannya. Apalagi isu dari pengadaannya hampir minim,” ujar Dadan.

Pendekatan terakhir adalah pengembangan PLTS Atap dengan target mencapai 3,61 GW atau setara menurunkan emisi GRK 5,4 juta ton CO2. “Kami sudah melakukan kajian melihat dari sisi pemanfaatan ekspor-impor dengan prinsip 1:1,” beber Dadan.

Walaupun sampai triwulan III tahun2021, berdasarkan data dirjen EBTKE kapasitas terpasang PLTS baru mencapai 190 MW dan target sampai akhir Desember 2021 mencapai 308 MW. Namun target PLTS berdasarkan Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik (RUPTL) sampai tahun 2030  sektor PLTS mencapai 4680 MW.

Dadan meluruskan prosedur ekspor-impor listrik PLTS Atap dengan prinsip dimaksud. Berdasarkan hasil survei internal, hasil produksi listrik dari PLTS Atap tidak seluruhnya masuk ke jaringan PT PLN (Persero). “Misalnya dari produksi listrik 100 kWh, kalau di rumah tangga hanya 24% masuk ke PLN. Sementara untuk industri, angkanya lebih kecil lagi antara 5-8% karena di produksi sendiri,” tegasnya.

Ia pun menampik skema ekspor-impor PLTS Atap yang dinilai dapat mengganggu finasial PLN . “Jadi PLN bukan mengalami kerugian, tapi sisi pendapatannya berkurang. Pemerintah sudah menghitung itu. Makanya kami dorong untuk melakukan perbaikan dari sisi jam operasi pembangkit,” ungkap Dadan.

Melalui proses pendekatan tersebut, pemerintah meyakini  pangsa pasar PLTS akan tumbuh lebih cepat sehingga membantu percepatan bauran EBT 23% di 2025. “Saya punya keyakinan kalau kita punya market 500 MW setahun di dalam negeri. Industri hulunya akan masuk ke sini dan di saat yang sama bisa meningkatkan dari sisi Tingkat Komponen Dalam Negeri,” harap Dadan.

Sejumlah upaya untuk menjawab tantangan pengembangan PLTS adalah menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas pengembangan PLTS dalam kebijakan dan perencanaan, meningkatkan kualitas modul surya produksi dalam negeri melalui SNI Wajib sesuai Permen ESDM No 2/2021, dan bersama Kementerian Perindustrian melakukan fasilitasi terkait kebijakan TKDN antara pengembang dan industri dalam negeri. 

Sementara Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bersama Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), serta didukung oleh Asosiasi-asosiasi Energi Terbarukan dan pemangku kepentingan PLTS Atap mengadakan kegiatan berjudul Bincang-Bincang dengan METI tentang “Pengembangan Industri Energi Surya sebagai bagian dari Transisi Energi Menuju Energi Berkelanjutan.”

Acara itu dalam rangka mendorong pemanfaatan energi terbarukan secara lebih luas dan menguatkan Kembali komitmen pemangku kepentingan untuk mendukung Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). GNSSA  bertujuan  mempromosikan pemanfaatan PLTS Atap sebagai bagian dari kontribusi masyarakat untuk mencapai target energi terbarukan dalam bauran energi dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) diharapkan mampu mendorong pemasangan PLTS Atap di rumah-rumah masyarakat atau bangunan milik pemerintah atau pelaku usaha.[] Yuniman Taqwa Nurdin