Nilai Kemerdekaan Sebuah Kritik

Oleh: Yuniman Taqwa Nurdin

Tujuh puluh delapan tahun Indonesia merdeka bukan lagi  usia remaja yang masih mencari jati diri. Di usia itu seharusnya bangsa ini sudah matang dalam menentukn warna jati dirinya sebagai suatu bangsa. Sebagai suatu bangsa,  persoalan identitas diri – dalam persepktif ideologi — tak lagi dipersoalan. Seharusnya semua anak negeri  dapat bercermin dari masa silam terhadap “gunjang ganjing” yang mencoba merubah ideologi yang telah menjadi konsensus bersama.

Namun demikian pluralisme yang menjadi cira khas bangsa terkadang terbawa sikap primodial yang sulit mengendalikan egoisme. Pertentangan karena perbedan pola pandang, ideologi, kerap dieskploitasi oleh “oknum-oknum” politik praktis hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan. Satu sama lainnya sengaja dibenturkan agar terjadi chaos, sehingga boleh jadi dapat merubah “haluan kekuasaan” dalam mengendalikan arah perjalanan bangsa.

Bukan tidak mungkin arah perjalanan bangsa digiring hanya berdasarkan “kacamata kuda” dalam menjalankan pemerintah. Jalannya pemerintah dalam persepekti “kacamata kuda” hanya melihat searah dan di kanan dan kiri serta sekitarnya hanya merupakan objek. Perubahan acap dijadikan “kata-kata manis” menghipnotis hanya untuk kepentingan menarik simpati.

Tak pelak lagi, model-model demokrasi cara demikian menghalalkan segala cara. Kelompok-kelompok yang berambisi menduduki pucuk pimpinan, misalnya, bukan tidak mungkin sengaja “memelihara provokator” untuk menjatuhkan lawan-lawan politik. Baru-baru ini Rokcy Gerung,  seorang filsuf dan akademisi acap melontarkan  kritik tanpa adab! Justru yang muncul adalah kata-kata kasar yang menjurus pada penghinaan. Demi sebuah kebebasan – kata-kata kasar dan menghina – baginya merupakan kemerdekaan di dalam demokrasi. Di cari alibi untuk menghindar dari jeratan hukum.

Walaupun sebetulnya Presiden Joko Widodo bisa melaporkan kasus penghinaan tersebut karena  pernyataan Rokcy Gerung merupakan delik aduan. Namun demikian, saat artikel ini ditulis, Jokowi tidak melaporkan Rocky Gerung atas  penghinaan itu kepada pihak kepolisian. Justru yang melaporkan kasus tersebut  adalah para relawan Jokowi dan PDI Perjuangan.

Sampai 11 Agustus lalu, sedikitnya ada 25 laporan polisi yang ada di Bareskrip Polri dan Polda jajaran. Ada dua laporan yang melapor ke Bareskrip, Polda Metro Jaya ada empat laporan, Sumatra Utara tiga laporan, Kalimantan Timur ada 11 laporan, Kalimantan Tengah ada tiga laporan dan Polda D.I Yogyakarta  sebanyak dua laporan.

Dalam video yang beredar, tampak Rocky Gerung mengkritik kebijakan Jokowi dalam membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Rocky yang tak setuju dengan IKN lantas mengutarakan dua kata yang menjadi polemik itu.

Begini penggalan pernyataannya: Dia pikirin nasibnya sendiri, dia nggak pikirin kita. Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat, tapi bajingan tolol sekaligus pengecut. Bajingan tapi pengecut, sebagaimana dikutip dari kumparan.com, poasting 10/8.

Pernyataan Rocky inilah yang kemudian memancing sejumlah respons. Mulai dari simpatisan hingga pihak PDIP  berbondong-bondong melaporkannya ke polisi. Fenomena itu merupakan feed back atas pernyataan yang dilontarkan Rocky Gerung. Sementara Jokowi dengan santai menyikapi pernyataan tersebut bahwa persoalan itu persoalan kecil. “Itu hal-hal kecil. Saya kerjas saja,” kata Jokowi.

Boleh jadi Jokowi tidak terpancing atas umpan yang ditebar Rocky Gerung. Rocky Gerung “siap pasang badan” bila ada respon dari Jokowi untuk mengadukan persoalan ini ke pihak kepolisian. Bukan tidak mungkin  kelompok-kelompok anti Jokowi akan memainkan dan membuat desain baru dengan menyebarkan provokator bahkan sikap Jokowi merupakan tindakan represif, sehingga akan menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan-tindakan lebih agresif lagi.

Itulah agenda setting di iklim demokrasi yang kebablasan! Kritik  tanpa adab – bukan cermin budaya luhur negeri ini. Tapi demi kebebasan – sebagai manifestasi kemerdekaan – menjadi “halal” menurut prespektif   kelompok yang ingin menjatuhkan presiden. Di mana akal sehat kehilangan tuah, sehingga kritik-kritik tidak lagi mempertimbangkan esensi. Justru motif komunikasi yang dibangun  untuk menyerang pihak tertentu dengan cara-cara provokator dan propaganda agar terpancing emosional komunikan.

Padahal belum tentu “budaya impor” seperti itu membawa kemaslahatan. Ideologi libralisme dan kapitalisme, misalnya, apakah menjadi nilai yang sesuai dengan budaya Indonesia? Sementara infiltrasi budaya asing yang masuk ke sini (Indonesia) seakan menjadi nilai yang prestisus yang diagung-agungkan sebagai suatu modernitas. Pertanyaannya apakah modernitas barat merupakan absolut suatu kemajuan?

Apakah libralisme atau kebebasan meruakan manifestasi dari kemerdekataan? Jangan diarikan kebebasan merupakan simbul kemerdekataan. Kebebasan mengeluarkan pendapat memang dibenarkan. Tapi kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa adab – tanpa ada hukum sebab-akibat dari pernyataan tersebut  akan kehilangan “roh” dari nilai sebuah kritik.

Menyampaikan kritik, bahkan “protes pedas’ dari sebuah realitas jalannya pemerintah tanpa ada kesalahan atau pelanggaran dalam menjalankan pemerintah adalah merupakan kesia-siaan. Apalgi kritik yang dilontarkan Rocky Gerung  hanya semata-mata untuk memancing emosional massa. Pasalnya, pernyataan Rocky Gerung tersebut dicoba menjadi “bensin” untuk membakar emosi massa buruh yang akan melakukan demo besar-besaran pada 10 Agustus 2023.

Massa buruh yang turun ke jalan pada 10 Agustus lalu membawa tuntutan pembatalan dan pencabutan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja; menuntut pencabutan Undang-Undang Kesehatan; menuntut pencabutan Undang-Undang P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan); mendesak pemerintah mewujudkan Jaminan Sosial Semesta Sepanjang Hayat.

Sementara pihak kepolisian yang mengamankan jalan demo buruh tersebut tidak terpancing melakukan tindakan kekerasan. Tapi justru pihak keamanan memberi kesempatan secara simpatik untuk melakukan aksi demo, walau berlangsung di luar batas waktu yang telah ditetapkan aturan perundang-undangan tentang batas waktu demo sampai pukul 18.00 WIB. Demo buruh tersebut berlangsung sampai pukul 23.00 WiB, secara berlahan membubarkan diri.

Ternyata demo buruh tersebut tidak terpancing atas pernyataan Rocky Gerung. Boleh jadi aktor intelektual yang berada di balik pernyataan Rocky Gerung menjadi gagal total.

Dari peristiwa ini kita bisa ‘bercermin diri” bahwa kritik-kritik provokator tanpa adab untuk kepentingan politik praktis dengan lebel kebebasan menyatakan pendapat bukan merupakan nilai kemerdekaan. Nilai kemerdekaan dalam suatu bangsa – meski bisa diterjemahkan dalam arti luas — tidak bisa menjadi senjata pamungkas sebagai pintu masuk membuat chaos untuk menjatuhkan presiden yang sedang berkuasan, yang disukai  lebih dari 80 persen tingkat kepuasan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Presiden Joko widodo.[]

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com