Selamatkan Lingkungan Dari Hal Kecil

Oleh : Abrar Rizq Ramadhan

Menyoroti persoalan  lingkungan dari perspektif ekologi politik memang cukup menarik. Pendekatan ini merupakan cabang ilmu yang mengkaji isu-isu lingkungan dengan sarana politik sebagai dasar mempelajari pengaruh aspek politik terhadap lingkungan. Tujuannya untuk merekonstruksi kebijakan publik terkait lingkungan sekaligus mengkaji fenomena perubahan iklim.

Satu dekade terakhir ini, isu  perubahan iklim menjadi perhatian masyarakat dunia. Dalam pertemuan Leaders UNFCCC COP 21 di Paris, Perancis misalnya, yang berlangsung pada 30 November 2015 sampai 1 Desember 2015 dan dihadiri 135 negara di dunia, termasuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dalam pertemuan tersebut, sekitar 195 negara menjalin kesepakatan untuk mencegah kenaikan suhu bumi hingga 2° celcius. Ditambah dengan 188 rencana iklim yang diusulkan dalam forum tersebut dan pendanaan iklim. Kesepakatan internasional ini disebut juga dengan Paris Agreement.

Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia ke depan dalam pengurangan emisi yaitu penurunan emisi 29 persen  di tahun 2030 dan 41persen dengan kerja sama internasional.‎

Sebab, bila tidak ada tindakan nyata dalam menekan emisi gas buang, maka diperkirakan pada 2050 dunia akan berubah drastis            . Perubahan itu bukan dikarenakan  globalisasi maupun perkembangan teknologi, tapi ke arah  negatif yakni krisis iklim.

Dengan keadaan dunia pada masa ini, tidak mustahil skenario itu akan terwujud. Kapitalisme industri di negara-negara maju terus memanasi bumi dengan polusi-polusinya. Belum lagi  upaya pengosongan lahan hutan dengan cara penebangan maupun pembakaran sehingga polusi makin meluas, menyebabkan susah mendapat udara  bersih.

Peningkatan suhu yang signifikan ini akan sangat memungkinkan mencapai suhu di angka 60°. Pada kondisi ini  manusia tidak bisa hidup lebih dari 6 jam per hari. Dari skenario tersebut, manusia tidak akan bisa bekerja secara produktif dikarenakan suhu makin memanas setiap harinya. Orang-orang akan banyak berdiam di rumah dengan AC (air conditioner-pen) di depan wajahnya. Namun penggunaan AC secara masif juga memberikan dampak tidak baik, yang berujung pencemaran lingkungan.

Salah satu isu yang paling menakutkan pada tahun 2050 adalah kenaikan permukaan laut secara drastis yang akan menyebabkan banyak kota dengan populasi padat mengalami kebanjiran. Jakarta adalah salah satu contohnya. Jakarta sejak era kolonialisme hingga kini telah dilanda banjir terus menerus. Di tahun 2050 nanti Jakarta mungkin terlihat seperti Atlantis. Kota yang tenggelam dan hanya menjadi mitos bagi generasi yang akan datang.

Naiknya permukaan laut ini tidak lepas dari pengaruh pemanasan global dari ulah negara-negara industri. Pemanasan global tersebut akan memicu mencairnya kutub es yang akan mengakibatkan peningkatan permukaan laut dan berpotensi  menenggelamkan kota-kota pesisir yang rendah.

Sementara hubungan internasional antar negara tidak akan lagi akur karena tiap-tiap negara berfokus mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Sikap individualis dan egois akan menguasai pemikiran para pemimpin negara, sehingga sedikit kesalahan komunikasi akan menicu perang dengan skala kecil hingga besar. Ditambah dengan sikap netizen dunia maya yang memperburuk suasana dengan teori konspirasinya beserta video-video propaganda.

Itu sedikit ilustrasi melalui penelitian para ahli terkait bumi di 2050. Sebuah keadaan yang seakan mendekati kata ‘hari akhir’. Memang terdengar seakan-akan menakuti masyarakat dengan perubahan iklim tersebut.  Namun  jika terus diam, skenario 2050 akan terwujud bahkan lebih cepat terjadi. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait ekologi harus diimplementasikan secepat mungkin.

Salah satu upaya dari seluruh dunia adalah diadakannya forum KTT COP 26 yang berlangsung 1 -12 November 2021 di Inggris ini, dihadiri 197 negara yang bertujuan membahas pencegahan skenario-skenario 2050 supaya tidak terjadi. Salah satu upaya yang diberikan adalah Net Zero Emission atau Nol Emisi Karbon. Nol emisi karbon adalah situasi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.

Negara-negara industri seperti Amerika Serikat dan Tiongkok juga harus turut membantu pendanaan negara-negara lain demi kepentingan dunia yang tengah “bertempur” dengan perubahan krisis iklim. Amerika Serikat sebagai negara industri kapitalis menurut penulis  memiliki tanggungjawab besar akibat dari pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Pendanaan terhadap negara-negara berkembang terutama kepada negara dengan jumlah hutan yang melimpah seperti Brazil dan Indonesia harus diberlakukan demi mencegah skenario-skenario itu.

Sumbangan polusi udara di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya, misalnya, berasal dari transportasi. Transportasi konvensional dengan menggunakan bahan bakar fosil (Bahan Bakar Minyak/BBM) memberi sumbangan terbesar, menyusul industri dan limbah domestik.

Itu sebabnya, pemerintah sudah membuat roadmap penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada tahun 2025. Bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara secara perlahan akan segera dipensiunkan. Kebijakan ini dalam upaya menekan emisi gas buang mencapai 29 persen sampai tahun 2030.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memberi insentif kepada pembeli sepeda motor listrik dan mobil listrik. Kebijakan itu sebagai upaya mendukung program pemerintah menekan emisi gas buang. Namun demikian, masyarakat dihimbau untuk melakukan penghematan listrik yang sekaligus menghemat pengeluaran biaya hidup masyarakat. Sebab, sampai saat ini energi fosil masih mendominasi sumber energi di Indonesia.

Sebenarnya masih banyak upaya-upaya dalam menyadarkan masyarakat terhadap skenario 2050 agar tidak terjadi. Tapi rasanya itu semua tidak akan efektif jika masyarakat masih bermental apatis terhadap hal-hal sepele, seperti hemat energi, menanam pohon dan sebagainya. Kebiasaan itu memang harus terus dikampanyekan, sehingga terbentuk menjadi budaya di masyarakat.

Jadi sebelum berbicara mengenai pentingnya sosialisasi untuk masyarakat, harusnya berpikir bagaimana cara menghilangkan sifat apatis masyarakat. Itu pentingnya revolusi mental bagi masyarakat. Tidak hanya untuk kepentingan politik Indonesia melainkan  untuk menjaga bumi agar tidak terjadi perubahan iklim.

Menanamkan pendidikan tentang revolusi mental perlu ditanamkan sejak usia dini. Dimana sistem pendidikan di tanah air menurut penulis masih harus diperbaiki. Anak tidak dididik secara progresif melainkan dengan konservatif. Ya, memang berjiwa konservatif itu baik, namun perlu keseimbangan dengan cara berpikir progresif. Progresif yang dimaksud adalah agar anak bisa betul-betul memahami materi dengan kritis terutama jika menyangkut pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dilakukan agar rasa nasionalisme anak meningkat dan memahami rasa peduli terhadap ekologi politik.

Membangun nasionalisme tidak hanya diterjemahkan dalam arti sempit. Tapi di balik cinta tanah itu, tertanam nilai-nilai universal terhadap lingkungan global. Mencintai lingkungan global, termasuk menjaga bumi  beserta isinya agar tidak terjadi pemicu timbulnya perubahan iklim. Itulah nasionalisme lintas batas. Artinya semua warga bangsa merupakan satu entitas dunia yang saling bergantung satu sama lainnya.

Kita tidak lagi berpikir dan sektoral, tapi sudah harus berpikir holistik untuk melihat persoalan perubahan iklim dari berbagai sudut. Kita dapat berbuat sesuatu. Dari mulai hal yang kecil, tapi berdampak besar. Hemat energi, tanam pohon dan buang sampah pada tempatnya. 

Ini merupakan tindakan kecil yang berdampak besar bagi keselamatan bumi![] foto ilustrasi: ist

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang (Unnes)