Menguak Transisi Energi Indonesia Menuju NZE

Transisi energi belakangan ini menjadi perhatian serius para stakeholder energi nasional. Keberhasilan menjalankan transisi energi menjadi “jembatan” menuju NZE tahun 2060. Bagaimana peta jalannya?

Target menuju Emisi Nol Bersih atau Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 mendatang masih memiliki beragam tantangan. Proses transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) boleh jadi akan kandas di tengah jalan bila tidak memiliki perencanaan secara matang serta mengesampingkan ketahanan energi di Indonesia.

“Kita harus meningkatkan ketahanan energi dengan mempercepat energi bersih transisi dan mengurangi kebutuhan impor dan konsumsi bahan bakar fosil. Ketahanan energi menjadi semakin penting dalam perjalanan menuju net-zero,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di acara Purnomo Yusgiantoro Center International Energy Konferensi 2023 di Jakarta, pada 15/9 malam.

Namun demikian, proses menuju NZE melalui transisi energi telah dilakukan Indonesia untuk menuju energi bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat dengan mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi.

“Untuk Indonesia, kami telah mengembangkan peta jalan transisi energi untuk mencapai Emisi Nol Bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam peta jalan ini, kami bertujuan untuk mengembangkan 700 GW energi terbarukan dalam bauran energi, yang berasal dari tenaga surya, air, laut, panas bumi, dan nuklir,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di acara PYC International Energy Conference 2023 di Jakarta, pada 15/9.

Menurut Arifin, dalam acara International Convention on Upstream Oil & Gas 2023 (IOG) ke-4 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) pada 21/9, tren masyarakat dunia saat ini, condong ke arah penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan sesuai dengan skenario dengan yang dikeluarkan BP Energy Outlook. Menurut BP Energy Outlook, total konsumsi akhir, termasuk minyak dan gas, akan mencapai puncaknya pada pertengahan hingga akhir tahun 2020-an dalam skenario Accelerated dan Net Zero. Kemudian, pada tahun 2050 konsumsi energi final akan berada 15-30% di bawah tingkat tahun 2019.

Lebih lanjut ditambahkan, dalam skenario Momentum Baru yang mencerminkan sistem energi dunia saat ini, total konsumsi akhir meningkat hingga sekitar tahun 2040, setelah itu konsumsi energi pada tahun 2050 akan stagnan sekitar 10% di atas tingkat konsumsi energi pada tahun 2019.

Dalam 3 skenario ini (Accelerated, Net Zero, dan New Momentum), pemanfaatan minyak dan gas masih terjadi hingga tahun 2050, meskipun penggunaan langsungnya menurun karena peningkatan efisiensi energi, peningkatan penggunaan listrik, dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.

Gas bumi menjadi faktor penting dalam transisi energi di Indonesia dan sebagai respons terhadap peningkatan permintaan dalam negeri, Pemerintah secara aktif mengupayakan perluasan infrastruktur gas untuk memfasilitasi integrasi pasokan dan permintaan yang lancar. “Dengan adanya potensi pasokan gas dalam negeri, maka perlu adanya rencana hilirisasi gas bumi yang lokasinya dekat, termasuk rencana pembangunan pabrik pupuk di Indonesia Timur (Fakfak dan Tanimbar),” ujar Arifin.

Menteri ESDM menegaskan dalam melaksanakan transisi energi yang menjembatani hingga 100% sumber energi menjadi EBT sesuai target NZE diperlukan kolaborasi dari banyak pihak termasuk pemangku kepentingan dari dalam dan luar negeri. “Saya ingin menekankan pentingnya peningkatan kolaborasi dan kemitraan internasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam mengatasi tantangan ganda dalam memenuhi permintaan energi sekaligus mengurangi emisi,” pungkas Arifin. 

Menurut Dadang, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai netralitas karbon tersebut, Indonesia menjadikan program dekarbonisasi tidak hanya di sektor ketenagalistrikan saja, namun menyentuh juga ke sektor konsumsi energi yang terdiri dari industri, transportasi, perumahan dan sektor komersial.

Dadan Kusdiana: Indonesia berkomitmen capai target Net Zero Emissions tahun 2060

“Di sektor industri, bisa dilakukan dengan meningkatkan pangsa listrik, meningkatkan energi efisiensi, menerapkan hidrogen sebagai substitusi gas dan biomassa sebagai substitusi bahan bakar fosil, menerapkan teknologi CCS/CCUS untuk semen, industri kimia dan baja. Di sektor transportasi, melanjutkan pemanfaatan biofuel, mempercepat kendaraan listrik, menerapkan penggunaan hidrogen untuk truk, Bahan bakar ramah lingkungan untuk kendaraan, dan kapal listrik untuk jarak pendek. Sementara di sektor rumah tangga dan komersial, dengan mengganti LPG dengan kota gas, kompor induksi, dan dimetil eter (DME); dan meningkatkan penggunaan tinggi peralatan hemat energi,” Dadan menguraikan.

DME telah digunakan selama beberapa dekade sebagai propelan aerosol yang aman dan tidak beracun serta untuk berbaur dengan propana. Hal ini dapat diproduksi di dalam negeri dari berbagai bahan baku, termasuk biogas susu, limbah makanan, dan aliran limbah dari proses industri.

DME dapat membantu mengurangi dampak 68-101 persen dalam Gas Rumah Kaca. California Air Resources Board (CARB) memperkirakan DME berbasis biogas yang dibuat oleh proses Oberon memiliki intensitas karbon -278 ketika terbuat dari gas alam terbarukan (CI -150).  DME disetujui sebagai bahan bakar terbarukan di bawah Standar Bahan Bakar Terbarukan Badan Perlindungan Lingkungan AS. 

Sementara dalam peta jalan yang dibuat Pemerintah menuju NZE, strategi utama di sisi pasokan adalah pengembangan besar-besaran produk-produk baru dan energi terbarukan, penghentian bertahap pembangkit listrik berbahan bakar fosil, konversi dari pembangkit listrik tenaga diesel menjadi gas dan terbarukan serta pemanfaatan rendah emisi teknologi seperti teknologi CCS/CCUS, hidrogen dan nuklir.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan kerangka aturan Carbon Capture and Storage (CCS) di luar kegiatan hulu minyak dan gas bumi. Aturan tersebut dibentuk untuk mendukung penurunan emisi dari industri lainnya. Penguatan kerangka peraturan ini juga memungkinkan Indonesia menjadi CCS Hub di kawasan Asia Tenggara.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tutuka Ariadji pada forum Internasional bertajuk “Pioneering The Energy Landscape Decarbonization Future: Harnessing The Power Of CCS Globally For a Cleaner Future And Economic Growth”.

Pada kesempatan itu, Tutuka mengungkapkan bahwa subsektor migas akan tetap kritis di masa transisi energi. Indonesia telah menetapkan target produksi migas nasional pada tahun 2030, dan pada saat yang bersamaan berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk pencapaian Net Zero Emission (NZE).

“Dengan kedua target tersebut, CCS/CCUS dapat menjadi penggerak karena mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-Enhanced Oil Recovery (EOR) Atau Enhanced Gas Recovery (EGR) sekaligus mengurangi emisi secara signifikan,” ujar Tutuka di Jakarta, pada 11/9.

“Yang tidak kalah penting lagi bahwa rancangan Perpres ini dapat memungkinkan pengaktifan CCS dengan sumber CO2 dari industri lain,” tambah Tutuka.

Tutuka mengatakan,  saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS di sektor migas yang sedang dalam tahap studi, dan salah satunya sedang menyediakan feed. Proyek-proyek ini, imbuhnya, memerlukan investasi teknologi dan kolaborasi keuangan.

Saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS di sektor migas yang sedang dalam tahap studi/foto: ist

Indonesia, ungkap Tutuka, akan menjadi pendukung CCS dan pelopor penerapan CCS di kawasan Asia Tenggara, menyusul negara Asia lainnya, seperti Jepang dan China yang telah memiliki rencana strategis dan kebijakan nasional terkait CCS/CCUS. Thailand dan Malaysia juga akan mengambil langkah pengembangan undang-undang penyimpanan karbon.

“Indonesia tetap menjadi pendukung CCS dan tampaknya menjadi pelopor penerapan CCS di Asia Tenggara. Visi luas CCS Indonesia adalah memberikan pengurangan tingkat proyek, sekaligus membuka peluang bagi negara untuk menjadi fasilitas penyimpanan di kawasan tersebut,” ungkap Tutuka optimis.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerapan CCS/CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Ruang lingkup peraturan ini mencakup aspek teknis dan hukum sebagai bagian dari model bisnis hulu minyak dan gas Indonesia. (RAW/DKD).

“Mulai tahun 2030 pengembangan Variable Renewable Energy (VRE) Solar PV semakin meningkat secara besar-besaran, disusul pembangkit listrik tenaga angin mulai tahun 2037. Nuklir akan komersial pada tahun 2039 untuk meningkatkan keandalan sistem tenaga. Itu kapasitas akan ditingkatkan hingga 31 GW pada tahun 2060. Sementara hidrogen akan mulai diproduksi dari pembangkit listrik energi terbarukan pada tahun 2031 untuk transportasi dan industry,” pungkas Dadan. [] Yuniman Taqwa