PLN Canangkan 52 PLTU Terapkan Co-Firing Tahun 2025

Sampai akhir tahun 2022 PLN berhasil implementakan teknologi co-firing sebanya 36 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari target 35 PLTU. Sampai tahun 2025 PLN menargetkan 52 titik PLTU yang menerapkan teknologi co-firing.

Salah satu langkah strategis yang dilakukan PT PLN (Persero) untuk menekan emisi gas buang dari pembangkit-pembangkit berbasis fosil adalah dengan merubah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara dengan menggunakan biomassa. Subtitusi dari batubara ke biomassa di pembangkit-pebangkit tersebut dengan menggunakan teknologi  yang disebut co-firing. Cara ini cukup signifikan menekan emisi karbon.

Biomassa adalah sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berasal dari organisme yang pernah hidup. Sampah rumah tangga, sisa pengolahan sawit, bubuk hasil penggergajian kayu, sabut kelapa, hingga kotoran ternak adalah sejumlah contoh biomassa.

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Ridwan Djamaluddin, saat membuka webinar Coal Biomass Coforing Technologies to Accelerate Energy Transitions sebagai bagian dari rangkaian pertemuan Energy Transition Working Group (ETWG)-3, di Bali, pada 29 Agutus 2022, teknologi co-firing akan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi parsial batubara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik. Terlebih biomassa ini dapat diperoleh dari beragaram bahan baku, seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian. “Pemanfaatan limbah biomassa dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri,” jelasnya.

Kendati demikian, Ridwan mengingatkan implementasi co-firing biomassa pada PLTU memiliki tantangan berat. Salah satu kendalanya adalah munculnya berbagai masalah teknis pada boiler pembangkit listrik dan feeding equipment yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik batubara dan biomassa.

Guna mengatasi hal tersebut, sambung Ridwan, Pusat Pengujian Mineral dan Batubara atau tekMIRA punya visi untuk mengatasi tantangan ini dengan mengintegrasikan co-firing biomassa dengan teknologi pirolisis yang mampu menghasilkan arang biomassa yang memiliki karakteristik hampir sama dengan batubara.

Sejauh ini  PLN telah menggunakan teknologi co-firing sejak 2020 silam. Sebagai wujud nyata transformasi PLN melalui aspirasi Green, PLN terus meningkatkan bauran energi hijau dalam penyediaan listrik nasional. Dengan menerapkan co-firing, PLN dapat cepat mengurangi emisi karbon dan peningkatan bauran EBT karena tidak perlu membangun pembangkit baru,” tutur Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo, pada 30 Juni tahun lalu..

Darmawan mengatakan sepanjang 2022 ini PLN mengimplementasikan teknologi co-firing ini di 36 lokasi PLTU dari target 35 lokasi. Program co-firing PLN mampu memproduksi energi bersih sebesar 575,4 GWh dan berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 570 ribu ton CO2 dengan memanfaatkan biomassa sebanyak 542 ribu ton.

Jumlah ini akan meningkat lima kali lipat pada tahun depan, PLN memerlukan 2,2 juta ton biomassa. Kebutuhan biomassa akan terus meningkat hingga 10,2 juta ton pada 2025 sehingga dapat menekan emisi karbon sebesar 11 juta ton CO2 dan gas rumah kaca setiap tahunnya.

Tak hanya sekedar memanfaatkan biomassa saja, untuk menjamin keberlangsungan pasokan, PLN telah membangun rantai pasok biomassa. Mulai tahap perencanaan, pembangunan, pengelolaan biomassa plant sampai dengan komersialisasi di PLTU PLN. Biomassa yang saat ini dipergunakan ada lima jenis yaitu serbuk gergaji, serpihan kayu, cangkang sawit, bonggol jagung, dan bahan bakar jumputan padat.

Program co-firing ini sendiri sudah berhasil dilakukan dengan kolaborasi pemanfaatan sampah bersama 12 Pemda di seluruh Indonesia dan 6 project Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) juga sudah launching dan beroperasi di tahun 2022.

“Implementasi co-firing akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca. Ini merupakan bagian dari ekosistem listrik kerakyatan yang melibatkan masyarakat dalam penyediaan biomassa sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat,” ujar Darmawan dalam rilis yang disampaikan minggu pertama Januari 2023.

“Kami menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk pemerintah daerah untuk pemanfaatan sampah serta Perhutani untuk pemanfaatan tanaman energi atau serbuk kayu. Kerja sama dengan masyarakat dan berbagai pihak lainnya lakukan untuk pemanfaatan jenis biomasa seperti serbuk gergaji, sekam padi, bonggol jagung dan cangkang sawit,” tukas Darmawan.

Sementara dalam menuju transisi energi bersih, PLN tidak berjalan sendiri. PLN berkolaborasi dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Program ini memberikan dampak yang luar bisa bagi PLN, lingkungan dan masyarakat.

“Melalui program ini, kami tidak hanya bermaksud mengganti batubara dengan biomassa, tetapi juga membangun rantai pasok biomassa yang andal dengan melibatkan masyarakat. Sehingga dalam penyediaannya memiliki dampak ekonomi untuk masyarakat secara langsung,” ungkap Darmawan.

Sebelumnya Darmawan mengatakan, pemanfaatan teknologi co-firing bukan hanya  mengurangi emisi karbon, tetapi bisa mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa. Bahkan, ada pula yang mengelola sampah rumah tangga untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing.

Kehadiran program ekonomi kerakyatan co-firing ini juga merupakan langkah nyata PLN menjawab persoalan global. Mewujudkan Indonesia yang bersih dan mandiri energi. Meningkatkan kapasitas nasional dengan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG).

Memang konsumsi batubara berkurang ketika PLTU melakukan co-firing. Sampah perkotaan yang selama ini hanya ditimbun misalnya, dapat diolah menjadi biomassa dan dijual ke PLN. Di satu sisi, langkah itu memecahkan masalah persampahan, dan di sisi lain sekaligus menekan pemakaian batubara.

Oleh karena itu, perlu  edukasi ke masyarakat untuk pemilahan sampah di tingkat rumah tangga menjadi penting. Produksi biomassa akan lebih lancar, jika proses tersebut telah dijalankan.

Sementara demi meningkatkan akses pasar dan kualitas produk, pemerintah serius merampungkan Standar Nasional Indonesia (SNI) pelet biomassa untuk pembangkit listrik. “Cangkang sawit, serbuk gergaji dan serpihan kayu masih dalam proses di Badan Standardisasi Nasional/BSN untuk ditetapkan sebagai SNI,” sambung Ridwan.

Co-firing dianggap menekan emisi, karena biomassa termasuk netral karbon. Posisi netral itu karena ketika masih “hidup”, bahan baku biomassa telah menyerap karbon. Karena itu, karbon yang keluar ketika biomassa dibakar, dianggap sepadan dengan karbon yang dia serap sebelumnya, sebagaimana dikutip voaindonesia.com, pada 6 Desember 2022.

Dalam diskusi  EBT yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhir November tahun  lalu, Prof Dr Ir Rizal Alamsyah, peneliti di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi, BRIN,  memastikan Indonesia adalah produsen besar biomassa. “Sebenarnya produksi biomassa Indonesia cukup besar ya, pertahun diproduksi sekitar 155,4 juta ton biomassa, atau setara dengan 49,8 giga joule per tahun,” ujar Rizal. (Joule adalah unit energi dalam Sistem Satuan Internasional.)

Menurut Rizal, jumlah tersebut sebagian belum digunakan, sebagian sudah dimanfaatkan di dalam negeri. Ada juga yang telah menjadi komoditas ekspor. Salah satu biomassa yang sudah diekspor adalah limbah tanaman sawit.

Tekad pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan co-firing biomassa mempertimbangkan hasil pemetaan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE). Kajian tersebut menyebutkan potensi biomassa di Indonesia untuk bahan baku co-firing cukup menjanjikan. Tercatat, limbah dari hutan memiliki potensi sebesar 991 ribu ton (eksisting), serbuk gergaji 2,4 juta ton, serpihan katu 789 ribu ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tangga 68,5 juta ton.

“Ekspor limbah sawit itu sudah lama sekali. Ini berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), Palm Acid Oil (PAO), Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) dan lain sebagainya. Di ekspor ke Malaysia, China, Jepang dan Korea. Kemudian yang sekarang sudah rutin juga Palm Kernel Expeller, ke Korea Selatan,” papar Rizal.

Darmawan menyampaikan teknologi co-firing juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa. [] Yuniman Taqwa