Menguak Desa Sejahtera Astra Petani Kopi Kabupaten Agam Sumbar
Satu tahun belakangan ini, PT Famili Agrowisata Mahakarya (FAM) menjadi Fasilitator Desa Sejahtera Astra (DSA) petani kopi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kegiatan yang dilakukan adalah Agroforestri kopi. Sedikitnya ada 9 desa di kabupaten menjadi binaan Astra International. Bagaimana Hasilnya?
PT Famili Agrowisata Mahakarya,Rural Community Development (PT FAM), berperan sebagai fasilitator bekerjasama dengan Astra International mendampingi suatu desa atau beberapa desa binaan yang telah disetujui. Mulai tahapan penyerahan proposal tentang potret seperti apa potensi desa tersebut, bagiamana kondisi eksistingnya dan sebagainya. Kemudian diusulkan dan disetujui, lalu berlanjut ke perjanjian kerja sama. Demikian awal PT FAM masuk sebagai mitra petani untuk Program Desa Sejahtera Astra (DSA).
Di dalam perjanjian kerja sama tersebut, disepakati Astra dengan fasilitator tentang apa saja target yang akan dicapai dalam satu tahun pendampingan. Ada 4 indikator (parameter), yaitu: pertama, seberapa banyak masyarakat yang terpapar program DSA tersebut. Sedikitnya ada 1947 orang yang terpapar program DSA. “Masyarakat terpapar program setelah mengikuti kegiatan yang dilakukan, seperti audiensi, observasi, sosialisasi, survei, pameran, pendampingan dan peningkatan kapasitas secara berkala,” ujar Atika Risyad Founder & CEO PT Famili Agrowisata Mahakarya (PT FAM) kepada pelakubisnis.com.
Indikator kedua, peningkatan pendapatan. Di mana penerima manfaat mengalami peningkatan pendapatan yang beragam. Hal ini disebabkan perbedaan periode dari pengembangan program di masing-masing nagari serta kondisi awal desa dan komoditas kopi yang ada di desa tersebut. “Peningkatan pendapatan mencapai 56 persen dibandingkan pendapatan petani sebelum diadakan pendampingan,” lanjut wanita berdarah Minang ini.
Ketiga, penyerapan tenaga kerja mencapai 57 tenaga kerja baru. Tenaga kerja baru merupakan local champion yang terdiri dari petani kopi, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dan wali jorong.
Keempat, jumlah produk yang terserap pasar. Sejauh ini jumlah produk terserap pasar dan sulit untuk memenuhi permintaan pasar. Oleh karena itu, dilakukan peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas dari produk kopi maupun artisan tea (teh yang diproduksi secara manual dan tradisional-red).
“Kami bekerjasama dengan 4 parameter tersebut untuk pengukuran sebagai indikator keberhasilan. Nanti secara berkala akan dilaporkan dan nantinya akan ada achievement-achievement yang akan diberikan,” tambah Atika.
Lebih lanjut ditambahkan, sejak awal PT FAM dan Astra masuk ke beberapa desa di Kabupaten Agam, memang langsung fokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas produk, muatan kelembagaan atau pemasaran. Di September 2022, mulai melakukan sosialisasi program di 3 desa. Salah satunya KUPS Agroforestri Kopi. Mereka ada di area hutan sosial yang mendapat perizinan Perhutanan Sosial seluas 484 hektar. KUPS yang ada di sana sudah menjadi petani kopi. Tapi, banyak pohon kopi peninggalan zaman Belanda.
“Namun sebelum kami masuk di situ, sudah dibentuk kelompok. Sebelumnya ada NGO yang membentuk kelompok tani. September 2022 awalnya kami bekerjasama dengan NGO tersebut. Kami masuk untuk mendampingi. Akhirnya pada Desember 2022, produk kopinya Juara 1 di kategori citra rasa kopi robusta di area Sumatera Barat,” urainya bangga.
Atika menambahkan, di tahun 2023 dilakukan pendampingan setiap satu bulan secara rutin. Ada 4 orang yang diturunkan mendampingi KUPS di Jorong Data Baringin. Sampai sekarang pendampingan di Nagari Baringin masih berjalan. Bahkan, kini kelompok sudah mandiri. Mereka sudah bisa melakukan pencatatan keuangan sendiri, sudah bisa menjual produknya, sistem pembagian kelompoknya. Dan sekarang mereka sudah bisa membeli lahan sendiri juga untuk lahan percontohan kopi.
Berdasarkan pemerintah setempat, dimiliki pribadi dari anggota kelompok, dan ada yang dimiliki kelompok. Mengapa baru 50 hektar yang ditanami kopi?
Menurut Atika, lokasinya sulit diakses karena perbukitan, dekat dengan cagar alam, ada lereng-lereng yang sulit untuk ditanami karena ketinggiannya sampai 900 mDPL (Diatas Permukaan Laut), di lereng Danau Maninjau dan akses kesana lumayan susah. Artinya yang produktif baru 50-an hektar dan usia kopinya sudah lama ada yang sudah mencapai 40-an tahun, tapi masih menghasilkan walau sudah menurun produktifitasnya.
“Kami sudah lakukan sekolah lapang. Sekarang sudah ada buku panduan budi daya dan pemrosesan kopi. Nah, sudah ada standarnya. Masyarakat sudah memahami, proses peremejaan sampai bisa panen itu perlu waktu. Perlu proses yang panjang untuk menyadarkan masyarakat. Tidak bisa sehari dua hari selesai, sedangkan mereka sudah melakukan kebiasaan sebagai petani kopi bertahun-tahun,” tandas Atika seraya menambahkan untuk beberapa KUPD sudah diajarkan bagaimana pembibitan, menanam tanaman baru. Baru tahun 2022 dilakukan peremajaan.
Menurutnya, tingkat produktivitas tidak bisa berpatokan pada kondisi tanaman yang sudah tua. Tapi yang jelas, awalnya hasil produksi kopi petani grade-nya masih rendah . “Semenjak kami masuk sampai sekarang, masyarakat sudah mulai mengetahui kualitas kopi yang bagus), mana kualitas yang rendah. Bagaimana standar memetik kopi agar menghasilkan kopi yang bagus. Tentu saja harga jualnya berbeda-beda,” jelasnya.
“Kami tidak bisa melakukan survey produktivitas untuk semua desa. Kami lakukan hanya di tingkat kelompok tani untuk menghitung produktivitas yang mereka hasilkan sebelum bisa ‘fine robusta. Dan mereka baru bisa menghasilkan yang kualitas ‘fine’ paling tinggi 40 kg per bulan. Tapi tahun 2023 ternyata sama sekali tidak ditemukan kualitas yang ‘fine’ karena faktor cuaca hampir semua daerah gagal panen,” kata Atika. Lalu di tahun 2024 sudah mulai ada peningkatan lagi dan harga kopi sudah sangat meningkat. Sekarang kurang lebih sama kondisinya dengan tahun 2022, masih dalam proses peremejaan lagi.
Produksi 40 kg per bulan kualitas ‘fine’ ditemukan Desa Nagari Baringin. “Tapi kalau yang di tahun ini kami sedang proses penghitungan semua. Belum ada angka pastinya. Hanya diperkirakan tahun ini bisa mencapai minimal 1 ton per bulan fine robusta yang bisa dihasilkan masyarakat yang terpantau. Meski sebenarnya angka 1 ton per bulan itu untuk semua desa kapasitasnya terbilang kecil,”ungkapnya.
Ekspektasi di tahun 2024 bagaimana? “Kami mendampingi petani kopi arabika dan robusta. Dan itu secara ukuran usia dan jumlah yang dihasilkan juga berbeda-beda. Tapi targetnya 1 ton per bulan dan sejauh ini panen kopi mundur dan harga kopi gila-gilaan, jadi kami masih melihat bagaimana potensi dari setiap daerah. Tapi sekarang sudah mulai panen paska peremajaan,” ujarnya lanjut.
Kalau untuk kualitas fine robusta masih agak susah berbicara target. Pasalnya, saat ini masih dalam tahap edukasi kembali tentang bagaimana teknik untuk budi daya dan pemrosesan kopi yang baik. Jadi target untuk produktivitas baru bisa tercapai di tahun depan.
Kalau produktivitas dengan hasil yang kurang baik, itu sudah tercapai! Tapi sekarang yang menjadi sasaran bagaimana petani menghasilkan kualitas kopi yang baik. Namun semua hasil kopi yang kurang baik itu tidak dibuang tapi terserap juga di pasar.
“Tapi yang kualitas baik kami jual ke roastary atau ke resto dan kafe-kafe yang sebenarnya sekarang sedang menunggu hasil kopi dari kami, karena mereka memang menunggu dari tahun 2022. Berapa pun jumlahnya sebenarnya sudah ada yang menyerap. Bisa dibilang untuk serapan produk itu bisa 100 persen. Tapi masalahnya sekarang jumlah produktivitas masih fluktuatif,” tandas Atikah.
Harga kopi berkualitas dengan yang tidak berkualitas, kata Atika, perbedaannya bisa dua kali lipat lebih tinggi yang berkualitas . Harga kopi grade kualitas rendah berkisar Rp65 – 70 ribu per-kg, masih dalam bentuk biji kering dan belum disangrai (belum diroasting). Padahal tahun 2022 harga perkilogramnya hanya Rp20 ribu. Harga kopi asalan naiknya sampai 3 kali lipat. Jadi sekarang dengan harga asalannya segitu, orang masih ragu menaikkan yang berkualitasnya lebih dari Rp100 ribu. Yang premium belum ada standar harga dan harus bersaing dengan arabika.
Ada 9 desa yang dampingi. Satu desa memiliki 50 hektar lahan kopi. “Kalau bicara konteks Desa Sejahtera Astra, yang dibicarakan bukan soal luasan, jumlah petani, atau jumlah produktifitas, tapi starting poinnya adalah tingkat serapan ke masyarakat. Itu yang lebih dihitung. Yang bisa diukur itu jumlah masyarakat yang terpapar oleh program. Dan tugas kami memaparkan program ke seluas-luasnya masyarakat desa. Jadi tidak membatasi dari lingkup luasan, jumlah petani atau ataupun produktivitasnya,” tandas Atika mengunci percakapan.[] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina