Sobirin Bersama Astra Memutus Mata Rantai Kemiskinan di Desa Semedo

Tak gampang merubah mindset masyarakat untuk menerima sesuatu yang baru. Dari petani kelapa yang memproduksi gula kelapa, kemudian beralih memproduksi gula semut. Sobarin mampu memutus rantai kemiskinan petani gula kelapa di desanya hingga mampu mendongkrak harga gula kelapa dari Rp2000/kg kini mencapai Rp22,5 ribu/kg dalam bentuk sediaan gula semut.

Walaupun Sobirin mengenyam pendidikan Jurusan Teknik Mesin UGM, tapi  jiwa entrepreneur dan leadership justru lebih menonjol. Sejak duduk di bangku SMP dan SMA,  ia sudah terbiasa berjualan.  Bahkan ketika kuliah di UGM ia sambil berjualan pulsa, kue-kue,  membuka usaha laundry dan sempat punya lembaga bimbingan belajar  di Yogyakarta.

Sobirin pelopor penggerak ekonomi desa Semendo/foto: doc. Semedo Manise

Namun usaha tersebut tak lama ditekuninya.  Seusai lulus kuliah pada tahun tahun 2011, ia pulang kampung, di Desa Semedo, Jawa Tengah, pada Tahun 2012. “Waktu itu saya  tak langsung terjun ke usaha gula kelapa. Awalnya budi daya jamur tiram dulu”, ujarnya kepada pelakubisnis.com, minggu kedua September lalu.

Namun, upaya yang dilakukan itu belum berbuah manis. Kebetulan kakak ipar dan paman Sobirin serta penduduk desa umumnya  petani gula kelapa.  Sayangnya para petani gula kelapa di desanya itu terlilit sistem ijon. Hasil produksi gula kelapa dikumpulkan, baru kemudian di beli oleh beberapa tengkulak yang menguasai mekanisme jual beli hasil gula kelapa oleh para petani.

Boleh jadi akibat terjerat dengan sistem ijon tersebut, membuat harga jual gula kelapa dikendalikan para tengkulak. Bayangkan harga jual gula kelapa hanya berkisar Rp 2000 sampai Rp 5000/per-kg. Penghasilan para petani perbulan hanya Rp 20-30 ribu perhari. “Saya prihatin melihat tingkat kemiskinan di desa Semedo itu,” katanya lanjut, seraya menambahkan sampai tahun 2000 Desa Semedo masih termauk desa tertinggal.

Belum lagi pohon-pohon kelapa berusia tua, mengakibatkan pohon-pohon kelapa itu semakin tinggi. Kerap terjadi kecelakaan  ketika menaiki pohon kelapa. Akibatnya mereka yang terjatuh dari pohon kelapa mengalami cacat permanen. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal dunia.

Menurut Sobirin, awal melakukan sosialisasi untuk alih profesi dari membuat gula kelapa merubah menjadi gula semut terjadi penolakan dari para petani di desa tersebut. Ia terus berusaha melakukan mapping karena dibekali bekal akademisi namun secara praktek di lapangan diakui memang nol.  Ia pun mencari cara bagaimana bisa berkomunikasi dengan mereka.  Dan ternyata cara yang paling ampuh dengan mengenyangkan perut mereka dulu  barulah menyusun program.

Dari sini ia mulai banyak berdiskusi dengan petani  gula kelapa.  Ia menyampaikan niatnya mensosialisasikan kemungkinan beralih dari pengelolaan gula kelapa konvensional, yaitu gula cetak ke bentuk sediaan gula semut yang diminati pasar ekspor. Walaupun saat itu banyak pertentangan  karena sesuatu yang baru dianggap bikin repot. Dalam proses pengerjaannya akan memakan waktu lebih lama dan dibutuhkan effort lebih keras lagi.

Kebetulan ayah Sobirin seorang Ketua RT (rukun tetangga-red). Harusnya  tak begitu sulit ia mengumpulkan sanak saudara dan warga  untuk diberdayakan  dalam misinya membangkitkan semangat warga Semedo untuk naik kelas. Di awal ia terkendala dalam menyamakan persepsi, karena menyangkut mengubah kebiasaan lama ke cara baru. Dari 25 orang yang bergabung sempat satu per satu mundur dan tinggal 15 orang. Pertanyaannya apa yang membuat Sobirin yakin produksi gula semut ini bisa jalan? “Saya memiliki latarbelakang pendidikan dan lingkungan sebagai petani gula kelapa, sehingga  memiliki sumber daya,” tandasnya serius.

Ia cukup percaya diri bisa membantu para petani gula kelapa di daerahnya untuk bisa meningkatkan perekonomian mereka. Pasalnya ia punya bekal semasa kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, ia banyak membaca artikel-artikel di internet tentang  gula semut. Jenis gula ini   ternyata banyak diminati pasar luar negeri. Sempat ikut  program Inovasi Pemuda Kemenpora, tapi  waktu itu belum lolos karena saat itu belum menguasai dari segi konsep maupun teknisnya.

Secara perlahan, kata Sobirin,  merubah mindset para petani kelapa dengan mengkonversi dari membuat  gula cetak menjadi gula semut. “ Itu kami tunjukkan buktinya. Petani  itu kalau diajak bicara soal 5 atau 10 tahun ke depan agak susah.  Cara  berpikirnya sederhana.  Bagaimana bisa makan, bisa kasih uang jajan anak dan anak bisa sekolah. Dari situ Sobirin mengerti ternyata petani itu butuh bukti,” urainya lanjut.

“Pertama kami buat Kelompok  Tani (Poktan). Dengan  Poktan   saya bisa menggandeng dinas untuk mendampingi. Kemudian kami adakan pertemuan untuk koordinasi maupun wadah tempat mereka sharing permasalahan mereka seperti apa,   termasuk kita bisa control sejauhmana  kita bisa produksi gula semut,”papar Sobirin.

“Di tahun pertama kami menemui pihak Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas. Kami sampaikan kalau kami punya SK Desa dan punya kelompok tani. Selang beberapa waktu kami didatangi petugas dari dinas pertanian, dan saat itu langsung mendapat pelatihan, mendapat peralatan seperti wajan,  dan sebagainya,” tambahnya.

Sobirin menambahkan, awalnya  merangkul 25 orang petani.  Namun tahap awal karena belum ada kegiatan yang pasti, akhirnya jumlah anggota berkurang jadi 15 orang. Tapi setelah kedatangan pihak Dinas Pertanian, jumlah anggota bertambah jadi 50 orang.

Lebih lanjut ditambahkan, tahun 2013 dibuat marketplace  Usaha mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Jawa Tengah.  Lalu saat itu dikontrak oleh buyer lokal yang berorientasi eksportir.  Mula dibeli mulai dari 1 kwintal, 2 kwintal sampai 1 ton bahkan sampai 5 ton.  Harga gula semut dari petani dari Rp5 ribu, naik terus sampai Rp15 ribu.

“Tahun 2013 kami menjadi satu-satunya desa di Banyumas yang bisa menggandeng BPJS Ketenagakerjaan untuk kategori BPU (Bukan Penerima Upah-red). Kami buat Paguyuban dengan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan.  Waktu itu kami bayar BPJS  per bulan Rp13 ribu. Dari situ  kami sudah dapat jaminan kematian dan kecelakaan.  Dan itu dibayarkan secara mandiri, bukan dibayarkan kelompok. Itu mereka sadar karena mereka butuh,” cerita Sobirin.

Bantuan yang diperoleh  dari Dinas Pertanian saat itu,  harus bisa dibuktikan bahwa semua bantuan  yang masuk dalam poktan  harus bisa  berkembang.  “Akhirnya kami pun dapat bantuan dalam banyak bentuk seperti bantuan kambing, sapi, bibit dan kunjungan  ke luar Jawa,” ujarnya seraya menambahkan para petani mendapat pengalaman baru saat itu karena diundang ke beberapa daerah. Mereka jadi tahu rasanya menginap di hotel, bisa jalan-jalan keluar Jawa dan itu sesuatu yang membuat mereka  semakin bersemangat.

“Di tahun 2015 kegiatan kami dilirik Pak Camat. Kemudian saya didaftarkan dalam Program Pemuda Pelopor Kemenpora, seleksi pemuda pelopor bidang pangan. Alhamdulillah dari kabupaten, provinsi  sampai tingkat nasional,” tambahnya. Di tahun yang sama Sobirin membentuk satu Poktan lagi dengan anggota 50 petani, sehingga jumlah petani yang dibimbingnya menjadi 100 petani.

Muncul milestone baru di tahun 2016,  dimana Poktan  Manggar Jaya yang dibangun Sobirin dan kawan-kawan didaftarkan dalam program Satu Indonesia Awards yang diinisiasi PT Astra International Tbk.  Saat itu tim poktannya mendapat penghargaan sampai tingkat nasional. Satu Indonesia Awards itu merupakan ajang penghargaan bidang kewirausahaan.

Koperasi Semedo Manise Sejahtera berkunjung ke kantor Astra/foto: doc. Semendo Manise

Lebih lanjut ditambahkan, tahun 2018  masuk program Desa Sejahtera Astra (DSA). Poktan  Manggar Jaya merupakan poktan proyek ujicoba pertama kali (pilot project) DSA.  Pihak Astra International berjanji mendampingi dengan syarat minimal merangkul 3 desa. Saat itu Sobirin mampu merangkul tiga desa yaitu, Desa Semedo, Karangtalun Lor dan Desa Kemiri. Ada sekitar 700 petani yang mendapatkan bantuan 700 alat produksi seperti  Loyang, ember, kompor dan lain-lain dari Astra. 

“Saat itu euforianya sangat terasa. Walaupun di lain sisi kami banyak hambatan. Sempat ada ancaman nggak boleh mengembangkan gula semut dan sebagainya. Saat itu ada pihak-pihak yang ingin menguasai pasar gula di tempat kami. Saya sampaikan bahwa saya warga lokal, ini keluarga saya, ingin saya majukan, lalu salah saya apa?,” tambah Sobirin.

Poktan Manggar Jaya diubah namanya ketika ikut Satu Indonesia Award.  Usahanya diubah menjadi Koperasi Semedo Manise Sejahtera.  “Di tahun 2018 itu kami sempat diliput MetroTV.  Waktu itu Semedo Manise langsung booming dan pasar kami pun semakin luas. Kemudian banyak yang ingin bergabung, banyak kades yang menelepon meminta saya untuk mendampingi para petaninya. Kalau ditotal saat ini sudah di atas 1000 petani dalam Poktan kami. Target kami 10 desa di beberapa kecamatan.  Bahkan saat ini poktan kami sudah merambah ke wilayah Jawa Barat seperti Desa Pangandaran dan juga Banten masih dalam tahap pendampingan,“ tambah  Sobirin.

Alhasil, harga gula kelapa semut di tingkat petani saat ini sudah mencapai Rp22,5 ribu/kg.  Sekarang sudah banyak petani di Semedo yang penghasilannya mencapai Rp3-4 juta per bulan.  Yang tadinya per hari hanya dapat Rp20-30 ribu per hari, tidak mencapai Rp1juta per bulan.

Target Sobarin  bagaimana masyarakat Semedo saat ini bisa satu keluarga, ada satu anggota keluarga yang bisa memutus rantai kemiskinan. Misalnya tadinya anak-anaknya  yang hanya sampai lulus SMP atau SMA, kini sudah banyak yang sampai lulus perguruan tinggi.  Itu keluarga petani bahkan ada yang sampai S2.[] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina