Konsumen Mulai Belanja Offline di Era Omicron

Konsumen kini mulai berani keluar rumah untuk belanja secara offline. Industri ritel mulai bangkit, karena kehidupan mulai normal kembali. Omicron dianggap sebagai flu biasa  yang 5 – 7 hari sembuh kembali.

Industri ritel menjadi salah satu industri yang paling terdampak pandemi. Kebijakan PPKM pada tahun pertama pandemi membuat konsumen tidak keluar rumah dan mulai bergeser melakukan belanja secara online atau membeli kebutuhan sehari-hari di toko terdekat. Alhasil ritel yang mengusung ukuran yang kecil dan lebih dekat dengan pemukiman penduduk justru semakin bertumbuh.

Berdasarkan hasil survei Inventure-Alvara, semua ritel akan berlomba-lomba membuka toko sedekat mungkin dengan konsumen. Sebanyak 86,4% responden mengatakan berbelanja di toko terdekat tetap menjadi prioritas utama dalam memilih tempat berbelanja. Temuan ini semakin diperkuat dengan hasil riset Inventure-Alvara yang lain yaitu sebanyak 76,5% responden lebih memilih store yang lebih dekat dengan tempat tinggal meskipun koleksi produk tidak lengkap dibanding dengan main store. 

Sementara itu untuk produk makanan yang fresh dan mudah expired seperti makanan segar, buah, sayur dan lainnya, sebanyak 89% responden lebih memilih berbelanja secara langsung di toko offline dibanding berbelanja di toko online.

“Intinya kalau terkait proximity itu memang sudah ada dari dulu, semua store akan ke arah sana, berlomba-lomba dekat dengan pemukiman,” ujar Yongky Susilo Staf ahli HIPPINDO (Himpunan Perital dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia-red). Walaupun masalah ini sudah 10 – 15 tahun yang lalu bahwa ritel di dunia memang pindah di proximity. Itu sebabnya small store dan medium store dicari di sana.

Sedangkan yang big store, kata Yongky, mulai kehilangan daya tarik, sehingga mesti punya  magnet yang besar.”Jadi hal itu bukan karena pandemic, tapi memang sebelumnya sudah terjadi di sana,” ujarnya. Intinya pandemic ini sudah akan berakhir, maka yang perlu diangkat adalah fokus bagaimana membangun kembali konsumsi dan ekonomi Indonesia. Tidak perlu lagi berbicara pandemic karena pandemic dua tahun terakhir ini up and down.

“Kita sengsara dan boleh keluar , makanya mencari toko yang dekat di sekitar perumahan. Tapi, begitu lock down dibuka, masyarakat sudah kabur, makan ke Alam Sutera, ke Sentul Bogor  dan lain-lain” katanya.

Sementara varian omicron, menurut Yongky di negara-negara lain sudah mulai dibuka, dianggap flu biasa. Indonesia saja yang ketat karena kita ingin mengadakan presidensi G20 event. Jadi, kita harus clear, bersihkan kota. “Saya sangat berharap lebaran tahun ini akan bagus. Jadi kita siap, bonus disiapi karena itu penting, stok juga cukup di lapangan. Di Jakarta sendiri Omicron sudah mulai flat,” tambahnya.

Lebih lanjut ditambahkan, mudah-mudahan tahun ini, tidak hanya mamin (makanan dan minuman) yang kencang, semuanya kencang. “Kalau masih pakai zoom kita bisa pakai lipstick palsu, tapi kalau sudah normal semuanya pakai yang asli, sehingga semua produk akan kembali normal,” katanya seraya menambahkan tidak ada perubahan perilaku, semua kembali normal.

Sedangkan ke depannya, aktivitas berbelanja secara offline akan kembali normal. “Secara keseluruhan konsumen akan kembali berbelanja secara langsung, karena kalau datang langsung belanjanya akan lebih banyak, maka pelaku ritel perlu fokus pada aktivitas offline, fokus pada inovasi lapangan jangan cuma ke digital,” pungkas Yongky Susilo pada acara Indonesia Industry Outlook 2022.

Menurut Yongky penderita Omicron  hanya mengalami gejala 5 sampai 7 hari, kemudian sehat kembali. “Jadi fokus pada aktivitas offline, nggak perlu online juga sudah mulai turun lagi. Masyarakat sudah keluar rumah dan belanjanya lebih banyak,” katanya.

Selain itu terkait FMCG menurut Adhi S. Lukman, Ketua Umum GAPMMI selama awal pandemi hingga tahun 2021 industri FMCG telah mengalami lima krisis yaitu krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis logistik, krisis komoditi pangan dan krisis energi. Ditambah lagi aturan pangan dunia pun makin ketat dan ini merupakan tantangan bagi dunia FMCG ke depan.

Adhi mengatakan dari segi FMCG, khususnya makanan dan minuman sejak quartar III tahun 2021 mengalami perkembangan positif. “Hampir semua kategori sektor ini mengalami positif pertumbuhannya. Industri mamin cukup bagus pertumbuhannya sekitar 3 – 4%, jauh lebih bagus dibanding tahun 2020, “ kata Adhi serius.

Lebih lanjut ditambahkan utility juga cukup meningkat, di mana pada tahun 2020  sangat parah, namun tahun 2021 utility sudah melebihi 70%, meskipun belum kembali normal. Pertumbuhan pun kalau normal di atas  7 – 10%. Industri ini dalam posisi recovery, tapi trennya cukup membaik.

Walaupun industri mamin, kata Adhi, mempunyai tantangan yang luar biasa selama pandemi. Kalau dari sisi produk yang paling menonjol, baik dari sisi penjualan, investasi dan kapasitas produksi manin. Invetasinya meningkat. Bahkan, investor masuk di sektor ini. Tahun lalu, investasi meningkat sekitar 45% sektor industri ini. Ini terjadi di banyak negara, di mana supply chain global juga ada tantangan.

Di samping itu, banyak sekali masyarakat yang membutuhkan panganan yang dimasak sendiri, disitu ada kebutuhan minyak goreng. Produk-produk itu, menurut Adhi, sangat dibutuhkan karena banyak orang kembali ke home cooking, setelah lama tidak masak sendiri. “Termasuk juga fresh food untuk dimakan di rumah. Paling tidak semi ready untuk dikonsumsi di rumah.” tandasnya.

Walaupun ada lima krisis di industri FMCG, yaitu: pertama, krisis kesehatan, kedua, krisis ekonomi, ketiga krisis logistik, di mana biaya logistik di seluruh dunia meningkat 5 – 6 kali lipat. Bahkan sulit mencari kontainer dan kapal. Ini menjadi hambatan produk pangan kita. Keempat, sejak pertengahan tahun 2021 kita mengalami krisis komoditi pangan karena harga meningkat luar biasa, bahkan ada yang meningkat sampai 60 – 70%. Krisis kelima, antara pangan dan energi sudah sulit dipisahkan, sehingga terjadi energi di banyak negara dan harga energi meningkat luar biasa.

 “Bahan pangan banyak dipakai untuk energi. Di Indonesia Crude Palm Oil (CPO), kemudian di negara lain, misalnya tebu juga untuk energi. Di Korea, China, itu ubi-ubian, singkong dan sebagainya dipakai untuk energi,” kata Adhi seraya menambahkan, kita harus menentukan kebutuhan pangan dan kebutuhan energi yang sangat beririsan. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang tepat dari pemerintah menangani masalah pangan dan energi.

 “Dengan banyaknya tantangan-tantangan ini maka kami harus lebih agile, lebih kompeten memanfaatkan teknologi bukan dimanfaatkan teknologi, dan harus mampu beradaptasi dengan cepat.” ungkap Adhi S Lukman di acara Indonesia Industy Outlook Februari 2022 lalu.[] Siti ruslina