Siasat Pemerintah Mengendalikan Krisis Global

Dunia kini dihadapi krisis pangan, energi dan keuangan. Perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah. Bagaimana langkah strategis pemerintah menghadapi kondisi demikian?

World Food Programme (WFP), sebuah organisasi kemanusiaan terbesar di dunia di bawah  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan bahwa jumlah penduduk dunia menghadapi kerawanan pangan meningkat.  Lebih dari dua kali lipat sejak pandemi Covid-19, dari semula 135 juta orang menjadi 345 juta orang.

Tak hanya itu, dunia dihadapi ancaman krisis energi. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterez, pada 14 Maret 2022, membentuk Global Crisis Response Group on Energy and Finance (GCRG) yang memberikan kebijakan khusus pada bidang pangan, energi, dan keuangan.

Fenomena itu diperparah dengan perang Rusia-Ukraina. Akibat hal itu, rantai pasok global pangan dan energi, misalnya, turut terganggu. Hal itu menyebabkan harga pangan pun meroket. Maret lalu, umpamanya, harga pangan dunia naik mendekati 13% pada Maret 2022. Angka ini akan meningkat menyentuh 20% pada akhir tahun 2022.

Dalam pertemuan ketiga G20 Finance Ministers and Central Bank Governor Meeting (FMCBG) di Bali, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra mengungkapkan, krisis akibat pandemi harus diatasi. Respons global terhadap krisis pangan, energi, dan keuangan itu pun menjadi pembahasan.

Dalam pertemuan tersebut, Indonesia mendorong pertemuan bersama antara Menteri Keuangan dan Pertanian negara-negara G20 untuk meningkatkan koordinasi dan mengeksplorasi berbagai tindakan untuk mengatasi kerawanan pangan sekaligus memperkuat ketahanan pangan. Pertemuan tersebut mencari alternatif solusi utuk mengatasi kekurangan pasokan pasar, dukungan untuk perdagangan hasil pertanian, serta proposal tentang bagaimana kolaborasi global dapat diperkuat untuk mengatasi masalah kerawanan pangan, sebagaimana yang dkutip dari artikel bertajuk: Merangkai Solusi Kerawanan Pangan dan Energi, oleh Reni Saptati D.I, yang dimuat di mediakeuangan.kemenkeu.go.id, pada 1/8 lalu.

Pemerintah Indonesia berupaya agar dampak pandemi dapat teratasi dan tak terus melebar kemana-mana. Di sisi pangan, pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan melalui peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan, memperkuat cadangan penunjang, menyempurnakan sistem logistik, modernisasi sistem pertanian.

“Pemerintah juga mengembangkan pertanian skala besar, membangun food estate, serta mengembangkan pertanian pangan jarak dekat yang berkelanjutan dengan sistem pengolahan dan logistik yang terintegrasi guna meningkatkan produktivitas pangan,” kata Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Nella Sri Hendriyetty, masih dari sumber yang sama.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan jajarannya untuk mencari cara dan bersiap agar terhindar dari ancaman krisis pangan. Salah satunya, dengan mengajak para petani untuk menanam seluruh bahan yang bisa menjadi sumber pangan.

Jokowi mengajak pemanfaatan lahan di antara tanaman sawit dengan menanam sorgum, jagung, hingga porang. Jokowi ingin Indonesia tak hanya lolos dari ancaman krisis pangan, melainkan juga dapat mandiri dan bisa memanfaatkan peluang ekspor, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesi.com, pada 22 Juni lalu.

Sementara Panitia Kerja (Panja) Komisi IV DPR menyarankan agar pemerintah melakukan redistribusi pupuk bersubsidi yang diyakini efektif menjaga ketahanan pangan, yang diiringi dengan validasi data penerima.

Peneliti CORE Indonesia Eliza Mardian, masih dari sumber cnbcindonesia.com,  mengemukakan, pemerintah perlu memperbaiki rencana definitif kebutuhan kelompok tani sehingga kebijakan tersebut lebih tepat sasaran, efektif, dan efisien. “Butuh perbaikan karena ada banyak petani yang belum tercatat. Ini perlu diperbaiki,” kata Eliza.

Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong tindakan efisiensi energi sebagai langkah sederhana dalam menghadapi krisis energi global akibat konflik geopolitik perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan. Direktur Konservasi energi ESDM Luh Nyoman Dewi mengatakan efisiensi energi adalah cara paling murah untuk menghadapi krisis energi yang membuat nilai keekonomian energi sangat tinggi, sebagaimana dikutip dari antaranews.com, pada 2/ 8 lalu.

“Banyak negara yang sudah melakukan efisiensi energi. Ini adalah salah satu langkah yang paling tidak dapat kita lakukan tanpa biaya,” kata Dewi dalam diskusi bertajuk: “Mid Year Economic outlook 2022”.

Indonesia mengharapkan tetap dijaminnya pasokan energi yang terjangkau serta mendukung pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan pemulihan ekonomi. Langkah ini juga perlu diikuti dengan keberlanjutan dukungan negara maju untuk transisi energi melalui kerja sama dan kemitraan.

“Di dalam rangkaian FMCBG ketiga, Kementerian Keuangan memanfaatkan momentum dengan meluncurkan sebuah country platform untuk mekanisme transmisi energi, yaitu Energy Transition Mechanisme,” sebut Nella. ETM merupakan rencana ambisius yang memungkinkan peningkatan infrastruktur energi di Indonesia dan mempercepat transmisi energi bersih menuju net zero emission dengan cara yang adil dan terjangkau.

Sementara perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan.Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, disertai dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara dan bahkan resesi di sejumlah negara maju sebagai dampak dari pengetatan kebijakan moneter yang agresif.

Berbagai indikator dini Juli 2022 mengindikasikan berlangsungnya perlambatan konsumsi dan kinerja manufaktur di AS, Eropa, dan Tiongkok. Tekanan inflasi global masih tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta perbaikan gangguan rantai pasokan yang masih terbatas.

Volume perdagangan dunia juga diprakirakan lebih rendah dari prakiraan seiring dengan perlambatan ekonomi global. Sejalan dengan perkembangan tersebut, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi, di tengah masih berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara, termasuk AS meskipun tidak seagresif dari prakiraan awal. Hal ini mengakibatkan masih terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Namun demikian, perbaikan ekonomi domestik terus berlanjut. Realisasi Produk Domestik Bruto (PDB) triwulan II 2022 sebesar 5,44% (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan dan capaian triwulan sebelumnya sebesar 5,01% (yoy). Tingginya pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga, serta tetap tingginya kinerja ekspor.

Perbaikan ekonomi nasional juga tercermin pada peningkatan pertumbuhan mayoritas lapangan usaha, terutama Industri Pengolahan, Transportasi dan Pergudangan, serta Perdagangan Besar dan Eceran. Secara spasial, perbaikan ekonomi ditopang oleh seluruh wilayah, terutama Jawa, Sumatera, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).

Ke depan, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan tetap tinggi. Berbagai indikator dini pada Juli 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur terus membaik. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor hingga bulan Juli 2022 tetap positif di tengah melambatnya perekonomian global. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan bisa ke atas dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5%-5,3%.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap baik, sehingga menopang terjaganya ketahanan eksternal. NPI pada triwulan II 2022 mencatat surplus, ditopang oleh surplus transaksi berjalan yang meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan perbaikan defisit transaksi modal dan finansial.

Perkembangan terkini menunjukkan aliran investasi portofolio berangsur kembali masuk ke pasar keuangan domestik. Investasi portofolio pada Agustus 2022 hingga 19 Agustus 2022 mencatat net inflow sebesar 1,6 miliar dolar AS, setelah sebelumnya mencatat net outflow sebesar 2,1 miliar dolar AS pada Juli 2022.

Sementara itu, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juli 2022 tercatat sebesar USD132,2 miliar, setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Kinerja NPI pada 2022 diprakirakan akan tetap terjaga dengan transaksi berjalan dalam kisaran surplus 0,3% sampai dengan defisit 0,5% dari PDB terutama ditopang oleh harga komoditas global yang tetap tinggi, serta didukung kinerja penanaman modal asing (PMA) yang tetap kuat sejalan dengan iklim investasi dalam negeri yang terjaga. 

Dengan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia, stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.Nilai tukar pada 22 Agustus 2022 menguat secara rerata sebesar 0,94%, meskipun terdepresiasi 0,37% (ptp) dibandingkan dengan akhir Juli 2022.

Perkembangan nilai tukar Rupiah tersebut sejalan dengan kembali masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan domestik, terjaganya pasokan valas domestik, serta persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik, di tengah tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Agustus 2022 terdepresiasi 4,27% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 6,92%, Malaysia 7,13%, dan Thailand 7,38%. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi. 

Sementara tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi  global.Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat sebesar 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 4,35% (yoy). Inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile foods) tercatat sangat tinggi mencapai 11,47% (yoy), terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan.

Inflasi kelompok harga diatur Pemerintah (administered prices) juga meningkat menjadi 6,51% (yoy) sejalan dengan kenaikan angkutan udara dan harga BBM nonsubsidi. Sementara itu, inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,86% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga ekspektasi inflasi.

Ke depan, tekanan inflasi IHK diprakirakan meningkat, didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global, serta kesenjangan pasokan. Inflasi inti dan ekspektasi inflasi diprakirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan. Berbagai perkembangan tersebut diprakirakan dapat mendorong inflasi pada tahun 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan Bank Indonesia untuk langkah-langkah pengendaliannya. [] Yuniman Taqwa