Makna di Balik Putusan Pengadilan negeri Jakarta Pusat

Oleh: Yuniman Taqwa

Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) menghentak alam demokrasi di negeri ini. Pasalnya, PN Jakput mengabulkan gugatan tersebut, yaitu menghentikan proses tahapan pemilu dan memulai sejak awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari. Akibat putusan pengadilan tersebut, muncul wacana bahwa ada konspirasi yang sengaja menciptakan legalitas yudiris formal untuk menunda jalannya Pemilihan Umum serentak.

Sasaran “tembak” pertama, skenario ini ditujukan kepada pemerintah. Asumsinya pemerintah sengaja memperpanjang masa pemerintahan Presiden Jokowi Widodo. Tapi entah kenapa yang menjadi inisiator dari gugatan tersebut adalah PRIMA.  Partai ini pendatang baru yang tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa ikut  Pemilu.  Mungkin menjadi pintu masuk rasionalitas – untuk menggugat hasil keputusan KPU – karena dasar pertimbangan itu.

Bila pertimbangan demikian ini benar, maka hukum sebab akibat dari kasus ini menjadi sempurna. Ada semacam “pembenaran” untuk melakukan perbaikan-perbaikan persyaratan agar bisa lolos ikut Pemilu. Dengan penundaan jadwal Pemilu, ada kesempatan PRIMA untuk melengkpi persyarakat yang dianggap kurang oleh KPU.

Tapi apakah sesederhana itu untuk membuat pembenaran dalam mencapai suatu tujuan. Hal ini yang menurut saya kurang mampu membangun struktur pembenaran dalam suatu keputusan. KPU punya ukuran tertentu yang transparan yang dapat diketahui semua pihak (calon peserta Pemilu) dan masyarakat pada umumnya.  Dan keputusan KPU juga selalu diawasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Di mana letak kausalitas kedua lembaga ini, sehingga Bawaslu bernada sama terhadap keputusan KPU. Itu artinya memang PRIMA tidak memenuhi persyarakatan sebagai partai politik yang berhak mendapat kesempatan Pemilu. Bawaslu sebelumnya tidak mengeluarkan keputusan, tidak ada yang salah dalam keputusan KPU. Artinya memang PRIMA tidak memenuhi persyarakatan menjadi peserta Pemilu.

Itu sebabnya PRIMA melakukan gugatan perdata ke PN Jakpus. Alhasil Keputusan PN Jakpus mengabulkan gugatan PRIMA. Pihak KPU harus menunda pelaksanaan Pemilu. Sampai di sini, pihak PRIMA mendapat pembenaran. Tapi ini merupakan pembenaran sementara. Sebab, pihak KPU bisa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi.   

Namun demikian, wacana yang beredar di masyarakat bahwa keputusan PN Jakpus itu ada “udang dibalik batu”. Mungkin pemerintah Jokowi sengaja mengulur waktu, sehingga mempunyai kesempatan lebih panjang lagi untuk menyelesaikan infrastruktur dasar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Pasalnya, Presiden Jokowi sempat mengatakan bahwa perayaan HUT Indonesia Merdeka ke-79 atau 17 Agustus 2024 akan diadakan di IKN Nusantara.

Paling tidak Istana Negara di IKN dan infrastruktur lainnya sudah harus selesai sebelum perhelatan HUT Kemerdekaan RI tersebut. Boleh jadi momentum ini menjadi legacy bagi Jokowi, karena wacana perpindahanan Ibu Kota Negara sudah sejak pemerintah Soekarno dicanangkan. Era Presiden Soeharto pun demikian. Tapi baru di era Presiden Jokowi  rencana tersebut segera terwujud..

Walaupun  Presiden Jokowi selalu mengingatkan bahwa pemerintah tidak ada niat menunda Pemilu. Agenda Pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU harus dijalankan. Pemilu tidak boleh ditunda, karena hal ini merupakan keputusan konsitusi.

Pertanyaannya mengapa PN Jakpus justru mengeluarkan keputusan yang kontraproduktif dari sisi demokrasi? Ada apa dibalik keputusan tersebut?

Adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur (putusan hakim harus dianggap benar) tentu sangat sulit diimplementasikan dalam putusan ini. Sebab, hasil akhir persidangan ini telah merobek rasa keadilan masyarakat dan merusak tatanan hukum di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan, baik dari aspek hukum maupun analisa politik, terhadap putusan tersebut, sebagaimana dikutip dari rili Indonesia Corruption Watch, di antikorupsi.org/id, pada pada 4/3 lalu.

Secara terang benderang PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Sebab, yurisdiksi hukum yang tepat memproses tuntutan Partai PRIMA adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Argumentasi ini bukan tanpa dasar, jika dirunut, dalam persidangan Partai PRIMA mempersoalkan dua produk hukum KPU RI, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi.

Atas konteks itu, maka berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), konteks permasalahan hukum Partai PRIMA masuk pada kategori Sengketa Proses Pemilu. Oleh karenanya, merujuk pada Pasal 468 dan Pasal 470 UU Pemilu, yurisdiksi hukum bukan PN, melainkan Bawaslu dan PTUN.

Ditambah lagi rentang waktu Oktober sampai dengan Desember tahun 2022, Partai PRIMA diketahui sempat mengajukan Sengketa Proses Pemilu kepada Bawaslu lalu PTUN dan keduanya ditolak. Atas dasar itu, berpijak pada keterbatasan ruang upaya hukum yang disebut dalam UU Pemilu, maka seharusnya putusan terakhir pada PTUN dianggap final dan mengikat. Berbagai upaya hukum yang ditempuh oleh Partai PRIMA ditambah objek gugatan sama tentu menggambarkan bahwa mereka menafsirkan permasalahan ini sebagai Sengketa Proses Pemilu. Maka dari itu, menjadi tak masuk akal jika diteruskan kepada lembaga yang tidak diberikan kewenangan untuk menyidangkan, yaitu PN Jakarta Pusat.

Sikap ICW it sudah jelas! Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini. Tapi mengapa tetap juga diadil. Itu sebabnya, penegak hukum itu telah “ugal-ugalan” mengadili perkara yang bukan wewenangnya. Akibat dari keputusan PN Jakpus, muncul  berbagai tafsir sepihak atas keputusan tersebut. Bila tafsir tersebut dterjemahkan masyarakat – ada unsur politis – di balik keputusan PN Jakpus itu, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan  “gunjang-ganjing” di negeri ini.

Kondisi itu menurut saya, akan menimbulkan sentiment negatif terhadap iklim usaha di dalam negeri. Tensi politik akan memanas. Karena bukan tidak mungkin ada pihak yang sengaja “bermain di air keruh” untuk menciptkan instabilitas. Apalagi saat ini mulai masuk tahun politik, sehingga rentan mengemas isu untuk  kepentingan sepihak.

Oleh karena itu, KPU harus segera melakukan banding terhadap putusan PN Jakpus. Dan saya setuju dengan pernyatakan ICW. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan  putusan PN Jakarta Pusat dan mengabulkan permohonan banding KPU RI. Komisi

Pihak Yudisial segera memanggil dan memeriksa tiga orang majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilu. Komisi Yudisial harus melakukan eksaminasi atas Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst sebagaimana kewenangan tersebut melekat dan tertuang dalam Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Presiden Joko Widodo mendukung upaya KPU RI untuk mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan janggal PN Jakarta Pusat.[] Foto ilustrasi/ist

*Penulisa pimpinan redaksi pelakubisnis.com