Percepatan Alih Teknologi Menghadapi Indonesia Emas

Oleh: Yuniman Taqwa Nurdin

Landasan pengusaan teknologi Inonesia telah jauh hari dibangun oleh almarhum Prof.Dr.Ing. BJ Habibie. Dalam penguasaan teknologi maju,  BJ Habibie menerapkan strategi berawal di akhir dan berakhir di awal. Menurutnya ini merupakan cara yang efisien, realistis, dan sistematik dalam proses alih teknologi industri di Indonesia.

Bangsa Indonesia harus menguasai teknologi canggih seperti teknologi kedirgantaraan yang merupakan pencapaian tertinggi bidang teknologi. Ia menggambarkan bila SDM Indonesia sudah bisa membuat pesawat, maka akan bisa membuat kereta api dan mobil. Dan industri-industri seperti itu akan terus berkelanjutan dan membuka lapangan kerja cukup besar.

Kisah industri pesawat terbang Indonesia – kini bernama PT Dirgantara Indonesia — dulu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) bukan lahir karena melakukan keputusan mengakuisisi perusahan penerbangan Casa asal Spanyo. Kerjasama ini dinilai sukses dengan memproduksi sebuah pesawat penerbang sipil (airliner) angkut turboprop kelas menengah bermesin dua. Pesawat ini dirancang bersama IPTN (Indonesia) dengan Casa (Spanyol).

Sukses membuat CN 235 itu, tak membuat IPTN puas. Keberhasil putra-putri karya anak negeri adalah berhasil memproduksi pesawat N250. Pesawat sipil bermuatan 50 penumpang ini digadang-gadang jadi tonggak sejarah kejayaan kedirgantaraan Indonesia. Pesawat N250 mulai terbang perdana pada 10 Agustus 1995 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Ribuan orang menyaksikan langsung penerbangan perdana pesawat pertama buatan anak bangsa tersebut.

Namun demikian, pesawat N250 akhirnya tidak dapat dilanjutkan karena adanya krisis moneter yang berkepanjangan yang melanda Indonesia dimana Pemerintah Indonesia itu masih mendapat bantuan dana dari International Monetery Faund (IMF) yang salah satu syaratnya tidak boleh menyalurkan dana dalam pengembangan proyek pesawat N250. Sehingga proyek penelitian dan pengembangan pesawa N250 berhenti. Terhadap pesawat penelitian dan pengembangan pesawat N250 selanjutnya akan dilakukan pengakuan sebagai Baran Milik Negara.

Meski N250 belum sempat mendapat sertifikat layak terbang dari Federal Aviation Administration  (FAA) dari Amerika Serikat, tapi anak negeri sudah dapat membuktikan kepada “mata dunia” bahwa Indonesia mampu memproduksi pesawat. Padahal bila IPTN saat itu mendapat sertifikat FAA, bukan tidak mungkin mampu menembus pasar di dunia, khususnya negara-negara kepulauan. Indonesia sendiri membutuhkan banyak pesawat jenis ini untuk penerbangan domestik antarpulau yang jumlahnya sekitar17.000-an pulau di Indonesia.

Sementara CN235 menembus pasar beberapa negara di dunia. Selain dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nasional, pesawat ini telah diproduksi untuk memenuhi permintaan ekspor beberapa negara Venezuela, Senegal, Burkina Faso, Uni Emirat Arab, Pakistan, Turki, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Nepal, dan Brunei Darussalam. Pesawat jenis ini, selain digunakan untuk angkutan penumpang, juga digunakan untuk keperluan militer.

Indonesia  membuktikan bahwa anak negeri mampu melakukan transformasi teknologi. Bila Indonesia bisa bikin pesawat, maka menurut Habibie, membikin mobil kereta api, kapal laut pun dapat dilakukan. Habibie memimpin Menteri Riset dan Teknologi dan sekaligus sebagai kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga menjadi kepala Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Badan ini saat itu menaungi 10 Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) yang diharapkan menjadi eksekusi memproduksi produk-produk berteknologi tinggi. Ke-10 BUMNIS saat itu adalah PT Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (bidang dirgantara), PT PAL Indonesia (bidang perkapalan), PT Pindad (bidang persenjatahan dan pertahanan), Dahana (bidang bahan peledak), PT Krakatau Steel (bidang industri baja), PT Barata Indonesia (bidang alat berat), PT Boma Bisma Indra (bidang permesinan), PT Industri Kereta Api/INKA (bidang perkeretaapian), PT INTI (bidang telekomunikasi), Lembaga Elektronika Nasional (sebagai lembaga kajian elektronika dan komponen).

BUMNIS tersebut berkolaborasi untuk produk-produk berteknologi tinggi. Di Industri perkeretaapian, produk INKA berupa lokomotif dan gerbong kereta api mampu menembus   pasar global. Produk-produk INKA sudah digunakan di Asia, Afrika, dan Australia, menandakan produk nasional kita diakui dan mampu terserap pasar global. Dalam dua tahun terakhir, PT INKA telah mampu mengekspor beragam jenis produk, seperti lokomotif, kereta penumpang, kereta rel listrik, kereta penggerak, gerbong barang, light rail transit, hingga trem bertenaga baterai yang sudah diuji coba sebagai moda alternatif mengatasi kemacetan di perkotaan transportasi perkotaan.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi, pada 28 Agustus lalu  meresmikan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek tanpa masinis ini produksi PT INKA (Persero). Perusahaan pelat merah ini menjadi bukti kemampuan insiyur Indonesia dalam merancang kereta tanpa masinis pertama kali di Indonesia.

Bahkan, PT INKA (Persero) bersama BPPT  serta beberapa perguruan tinggi  dan perusahaan  tengah mempersiapkan untuk membuat kereta cepat yang mampu melaju sampai 300 km/jam dengan rata-rata kecepatan 250 km/perjam yang direncanakan akan melanjutkan proyek kereta cepat yang saat ini sudah ada dari Jakarta – Bandung. Proyek tersebut akan dilanjutkan ke Surabaya dengan menggunakan kereta cepat produksi INKA. 

Bila pada proyek kereta cepat Jakarta – Bandung menggunakan teknologi asal China. Tapi ke depan poyek kereta cepat yang dilanjutkan dari Jakarta – Surabaya sudah hasil karya anak negeri. Artinya dalam tempo singkat telah terjadi tranformasi teknologi kereta cepat di Indonesia. Tahun ini sudah selesai prototype. Bila tidak ada arang melintang, dua tahun setelah selesai prototype bisa langsung diproduksi. Artinya, diperkirakan tahun 2025 sudah bisa memproduksi kereta cept karya anak negeri

Ke depan menurut saya, dalam rangka program hilirisasi di seluruh sektor sumber daya alam yang ada di negeri ini, maka sudah harus melakukan teroposan tranformasi teknologi smelter, misalnya, dalam produk-produk turunan lainnya dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia sudah harus membuat roadmap membuat produk-produk subsitusi impor akan lebih banyak lagi dihasilkan di Indonesia.

Sinergi antara lembaga-lembaga penelitian, dunia industri dan dunia pendidikan menjadi suatu keniscayaan. Indonesia, menurut Presiden Jokowi hanya punya waktu 13 tahun untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni dalam menghadapi bonus demografi. Sebab bila kita gagal mempersiapkan SDM yang mumpuni dan alih teknologi secepat mungkin, maka bukan tidak mungkin, kita akan kehilangan peluang Indonesia Emas pada tahun 2045 sebagai lima negara perekonomian terbesar di dunia[]foto: download itda.ac.id

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com