YDBA Bina UMKM Jangka Panjang, Lahirkan UMKM Mandiri

Hubungan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) dengan UMKM mitra binaan bisa berlangsung puluhan tahun. Tujuannya melahirkan UMKM mandiri yang bisa menjadi ayah angkat UMKM-UMKM junior lainnya.

Sigit P Kumala, Chief Executive YDBA (kanan) bersama Rahmat Handoyo, Department Head and  Communication & Information System YDBA (kiri)/Foto: pelakubisnis.com

Pola pembinaan yang dilakukan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) berlangsung secara berkesinambungan. Harapannya ekosistem yang telah  dibangun dapat berkembang lebih luas. Pasalnya, membangun ekosistem UMKM diperlukan banyak  YDBA-YDBA lainnya.

Menurut Chief Executive YDBA, Sigit P Kumala, diharapkan UMKM-UMKM yang sudah mandiri dapat menjadi agregator-agregator, sehingga model ekosistem pembinaan UMKM di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang. Salah salah UMKM Binaan YDBA yang berhasil menjadi Agregator adalah PT Nadya Karya Perkasa (NKP). “Perusahaan ini sudah 20 tahun lebih menjadi binaan YDBA. Mulai dari 50 karyawan, kini karyawannya mencapai 500 orang,” kata Sigit kepada pelakubisnis.com.

Motivasi NKP menjadi anak angkat sejumlah UMKM, menurut Presiden Direktur NKP, Hadi Yudiansyah, dalam video company profile NKP, bahwa NKP ingin melihat UMKM-UMKM lain juga bisa sukses dan naik kelas. “Sebagai ayah angkat kami berkolaborasi dengan YDBA untuk memberi pembinaan dan pendampingan UMKM. Saat ini kami sedang berkolaborasi dengan YDBA mendamping para UMKM yang ada di Tegal, Jawa Tengah,” kata Hadi serius.

Kini NKP membina banyak UMKM-UMKM komponen berbasis logam. Bahkan sudah menjadi vendor Grup Astra Tier 1 (vendor langsung ke Grup Astra-red). Tidak hanya itu, binaan NKP pun dorong menjadi vendor, paling tidak masuk kategori tier 2 (sub kontraktor dari NKP-red) yang produk-produk atau jasanya – melalui NKP – menjadi vendor Grup Astra.  Salah satunya adalah PT Nandya Solusi Treatindo (NST) yang bergerak di bidang jasa hardening yang juga merupakan binaan YDBA.

Menurut Sigit, UMKM ini perlu dibangun basic mentality. Artinya bukan hanya sebatas mendidik belaka, tapi bagaimana  UMKM-UMKM ini bisa survive berkompetisi. Itu sebabnya pembinaan yang dilakukan YDBA berlangsung lama agar terbangun budaya mentalitas UMKM-UMKM yang tangguh. “Ada tiga sinergi, yaitu YDBA, Astra Internasional, beberapa stakeholdernya bersama UMKM. Tujuan YDBA mengembangkan dan menaikkelaskan UMKM jangka panjang dan mandiri serta diharapkan bisa menjadi ayah angkat bagi UMKM-UMKM lainnya,” tandas mantan CEO PT Astra Motor Indonesia ini.

YDBA membagi 4 level UMKM (level pemula, madya, level  pra mandiri dan keempat level mandiri)/Foto: pelakubisnis.com

Sigit menambahkan, YDBA membagi 4 level UMKM yang menjadi binaan. Pertama, level pemula. Kedua, madya. Ketiga level   pramandiri dan keempat level mandiri. Untuk bisa naik level harus bisa lulus 5 materi yang diajarkan, yaitu produksi, keuangan, HRD, pemasaran dan QCD. Masing-masing level itu harus bisa memenuhinya agar bisa naik level sampai mandiri. “Tapi  tidak harus menyelesaikan kelima materi tersebut. Misalnya level pemula belajar dulu perhitungan produksi, kemudian pengiriman tepat waktu. Tapi kalau sudah level mandiri sudah harus menguasai semuanya,” terangnya lebih lanjut.

Biasanya level pemula diajari  5R, yaitu Rapi, Resik, Rawat, Rajin dan Ringkas. 5R ini merupakan standar dasar. Kalau naik kelas ke Madya, peningkatannya pada kompetensi dan menyangkut kapasitas produksi. Sedangkan kalau sudah Pra-Mandiri,  menyangkut operational excellence dari sisi quality, cost dan delivery yang memenuhi standar Astra. Kalau sudah menjadi vendor Astra, harus menguasai  seluruh material, termasuk bagaimana memilih material yang memenuhi standar produksi.

Sementara menurut Department Head and  Communication & Information System YDBARahmat Handoyo, pihak ayah angkat (off taker) dipastikan berkomitmen bersama YDBA datang ke suatu daerah untuk membina UMKM di situ. Kalau ayah angkat komit, baru dibuat MoU yang isinya mengenai kontribusi ayah angkat dan YDBA terhadap UMKM binaannya. Misalnya dalam bentuk pendampingan, pelatihan dan fasilitas lainnya.

Sigit menambahkan, biasanya ayah angkat mempunyai kebutuhan dan kesulitan. Misalnya Bintang Toedjoe butuh jahe untuk bahan baku proses produksi. “Dengan ada kebutuhan itu, kami meminta kepada ayah angkat untuk membina UMKM bersama dengan YDBA. Bedanya kalau ayah angkat hanya mengajukan persyaratan yang harus dipenuhi UMKM binaan hanya sebatas  Quality Cost Delivery (QCD),” kata Sigit serius.

Lebih lanjut ditambahkan, YDBA akan mengawal UMKM-UMKM untuk proses QCD melaui ayah angkat masing-masing, tapi tidak dalam  satu atau tiga bulan untuk memastikan QCD bisa sesuai harapan ayah angkat. Pihak YDBA perlu proses membina UMKM tersebut. “Kalau mereka sudah ok, baru dituangkan dalam MoU itu,” tambah sigit serius.

Rahmat menambahkan, ada hal menarik di Manggarai Barat. Di sana ada tiga desa yang dibina, yaitu desa yang menghasilkan kacang mete, desa yag menghasilkan vanili dan desa yang melakukan budidaya kepiting. Menariknya adalah bagaimana peran YDBA merubah mindset. Misalnya desa yang menghasilkan kepiting. Dulunya desa tersebut merupakan nelayan tangkap di pinggi laut. Praktek nelayan tersebut merusak hutan bakau. “YDBA mengajak nelayan tersebut merubah menjadi budidaya kepiting dengan membuat tambak. Diajarkan budidaya kepiting secara apartemen (satu kepiting satu kotak-red). YDBA berkolaborasi dengan suatu lembaga di Flores NTT dan satu Balai dari Jawa Tengah,” kata Rahmat seraya menambahkan para nelayan tersebut diajak ke Jawa Tengah untuk belajar budidaya kepiting. Hasilnya ketika panen ukuran kepiting yang dibudidaya besarnya bisa  sama.

Di Kalimantan Selatan, misalnya,  ada salah satu desa yang tanahnya berawa, yaitu  desa Hiyung, Kabupanten Tapin. Desa tersebut  penghasil cabai. Cabai dari desa ini sangat pedas. YDBA pada tahun 2016 mendukung kegiatan Community Development (Condev-red) dari Grup Astra. Contoh seperti PT Pama Nusantara Persada. Rahmat menambahkan, YDBA mendorong masyarakat secara konsisten membudidayakan cabai jenis ini. “Kami bekerjasama dengan berbagai balai dari Kabupaten Tapin dan Jakarta. Petani cabai diajarkan membuat bumbu masak dari cabai yang telah di kemas (packaging-red).

“Cabai ini bisa laku di Jawa dengan harga Rp 20.000 per/150 gram. Tapi ketika dibawa ke Pulau Jawa butuh logistik. Ini menjadi tantangan. Tapi teman-teman tidak patah semangat. Para petani di sana membentuk komunitas. Ini salah satu desa yang sudah YDBA tinggalkan karena sudah mandiri. Akhirnya cabai hasil Hiyung bisa disuplai ke pabrik cabai ABC. Salah satu produk cabai ABC ada namanya Cabai Hiyung,” urai Rahmat sambil menambhakan pihak YDBA yang menjembati antara petani cabai di sana dengan pihak off taker dari Group ABC.

Demikian juga dengan para petani kacang mede. Menurut Rahmat, para petani itu diajarkan bagaimana cara mengupas kacang mede. Pasalnya harga mede mempunyai tiga grade, yaitu A, B dan C. Kalau biji mede bila dikupas dan menghasilkan mete secara utuh, maka masuk kategori grade A dengan harga yang mahal. Sedangkan kalau grade B dan C mede sudah patah-patah, sehingga harganya lebih mudah. “Kami mendorong petani itu untuk meningkatkan kualitas pemanenan, sehingga menghasilkan mede grade A yang harga jual lebih mahal.

Sama halnya dengan petani vanili. Ketika sebelum dibina YDBA, para petani vanili menjemur di sembarang tempat, sehingga vanili tersebut terkontaminasi dengan bakteri dan lain-lain. “Kami ajarkan cara menjemur vanili ditempat khusus, sehingga tidak terkotaminasi dengan bakteri atau diinjak-injak hewan,” tambah Rahmat.

Tidak hanya itu,  YDBA juga membina bengkel umum roda empat. Pihak YDBA berkolaboasi dengan Daihatsu, Isuzu dan Toyota. “Kami rutin mengajak para instruktur mengadakan pelatihan, seperti pelatihan mekanik dasar, intermediate dan pelatihan mekanik advance. “Kami juga ajarkan tentang 5R, yaitu Rapi, Resik, Rawat, Rajin dan Ringkas. Ketika mereka mengoperasikan bengkel umum dengan sekala terterbatasan sarana dan prasarana, tapi pola lay out, pola menempatannya sudah sesuai dengan kaedah-kaedah 5R tadi,” tambah Rahmat.

Bengkel ini berkomunitas dalam suatu wadah namanya Himpunan Bengkel Binaan YDBA (HBB YDBA). Ketika ada logo HBB YDBA, akhirnya customer  percaya mau datang ke sini. Customer menggunakan produk Astra dengan tahun keluaran tahun lama, mau masuk ke bengkel resmi kurang berani, maka ditampunglah oleh bengkel-bengkel  HBB YDBA.

Menurut catatan YDBA, sampai saat ini ada 9 vendor yang berasal dari UMKM binaan YDBA yang memasok komponen untuk sepeda motor dengan mensuplay sekitar 71 komponen. “Sekitar 30 persen komponen kendaraan roda dua produksi Astra dipasok oleh UMKM binaan YDBA. Sedangkan komponen untuk produk Astra roda 4 masih kecil, di bawah angka itu,” tambah Sigit.

Berdasarkan data, binaan YDBA sekitar 45 persen UMKM yang bergerak di bidang kuliner dan kerajinan, 35 bergerak di bidang manufaktur dan bengkel dan sisanya bidang pertanian dan lain-lain.

Sigit mengatakan visi misi YDBA diambil dari buku history William  Soeryadjaya pada tahun 1980, beliau mengatakan, bila kita menciptakan satu lapangan kerja, kita akan mengurangi satu premen di jalan. Kemudian Astra tidak ingin hidup sejahtera sendirian di tengah tetangganya yang tidak sejahtera. “Kalau Astra punya pabrik, pasti Pak William cita-citanya yang di sekelilingnya harus kebagian. Caranya bagaimana? Dengan kegiatan CSR, mendidik ibu-ibu mempunyai suatu keahlian sehingga jadi sejahtera. Terus Astra menjadi berkat bagi bangsa,” kata Sigit menutup percakapan. [] Yuniman Taqwa Nurdin