Menangkap Intuisi Bisnis Perry Tristianto Tedja

Hari itu ia terlihat  galau sekali. Maklum, sebagai pebisnis, setiap hari ia harus memutar otak agar bisnisnya tetap berjalan dan  menguntungkan. Karena ia memiliki tanggungjawab menghidupi  hampir 1000 karyawannya melalui beberapa unit usahanya yang bergerak di bisnis fesyen, kuliner, hotel hingga tempat wisata.

Perry Tristianto (Foto: pelakubisnis.com)

Menjadi pengusaha bagi Perry Tristianto Tedja,  harus  memiliki pola pikir yang cepat dalam mengambil keputusan dan memiliki intuisi yang kuat tentang apa yang diinginkan pasar. “Masa bodoh orang bilang saya bangkrut. Nanti you lihat sendiri kenapa saya keluar dari bisnis itu…,”ceritanya kepada pelakubisnis.com ketika ia mengambil keputusan menutup satu per satu gerai factory outlet (FO) yang dibangunnya puluhan tahun lalu.

“Ketika bisnis mulai redup, kita harus cepat ambil keputusan dan set up bisnis yang lebih menjanjikan. Beberapa tahun kemarin sudah berakhir life cycle nya bisnis FO,”kata pengusaha yang mendapat julukan Raja FO dari banyak media yang telah ikut membesarkan namanya puluhan  tahun silam.

Satu hal yang menjadi prinsipnya dalam menjalani bisnis adalah berusaha menciptakan pasar, menjadi pioneer dalam satu bidang usaha yang belum tersentuh orang. Tak heran bila  hampir semua bisnisnya cukup mencuri perhatian masyarakat.

Pria kelahiran 22 Februari 1960 ini bercerita, bagaimana di era tahun 80’an ia sempat berjualan kue, bekerja di perusahaan rekaman dan menjual kaos di toko kaset bertema musisi yang kala itu sedang hits.  Kala itu mungkin tak terpikirkan oleh sebagian orang mengapa ia berjualan di toko kaset. Rupanya bisnis jual kaos ini menjadi cikal bakal berdirinya  Factory Outlet Store (FOS).

Tahun 1995 bermodal pinjaman bank ia membuka Outlet besar khusus busana sisa ekspor, seluas 200 m2 di Graha Manggala Siliwangi Bandung. Kemudian di tahun 1999 barulah ia membuka Factory Outlet Store (FOS) yang sejak pembukaannya langsung ramai dan menjadi milestone kelahiran konsep factory outlet dan munculnya julukan Perry Si Raja FO.

Sejak kehadiran FOS, satu per satu FO bermunculan dan memberi dampak bagi banyak orang yang tergiur juga membangun usaha FO. “Media berdatangan. Mereka penasaran ada toko biasa yang  ramai pengunjung karena menjual baju-baju keren dengan harga murah,”kenang Perry ketika berjaya membangun bisnis FO.

Saat itu booming FO dimana-mana. Perry sendiri sempat memiliki sekitar 10 toko clothing  yang dikemas dengan konsep yang berbeda-beda. Tahun 2000 ia mengontrak rumah di daerah Buah Batu Bandung yang kemudian ia sulap menjadi FO Stock Town.Lalu, di Jalan Dago Bandung ia membangun semi butik  bernama ”Rich & Famous” ini dibuka bulan Oktober 2000. Kemudian ia membuka The Big Price Cut dengan konsep toko yang besar dan menjual baju-baju sisa ekspor. Di era kejayaan FO, dalam sehari pengunjung yang datang ke FO nya bisa mencapai 3 ribu orang per hari. Terakhir di kisaran 2011-2012  menurun hingga 400 orang per hari di akhir pekan.

Kini Perry enggan membahas bisnis FO nya yang bertahan life cycle FO nya sekitar 15 tahun. Di kisaran 2012 satu per satu ia tutup dan dijual.  Menurutnya setiap hari dia melihat data. Penurunan penjualan terus terjadi, maka ia pun harus bertindak cepat.

Apa yang menyebabkan lifecycle? Selain tren pasar yang mulai berubah dan kebiasaannya yang multitasking,  alasan lainnya adalah karena pemasok barang-barang FO lama-lama ingin untung besar. Apa yang terjadi? Perry yang selalu membeli putus barang-barang supplier, tiba-tiba supplier malah memasok  lebih banyak dari kapasitas pasar.   Padahal kapasitas pasar tidak sebesar dari pasokan barang. Misalnya, biasanya kapasitas barang  yang dipasok sebanyak 50pcs, tiba-tiba dikirim double sampai 100 pieces dengan sistem konsinyasi.   Akhirnya  terjadi penumpukan barang.

Seiring waktu berjalan, ia pun berakrobatik menyelamatkan usahanya dengan melirik bisnis lain yang lebih menjanjikan. Di kisaran  tahun  2007 suami dari Ellen Berkah ini mengalihkan bisnisnya ke bisnis pariwisata.  Mulai melahirkan All About Strawberry di Cihanjuang, Cimahi Bandung yang mengusung konsep wisata bagi pengunjung, dengan menyediakan fasilitas memetik, membuat jus, dan beragam hidangan dengan buah dari tanaman perdu ini.

Petting Zoo, salah satu spot di FarmHouse (Foto: pelakubisnis.com)

Setelah itu, Perry membuat Rumah Sosis di wilayah Lembang, menyusul Kampung Baso, Tahu Susu Lembang,  Floating Market, Farm House dan D’Ranch. Belum lama di Ciwidey ia membangun  Happy Farm, tempat wisata dengan tema Candy House yang pertama di Indonesia.

Alumnus Jurusan Administrasi Bisnis Stanford College, Singapura ini pada akhirnya tak hanya dikenal sebagai pengusaha konveksi, tapi ia juga pengusaha kuliner,  pengusaha di industry kreatif, hingga pengusaha perhotelan.

Kenapa pilih Lembang? Karena Lembang sudah menjadi icon nasional. Meski kata banyak orang lokasinya macet, namun lokasi ini justru mempromosikan tempat-tempat wisata di sekitarnya.

Satu hal yang menarik, dari setiap tempat wisata yang dibesut Perry, tak sekedar membangun konsep wisata yang menghibur, tapi Perry juga mempunyai misi  ingin memajukan para UMKM yang terlibat di tempat-tempat wisata miliknya. Ia selalu mengikutsertakan keterlibatan pedagang-pedagang  dan pengrajin untuk bekerjasama dengan sistem beli putus atau kerjasama dengan sistem sewa tempat (tenant). “Saya punya 200 mitra UMKM. Kami bekerjasama. Mereka yang buat, kami yang bantu marketingnya bahkan saya beli putus produknya,”aku Perry.

Contoh, lokasi wisata Farm House Susu Lembang.  Berakar dari keinginan Perry memajukan petani susu di sekitar Lembang, timbul ide membantu para petani menjual hasil susunya. Makanya ia selalu memberikan nilai tambah dari setiap uang yang dikeluarkan pengunjung. Misal, dengan membeli tiket FarmHouse, pengunjung mendapat bonus segelas susu segar dengan berbagai rasa. Ini adalah strategi Perry membantu UMKM.

Spot Penyewaan Baju Tradisional Eropa di FarmHouse (Foto:pelakubisnis.com)
Foto:pelakubisnis.com

Berkolaburasi dengan sang istri, Ellen Berkah,  ia pun  mendesain  konsep wisata bergaya farming di Eropa abad pertengahan yang  digabung dengan keindahan alam pegunungan tropis.  Rupanya untuk urusan konsep desain Ellen jagonya. Disulaplah Farm House menjadi tempat wisata tematik bergaya Eropa yang dilengkapi atribut berbau Eropa seperti spot My Secret yang menghadirkan  Rumah Hobbit dimana Ellen  terinspirasi dari film Trilogi The Hobbit. Ellen begitu detil sampai menghadirkan konsep rumah sang kurcaci Bilbo Baggins plus atribut buku-buku dan makanan yang disantap Bilbo dibuat etalasenya.

Di Farm House terdapat banyak spot menarik dan  terdapat tempat-tempat belanja unik seperti Souvenir Shop, toko buah, kulineran, sampai penyewaan baju tradisional Eropa seperti baju Dutch Lady. “Belum lama ini ada pengunjung yang menyewa baju Eropa sampai 800 pieces,”kata Anugerah, Humas Farm House.

Saat ini, Perry memiliki holding Perisai Group yang berada di bawah bendera PT Perisai Utama untuk menaungi seluruh bisnisnya. Ada anak perusahaan lagi yang mengelola lini bisnisnya masing-masing, antara lain PT Perisai Wisata Utama yang mengelola tempat wisata, PT Perisai Husada yang mengelola bisnis di bidang kesehatan, PT Perisai Mulia yang mengelola bisnis spa, PT Perisai Persada yang mengelola hotel.

Souvenir Shop yang dibuat mitra UMKM selalu ramai pengunjung (foto:pelakubisnis.com)

Semua usaha yang dibesutnya bersama sang istri  menyasar pasar keluarga. Segmentasi pasar itu penting, selain merk yang juga tidak kalah penting. Sekarang setidaknya dia telah memiliki 15 merek dagang di berbagai bidang usaha di wilayah Bandung dan sekitarnya serta Puncak-Cisarua Bogor. “Dalam waktu dua hari, tempat-tempat wisata ini mampu mencetak omset Rp 3,6 milyar di akhir pekan. Namun rata-rata di  hari biasa omsetnya sekitar 60% dari jumlah itu. Total  pengunjung  mencapai 3 juta orang per tahun. Sementara usaha FO yang masih berjalan hanya mencapai Rp 300 juta di akhir pekan,”terang pemilik Klinik Spesialis Penyakit Dalam dan Saraf  Perisai Husada ini yang bekerjasama dengan banyak dokter terbaik di Bandung yang dibangunnya 10 tahun lalu.

Menurutnya lifecycle dari bisnis wisata selfie diprediksi masih bisa bertahan sekitar dua tahun ke depan. Untuk itu, dari sekarang ia kembali memutar otaknya agar  usahanya tetap bisa jalan. “Secara bisnis, saya yang mengolah bagaimana dapat duitnya, sedangkan istri saya yang memikirkan konsepnya. Anak-anak saya juga sudah mulai terjun ke bisnis yang sama. Biarkan saja mereka learning by doing…,” kata Perry yang sedang berencana membangun tempat wisata tematik bernuansa Asia Afrika di pertengahan tahun ini.[]Siti Ruslina/Yuniman Taqwa