Energi Angin Berpotensi 1,6 GW yang Dapat Dikembangkan

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap berkapasitas 75 MW, Sulawesi Selatan, merupakan proyek PLTB pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, September mendapat, akan beroperasi PLTB Tolo I berkapasitas 72 MW. Inilah era baru energi terbarukan di Indonesia.

Pidato Presiden Joko Widodo pada Conference of the Parties (COP 21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), akhir November 2015 lalu mengatakan bahwa  Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29% di bawah business as usual pada 2030. Salah satu implementasi dari komitmen tersebut adalah melakukan akselerasi pengembangan energi baru dan terbarukan.

Dan target pun dicanangkan! Target ambisius menghasilkan 23% energi terbarukan sebagai sumber energi pada 2025. Tak pelak lagi, potensi-potensi energi terbarukan pun dikembangkan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang, Indonesia  menjadi negara yang memiliki potensi energi angin yang besar.

Pembangkit Listrik Tenaga Angin atau sering juga disebutdengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) adalah salah satu pembangkit listrik energi terbarukan yang ramah lingkungan dan memiliki efisiensi kerja yang baik jika dibandingkan dengan pembangkit listrik energi terbarukan lainnya. Prinsip kerja PLTB adalah dengan memanfaatkan energi  angin yang masuk ke dalam area efektif turbin untuk memutar baling-baling/kincir angin, kemudian energi putar ini diteruskan ke generator untuk membangkitkanenergi listrik.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana mengatakan, pemerintah memproyeksikan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan pada teknologi pembangkit yang sudah terbukti, atau proven. Angin mulai dilirik menjadi salah satu sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik. “Kita punya potensi 1,6 GW,” kata dia, sebagaimana dikutip dari tempo.co.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo pun telah meresmikan PLTB yang berada di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). PLTB Sidrap ini merupakan yang pertama di Indonesia, dengan 30 kincir angin masing-masing setinggi 80 meter dan panjang baling-baling 57 meter. Setiap kincir menggerakkan turbin berkapasitas 2,5 MW, sehingga total kapasitas yang dihasilkan 30 turbin adalah 75 MW.

Peresmian PLTB Sidrap, foto: ist

Menteri ESDM Ignasius Jonan menambahkan, dengan hadirnya PLTB Sidrap bisa mengaliri listrik sebanyak 150.000 untuk rumah tangga dengan dengan 450 KVA. PLTB dibangun 2,5 tahun dengan harga dasar diawal 11,3 sen per Kwh. “Ini merupakan komitmen kami mengejar baur energi baru terbarukan hingga 23%, meski saat ini masih mencaai 14%,” katanya, sebagaimana dikutip dari validnews.id.

Presiden Joko Widodo menyatakan akan terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), salah satunya energi angin. Sebab, sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang, Indonesia juga menjadi negara yang memiliki potensi energi angin yang besar.

Sementara upaya Pemerintah mencapai taget bauran energi nasional 23% yang berasal dari energi baru terbarukan pada tahun 2025 mendatang. Setelah meresmikan PLTB Sidrap, maka  menyusul pembangunan PLTB Tolo I berkapasitas 72 MW dibangun di Kampung Lengke-lengkese, Kecamatan Binamu, Jeneponto, Sulawesi Selatan. PLTB Tolo memiliki 20 turbin, masing-masing plat berkapasitas 3,6 MW dengan panjang blade 63 meter dan tarif sesuai PPA antara Konsorsium PT Redaya Energy Pte & PT Global Pacific Energy dengan PT PLN (Persero) sebesar 11,850 USD cent/kWh.

Energi listrik PLTB Tolo-1 ini dihasilkan dari kecepatan angin sebesar 6-8 m/s yang merupakan potensi angin cukup besar untuk dikembangkan secara komersial. Nantinya, pembangkit berbasis angin tersebut akan terkoneksi dengan jaringan transmisi sebesar 150 KV. Sebanyak 4 dari 10 tower transmisi 150 KV telah selesai dibangun, yang akan terinterkoneksi melalui Gardu Induk Jeneponto.

PLTB Tolo ini dibangun dengan investasi sebesar 160,7 juta USD dengan kontraktor utama konstruksi adalah PT Pembangunan Perumahan Tbk dengan tingkat kandungan komponen dalam negeri mencapai kurang lebih 42%.

PLTB Tolo I , yang rencananya diresmikan September mendatang. foto: ist

Rencananya PLTB Tolo I Jeneponto, Sulawesi Selatan,  dijadwalkan bisa beroperasi pada September 2019. Padahal sebelumnya disebut bahwa  PLTB ini bisa beroperasi di akhir tahun lalu karena pembangunan selesai lebih cepat.

Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengungkapkan, pengerjaan PLTB Jeneponto sudah selesai sejak November 2018.  “Hanya saja kontrak beroperasinya harus September 2019, sistem itu disesuaikan dengan kebutuhan, kalau mau beroperasi sebelum kontrak nanti tidak ada pelanggannya, karena bebannya tidak tumbuh,” ujar Djoko sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com, 25 Februari lalu.

“Pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk energi angin sebagai tulang punggung energi nasional akan terus diupayakan pemerintah guna mencapai target bauran energi nasional sebesar 23% yang berasal dari EBT pada 2025 mendatang,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi melalui keterangan resminya, pada 24 September 2018.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang, Indonesia juga menjadi negara yang memiliki potensi energi angin yang besar. Sebut saja wilayah Sidrap dan Jeneponto di Sulawesi Selatan yang berpotensi menghasilkan energi listrik dari angin hingga lebih dari 200 megawatt (MW).

Terdapat 23 proyek PLTB yang sedang tahap konstruksi, proses negosiasi untuk PPA, feasibility study (FS), pengukuran, dan tahap rencana. Proyek PLTB tersebut antara lain Jeneponto (72 MW) yang sudah kontruksi dan Sukabumi (10 MW) yang dalam tahap negosiasi PPA.

Sementara itu, yang dalam tahap FS, penguruan maupun rencana antara lain Sukabumi (170 MW), Lebak dan Pandeglang (masing-masing 150 MW) di Banten, Tanah Laut (90 MW) di Kalimantan Timur, Jeneponto (175 MW), Sidrap Phase II (75 MW), Sidrap Phase III (200 MW), Selayar (5 MW) di Sulawesi Selatan, Buton (15 MW) di Sulawesi Tenggara, Kupang (2 X 10 MW), Sumba Timur (3 MW) di Nusa Tenggara Timur serta Ambon (15 MW), Kei Kecil (5 MW), dan Saumlaki (5 MW) di Maluku, Gunung Kidul (10 MW) di Yogyakarta, Belitung Timur (10), Garut (10 MW), dan Timor Tengah Selatan (20 MW) serta Bantul (50 MW).

Sementara Adi Surjosatyo, Guru Besar Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia, mengatakan potensi Indonesia sangat besar. Tapi, menurut dia, selama ini kita telah keliru dalam memandang tenaga angina, sebagaimana dikuti dari artikel bertajukSains Sekitar Kita: Potensi energi angin di Indonesia begitu besar, mengapa kincirnya harus kecil, yang dimuat di:  theconversation.com.

Adi Surjostayo menambahkan, Di Eropa, daerah kontinental, turbin angin dibuat besar karena angin besar. Tapi di daerah Indonesia, turbin angin harus kecil karena kondisi udara dan kelembapan air laut membuat angin di Indonesia kecil. Rata-rata kecepatan angin di Indonesia dua kali lebih lemah dari angin di Eropa. Hanya sekitar 2,5 sampai 3 meter per detik. Kecepatan angin rendah, kincirnya pun harus kecil. Itulah yang dilakukan oleh Adi di Kampung Bungin, Muara Gembong, Bekasi. Dia bikin energi terbarukan dari angin untuk mengaliri listrik kampung nelayan tersebut.

Namun demikian, umumnya kelemahan dari sumber energi terbarukan adalah keandalan pasokan. Energi terbarukan banyak mengandalkan cuaca. Turbin angin butuh  angin untuk berputar. Jika cuaca tidak sesuai,  maka tidak ada  energi yang diproduksi. Sumber energi ini tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten.

Biaya teknologi energi terbarukan ini sekarang juga jauh melebihi biaya pembangkit bahan bakar fosil. Hal ini terutama karena kerapatan energinya sangat rendah dibanding nuklir dan fosil. Walaupun biaya sumber energinya (angina-Red) gratis, tapi untuk menghasilkan energi dibutuhkan biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan energi batubara, misalnya.

Biaya instalasi ladang angin keseluruhan menurut laporan Energy Agency (IEA) diperkirakan antara 1,9 – 2  juta $/MW. Biaya pemeliharaan tahunan dilaporkan antara 0,020 –  0,026 $/kWh,  dengan biaya rata-rata 0,025 $/kWh. Biaya produksi listrik dari energi angin bervariasi luas,  tergantung  situs dengan kondisi angin. Nilai ini berkisar antara  85 $/MWh sampai  250 $/MWh,  pada  discount rate 6,0%  masa operasi 20 tahun. Nilai  ini  juga tergantung pada  kapasitas unit yang semakin kecil semakin mahal dan faktor kapasitas, sebagaimana dikutip dari karya ilmiah bertajuk: Perbandingan Harga Energi dari Sumber Energi Baru Terbarukan dan Fosil, oleh Edwaren Liun, Sunardi, Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir, BATAN, dari sumber: researchgate.net.

Sementara hadirnya PLTB Tolo-1 Jeneponto akan melengkapi keberadaan PLTB Sidrap untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan di Indonesia, sekaligus semakin meningkatkan kehandalan kelistrikan di Sulawesi Selatan, yang rasio elektrifikasinya telah mencapai 99,12 persen.

Melalui keberhasilan pembangunan ini, Jokowi optimistis, target mewujudkan bauran energi primer Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dapat tercapai. Apalagi, Indonesia juga memiliki potensi lain yang cukup besar seperti panasbumi, energi surya dan air.[] Yuniman Taqwa