Kino Group Lakukan Balancing Offline dan Online  

Perusahaan FMCG dan distributor harus kembali ke core business di tengah pandemic saat ini. Sementara core business principal adalah menjaga brand  tetap hits atau market leader. Bagaimana KINO Group  mensiasati perubahan bisnis yang begitu cepat saat ini?

Semua negara di seluruh dunia mengalami penurunan Gross Domestic Product (GDP) akibat pandemi Covid-19. Akan tetap di Indonesia tidak semua sektor bisnis terimbas pandemic itu. Pemerintah memberhentikan bisnis selama berbulan-bulan dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal itu  membuat perusahaan menjadi collapse.

Harry Sanusi, CEO PT Kino Indonesia Tbk/Foto: Kino

Menurut CEO PT Kino Indonesia Tbk (KINO), Harry Sanusi, pada acara webinar Indonesia Industry  Outlook 2021 yang diselenggarakan Inventure, industri  FMCG (fast moving consumer goods)  cukup menarik, karena persaingannya sangat ketat. Sektor ini sangat defensive! Meski pertumbuhannya turun, tapi  tidak negatif. “Kalau untung, untung sedikit tapi tidak sampai rugi,”kata Harry Sanusi.

Namun situasinya sekarang, kata Harry, tidak semua FMCG bisa selamat. Paling bagus tumbuhnya mungkin single digit, tapi yang  negatif  bisa sampai di atas 50%. “Sudah pasti, paling terdampak  orang yang beraktifitas menggunakan produk tersebut di luar rumah. Dia tidak bepergian ke luar rumah jadi kebutuhan  bedak dan lipstick itu tidak dipakai,” urainya akibat pandemi.

Secara psikologis para karyawan dari sisi operasional terpengaruh. Sektor FMCG saat ini hampir 90% masih mengandalkan offline. Namun demikian KINO melakukan upgrade karyawannya untuk merubah pola kerja, sehingga bisa lebih  produktif.  “Manajemen mengumpulkan salesman, training semua dilakukan secara zoom dengan 400 orang. Ini trigger kita mencoba cara baru. Kalau dulu kita menyewa hotel, menyewa ballroom, sekarang sudah tidak perlu lagi,” jelas Harry.

Dari sisi konsumen terjadi perubahan ekspektasi dan perubahan frekuensi berkunjung ke toko menjadi berkurang. Efek lockdown mengakibatkan banyak perusahaan collapse. Ada PHK kabarnya sudah mencapai 5 juta orang. Belum lagi bicara sekitar 15 juta orang yang tidak punya pekerjaan. Hal ini yang menurut Harry, menyebabkan  daya beli masyarakat menurun. Tapi masih bisa mengelola penghasilan  sedemikian rupa, dan dapat mengatur cash flow keluarga.

“Akhirnya terjadi pemilihan-pemilihan produk tertentu yang  harus mereka konsumsi. Kalau tidak terlalu perlu dikonsumsi mereka melakukan shifting, terjadi perubahan konsumsi. Sekarang masyarakat lebih sadar untuk hidup lebih sehat,” kata Harry.

Belum lagi kebiasaan membeli snack, lebih banyak di rumah, sehingga mengakibatkan perubahan konsumsi. Mau tidak mau berdampak negatif terhadap konsumsi dan pertumbuhan dari konsumen di Indonesia karena perubahan behavior. Mereka akan lebih sadar bahwa mengkonsumsi lebih sehat karena suatu kewajiban.

Lebih lanjut ditambahkan, digitalisasi tidak bisa dihindari lagi. Sebelum pandemi pun tren digitalisasi mulai muncul. Konsumen di tengah pandemi  ini lebih nyaman memakai handphone untuk mendapatkan informasi dari satu pintu. Sehingga lebih mudah terkristalisasi pemain-pemain consumer goods untuk men-drive konsumen dan  terukur.

Orang tua di usia di atas 40 tahun, secara perlahan mulai buka YouTube, instagram. Berdasarkan survei, sekitar 60%, menghabiskan waktu 6 jam menghabiskan waktu di handphone. Jadi, nonton tv tidak terlalu diperhatikan lagi..”Shifting itu sangat signifikan ke digital dibandingkan ke konvensional,” kata Harry serius.

Menurutnya perilaku konsumen akan lebih teratur, lebih proper memperhatikan kesehatan. Produk-produk higienis akan menjadi dominan di masa mendatang. Kemudian selama pandemic ini kita dipaksa berkumpul bersama keluarga, sehingga komunikasi dengan keluarga lebih dekat. Fenomena ini ini membuat kebutuhan menjadi berbeda. “Sebagai pemain kita harus berpikir melihat opportunity di masa mendatang. Kita harus bisa menciptakan produk yang kira-kira bisa dikonsumsi oleh satu family,” kata pengusaha yang mulai menjajaki pasar ekspor sejak 2003 ini.

Itu tantangan bagi pengusaha-pengusaha yang  mungkin 10 atau 20 tahun lalu sukses dengan konvensional.  “Sekarang 360 derajat communication berubah. Kalau dulu cuma dapat rating berapa, placement berapa, sekarang harus dianalisa semua. Itu yang membuat pemain yang existing tidak bisa serta merta berubah. Kita harus bisa mentransformasikan  atau melakukan transisi kepada anak muda untuk melakukannya. Saya rasa itu tantangan yang harus disadari pelaku bisnis itu sendiri,”papar  Sarjana Farmasi lulusan Universitas Pancasila, Jakarta ini.

Existing player, menurut Harry, kalau tidak berubah dan masih pakai pola konvensional, maka akan kehilangan kelompok konsumen yang sudah menjadi manusia digital. Itu sebabnya dibutuhkan transformasi ke jajaran Sumber Daya Manusia yang lebih mudah dan lebih mengerti era saat ini.

Lantas, bagaimana menanggapi me too product yang hadir secara massif melakukan pola penjualan melalui social media?  “Itu yang menjadi challenge bagi kita dan  menjadi fokus melakukan hal yang sama karena ke depan akan terjadi pola seperti itu. Kami harus coba membuat  dua pola penjualan dengan segmen yang berbeda,” kata pria kelahiran Pontianak ini.

Lebih lanjut ditambahkan, Kino mencoba membuat dua pola dalam waktu bersamaan, tapi dengan orang dan organisasi berbeda. Cara demikian menghindari over lapping. Misalnya orang offline disuruh mengerjakan online, sehingga justru tidak mengerti eksekusinya. “Kami sudah mempersiapkan infrastruktur. Kami juga tidak mau ketinggalan!  Itu menjadi sejarah kegagalan perusahaan-perusahaan yang bertahan dengan kondisi masa lalu dan tidak mau berubah,” tandas Harry serius.

Harry yakin akan terjadi perubahan fundamental ke digital. Cuma masalahnya apakah infrastruktur di online itu mendukung atau tidak? Ini tergantung dari pemerintah untuk membuat internet bagus,, logistiknya lancar. Kalau infrastruktur ini memadai, maka otomatis digital yang meningkat signifikan.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, tambah Harry, bisnis online di Indonesia mungkin kini hanya 3%, tapi di negara maju mungkin sudah di atas 10%, bahkan sampai 30%. “Nah, ini masalah di internel yang tidak kelihatan dan logistik yang kelihatan. Kalau dua hal itu diperbaiki, maka otomoatis bisnis online yang memang sangat efisien dan efektif itu akan meningkat dan offline akan berkurang,” urainya.

Sejauh ini pihak swasta menurut Harry sudah siap semua. Kini tinggal tergantung dari pihak pemerintah. Saat ini tidak bisa maksimal karena infrastrukturnya tidak mendukung. Apalagi barang-barang dalam kemasan besar, sehingga ongkos logistiknya semakin mahal.

Kino memiliki beberapa portofolio katagori produk, seperti personalcare, makanan dan minuman (mamin), jamu dan sebagainya. Untuk personalcare jelas ada penurunan, tapi untuk produk sanitasi, seperti hand sanitizer  komposisinya  menjadi lebih besar. “Jadi, terjadi shifting atau terjadi balancing dari total bisnis Kino Group. Mau tidak mau ke depan lebih fokus ke produk-produk yang akan menjadi tren,”tutur pria kelahiran 1967 ini.

Oleh karena itu, menurut Harry, prorduk-produk yang tidak menjadi mayor itu dikurangi, terutama di kategori personalcare atau pun yang berhubungan dengan kecantikan. Makanan-makanan untuk anak-anak sekolah bisa mengalami penurunan lebih dari 50%.

Sementara Budi Muljono (Corporate Finance Director  PT Kino Indonesia Tbk)  menyebutnya ‘ Blessing in Disguise’,  di tengah situasi memburuk  ada berkah terselubung bagi  perusahaan nasional ini. Terkait dengan  merebaknya virus Covid-19, diakuinya  terjadi  lonjakan permintaan hingga 10 kali lipat pada produk hand sanitizer Kino Group  dibandingkan tahun sebelumnya di periode yang sama.

“Kami terus mengingatkan sales, kita harus bisa meningkatkan kapasitas produksi karena permintaan hand sanitizer tinggi. Kami sampai buka hotline sendiri untuk konsumen hand sanitizer  Eskulin dan produk kami yang baru dengan merek Instance. Responnya luar biasa. Petugas hotline kami cukup kewalahan karena tak sedikit orang yang memesan ratusan karton, bahkan ribuan karton,” paparnya.

Kino Group  tetap memproduksi produk-produk yang existing. “Tapi fokus kami memang ke produk-produk yang lebih menjadi tren sehingga pertumbuhan bisnis kami bisa lebih baik dari kompetitor,”ungkap Harry. Bahkan Desember tahun lalu, ketika terjadi pandemic Covid-19 di Wuhan,  Kino sudah memprediksi kebutuhannya, maka  sejak Januari 2021 sudah  mulai menaikkan kuantitas.

Menurut Harry, brand yang diciptakan sebetulnya berdasarkan riset konsumen. Yang berubah cuma channel, yaitu  online dan offline. Nah, bagaimana top manajemen membuat antara generasi muda dan genarasi tua bisa mengerti, sehingga sama-sama bergerak untuk menggapai konsumen yang terbelah dua itu. “Kedua channel besar itu harus dirawat. Itu menjadi transisi untuk kondisi saat ini. Itu cukup challenge saat ini,” lanjut Harry.

Di mana suatu industri yang berbeda best practice, digabung menjadi satu akan menjadi problem di belakang hari. Biasanya bila dimulai dengan teknologi, maka mereka tidak memikirkan offline. Sedangkan yang offline tidak ingin menuju ke online, akhirnya juga akan menjadi masalah.

Oleh karena itu, bila ingin membuat perusahaan terus maju dan bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain, tambah Harry, mau tidak mau kita berkolaborasi dengan masing-masing pihak untuk menyesuaikan tren-tren baru.

Lebih lanjut ditambahkan, sebagai perusahaan FMCG harus kembali ke core business. Kemudian juga bagi perusahaan distributor. “Jadi, dalam core business principal adalah bagaimana kita menjaga brand kita tetap menjadi hits atau market leader. Dan bagaimana kita mengembangkan hal itu.

“Kalau berbicara mengenai distribusi, maka kita harus membuat sistem sedemikian rupa, sehingga tidak tercerai berai. Kita bisa mengontrol bisnis distribusi dengan baik. Itu kewajiban bagi principal,” tambah Harry.

Tapi faktor-faktor lain, seperti logistik bisa diserahkan pada tripartit, lebih baik diserahkan kepada tripartit yang memang lebih konsen dan ahli mengelola hal itu. Dengan cara demikian keberhasilan menjadi maksimal.

Harry menambahkan, sekarang ada performance  yang langsung online ke retailer. “Saya kira bagaimana kita melakukan antara offline dan online dengan seimbang. Yang penting mem-balancing jangan sampai menimbulkan masalah baru, seperti masalah teritori, masalah harga, salah kue yang terambil antara offline dan online,” jelasnya serius. Hal itu harus dipastikan tidak terjadi, sehingga tidak membuat jadi berantakan, terutama yang baru menjalankan online. Hal ini mungkin terjadi pada semua pemain FMCG.

Pasalnya, ekosistem offline yang sudah terbentuk selama puluhan tahun ini akan terganggu oleh munculnya online. Ini menjadi seperti cerita antara ayam dan telur. Kalau mau mulai online, akan mengganggu offline, kalau tidak memulai online, maka kita akan ketinggalan. Ini menjadi tantangan tersendiri.

Sementara di dunia ini menurut Harry hukum alam yang berlaku. Di mana ada penurunan, nanti ada kenaikan. Tahun ini, misalnya, tiba-tiba kita dikagetkan atau paranoid.. Bila paranoid diselesaikan dengan baik, maka akan terjadi euporia. “Mudah-mudahan euporia itu lebih besar daripada yang kita harapkan, sehingga bisa terjadi double impact,” tambah Harry mengunci percakapan. [] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa