Meneropong 10 Industri di Second Wave Pandemi

Survei  Inventure-Alvara yang dilakukan Juni lalu  men-capture 10 sektor industri. Banyak hal menarik dalam survei  kali ini, karena sebagian masyarakat  sudah  melakukan vaksinasi. Bagaimana hasilnya?

Ada temuan menarik di sektor banking dan financial. Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, penggunaan digital banking semakin besar di kalangan konsumen. Meskipun  setelah divaksin, ternyata konsumen tetap menggunakan layanan aplikasi digital banking.

Padahal asumsinya menurut CEO Alvara, Hasanuddin Ali, orang setelah divaksin tetap akan  pergi ke ATM (authomated teller machine-red). Tapi ternyata ketika responden ditanya setelah divaksin, hasilnya 1,2% mereka akan tetap menggunakan aplikasi digital banking untuk kebutuhan sehari-hari. Hal yang sama juga bila dilihat dari transaksi di  kantor cabang, ternyata yang menggunakan aplikasi digital banking juga lebih tinggi, yaitu 57,3% berbanding  42,7%. “Mungkin mereka yang 42,7 % ini layanan-layanan yang masih membutuhkan kehadiran fisik, misalnya mengurus buku tabungan atau ketemu customer service,” kata Hasanuddin seraya menambahkan, dari  dua temuan itu saja,  semakin memperkuat bahwa peningkatan penggunaan konsumen terhadap digital banking semakin kuat.

Lebih lanjut ditambahkan, bila dilihat dari sisi transaksi, masyarakat kita sudah  terbiasa transaksi menggunakan QR Code, menggunakan digital payment, pembelanjaan di marketplace, e-commerce dan lain-lain. Dengan maraknya teknologi digital, masyarakat makin tidak tertarik dengan penggunaan pembayaran berbasis kartu, baik itu kartu debit maupun kartu kredit. Hasil survei menyebutkan 50,9% mereka menyatakan setuju dengan pernyataan itu dan 49,1% menyatakan tidak setuju. “Ini menunjukkan publik kita semakin terbiasa menggunakan pembayaran-pembayaran non-tunai,” katanya.

Sementara di sektor industri media dan telco. Bila kita lihat penggunaan on demand streaming service, seperti  netflix, Disney + , HBO Go dan  spotify  dan terusnya. Kita melihat demand mereka mencapai 66,4% responden lebih memilih layanan berbayar. Misalnya ketika piala Eropa, masyarakat berbondong-bondong memilih menggunakan aplikasi bola. “Sekarang saat Olimpiade Tokyo 2021 juga banyak yang mulai berlangganan ke video berbayar, “tambah Hasanuddin.

Menurutnya, hal ini memperkuat hasil riset bahwa tingkat demand masyarakat kita terhadap layanan streaming  berbayar semakin tinggi. Hal lain, yaitu langganan berita online premium.  Media cetak kini banyak beralih ke online. Bahkan, media online tersebut sudah ada langganan premiumnya. Misalnya di Kompas, Time, Tempo dan lain-lain. Kalau kita lihat, minat konsumen berlangganan online premium juga tinggi, sebesar 62,6%. “Mereka ini mendapatkan berita-berita yang lebih akurat. Yang lebih presisi, tapi juga ada unsur kedalaman, dari sekedar mereka mendapatkan berita online yang gratis,” kata Hasanuddin.

Sementara  managing partner Inventure, Yuswohady mengatakan, dulu merasa bahwa media mainstream tidak semua orang bisa bikin berita, tapi kondisi ini menjadi senja kala dari media mainstream. Sekarang ini hoax, informasi tidak crosscheck dan seterusnya banyak beredar. “Sekarang kita sudah pada tahapan menyaring informasi mana yang benar dan salah, itu susah. Mana hoax, mana yang tidak semakin sulit. Yang terjadi seperti  fighting back dari media mainstream. Masyarakat kembali percaya pada media yang ngetop-ngetop dulu atau media yang sesungguhnya, jadi bukan media abal-abal” katanya.

“Tingginya penggunaan layanan streaming merupakan salah satu contoh yang menandakan bahwa masyarakat sudah mulai go digital baik untuk kegiatan sehari hari, sampai bekerja dan bersekolah. Oleh karenanya Telkom akan terus mendukung aktivitas masyarakat yang berbasis online dengan berkomitmen memberi layanan terbaik kepada masyarakat dengan teknologi terkini,” ungkap Venusiana, Director Of Consumer Service, Telkom dalam gelaran acara Indonesia Industry Outlook 2nd Semester 2021.

Hasanuddin menambahkan, hari ini publik di dipaksa bekerja di rumah (Work From Home). Namun demikian,  ada hal menarik tentang kebijakan  WFH permanen. Responden ternyata  tidak tertarik membeli rumah yang dekat dengan pusat kota. Hasil riset menyatakan, yang tidak setuju dengan pernyataan itu cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan setuju. Sekitar 54,1% tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Artinya ketika membeli rumah atau apartemen, maka faktor jarak terhadap  tempat mereka beraktifitas juga tetap penting.

Padahal hipotesis awal menurut Yuswohady, ketika konsumen bisa WFH, maka logikanya konsumen tidak perlu ke pusat kota. Konsumen cukup tinggal di rural (di pinggir kota), karena setiap saat bisa kerja di rumah. “Hipotesis kita ketika WFH permanen, maka mestinya rumah tinggal nggak perlu dekat pusat kota. Bahkan, mungkin di Depok, Jogya, Gunung Kidul atau balik kampung,” katanya.

Ternyata hasil survey jawabanya tidak seperti itu. Respon masih mengatakan bahwa pusat kota tetap penting. Ini indikasi, kata Yuswohady, bahwa masyarakat kita masih menganggap penting hidup di kota. Padahal saat pandemi yang paling terserang adalah kota-kota. Kota-kota second city tidak terlalu parah terkena pandemi. “Makanya kita melihat tren ke depan orang kota makin terpinggir. Tapi sampai ke Juni 2021, ketika dilakukan survei ternyata 54% menyatakan  setuju membeli rumah di dekat pusat kota.

Di samping itu, bagi konsumen, kombinasi fasilitas akses dan TOD (Transit Oriented Development ) adalah paket menarik yang menjadi faktor pertimbangan utama ketika membeli properti. Studi dari Inventure-Alvara, 54% responden menganggap akses ke pusat kota masih sangat penting, sementara 56,2% menjawab fasilitas TOD adalah selling point yang harus ada.

“Kami memprediksi bahwa WFH dan WFO akan berjalan seiring dimana waktu kerja akan terbagi menjadi bekerja di rumah dan di kantor. Karena itu akses dan kedekatan dengan pusat-pusat kota tempat mereka berkantor tetap akan penting,” kata Yuswohady.

Sementara maraknya e-commerce di Indonesia mendorong meningkatnya persaingan di bisnis kurir dan logistik. Hal ini ditandai dengan maraknya pemain baru di industri ini dan berkembangnya layanan yang muncul. Sebanyak 77,3% responden setuju, kurir yang cepat dan tepat lebih dipilih dibanding kurir yang hanya memberikan harga murah.

Hasil temuan ini juga disetujui oleh Faizal Djoemadi, President Director, PT Pos Indonesia dalam gelaran Indonesia Industry Outlook 2nd Semester 2021 yang menyatakan bahwa “layanan dan akurasi waktu yang dijanjikan kurir sangat penting, ketepatan alamat juga sangat penting”.

Temuan lain dari riset Inventure-Alvara mayoritas responden 61% menganggap brand jasa kurir tidak lagi relevan karena layanan yang diberikan umumnya adalah komoditi. Menanggapi hasil temuan ini menurut Faizal Djoemadi, brand-brand yang dilihat oleh customer sesuai kepentingannya. Sementara itu pedagang memilih kurir secara leluasa sedangkan di marketplace disesuaikan oleh kurir.

“Inilah tantangan yang dihadapi oleh para penyedia  jasa logistik, yaitu faktor layanan dan kualitas dari jasa kurir menjadi sangat penting agar brand mereka step out dari komodinisasi dari layanan ini, “tambahnya.

Sementara bisnis pariwisata menjadi salah satu yang paling terdampak dengan adanya pandemi Covid-19. Ketika pandemi mulai melandai pada Maret, April,  namun di Mei naik lagi.  Di second wave ini, sektor pariwisata terkena dampak paling serius.

Sebanyak 79% responden setuju untuk mengurangi kegiatan berwisata.  “Jadi, faktor terkait keamanan dan kenyamanan pada saat berwisata agar tidak terhindar tertular Covid-19 ternyata menjadi pertimbangan utama konsumen  berwisata atau tidak,” kata Hasanuddin. Faktor keamanan dan kebersihan menjadi salah satu yang paling dipentingkan oleh konsumen ketika memilih tempat wisata mereka.

Menurut Yuswohady, sekarang ada istilah everyday is holiday, everyday is working day. “Kebetulan saya ini tertahan di Bali, sudah 1,5 bulan tinggal di sana bersama keluarga. Tapi mau balik ke Jakarta kena PPKM Darurat. Jadi tidak bisa balik ke Jakarta. Yang terjadi selama 1,5 bulan saya tetap kerja. Jadi, antara liburan dengan kerja sudah mix,” katanya.

Yang menarik, kata Yuswohady, konsumen itu justru bukan mencari di long week end. Kenapa? Long week end pertama tidak aman, karena ramai pengunjung. Harga hotel juga mahal. Trennya kita bisa kerja sambil liburan. “Selama ini pola liburan banyak di akhir pekan atau di long week end atau di lebaran  dan akhir tahun. Kini orang semakin menghindari   keramaian.

Sama halnya anak-anak sekolah dari rumah atau schooling from home atau schooling from anywhere. Dengan demikian pola berliburnyan akan lebih merata dan tidak  terkonsentrasi pada waktu-waktu tertentu.

Sedangkan responden yang mengikuti kegiatan seminar, latihan, pameran, ternyata masih sebesar 10,2%. Tapi kalau diminta memilih, mereka lebih memilih mengikuti kegiatan seminar secara offline. Ini kabar gembira di indusri MICE. Begitu vaksinasi sudah banyak dilakukan, maka minat mereka untuk melakukan event-event terkait seminar, konser musik dan seterusnya masih tinggi.

Kemudian menurut Yuswohady, pilihan konsumen terhadap destinasi-destinasi wisata, pilihannya adalah lokasi-lokasi yang sudah mendapat  Cleanliness , Health , Safety  dan Environment  (CHSE) yang menjadi pilihan utama. Misalnya milih  hotel, akomodasi, villa resort dan lain-lain yang sudah mendapatkan sertifikat CHSE. Temuan riset ini menyebutkan 82% menganggap sertifikat CHSE menjadi penentu pilihan.

“Pilihan wisata rural atau desa wisata ternyata diminati, karena dianggap relatif lebih aman. Konsep wisata alam yang terbuka, yang bersifat adventure, yang  bersifat ekologis itu ternyata lebih diminati oleh konsumen,” kata Yuswohady.

Sementara sektor food and beverage yang banyak dipilih adalah resto atau café yang outdoor, dibandingkan yang indoor. “Ini mengkonfirmasikan riset kita yang terdahulu bahwa ketika mereka memilih tempat makan atau resto, maka salah satu preferensi adalah café atau resto yang outdoor dibanding yang indoor. Pasalnya, indoor lebih mudah  terpapar  covid.,” kata Yuswohadi sambil menambahkan konsumen lebih memilih makanan yang sehat. Hasil survey menyebutkan angka 78,8 % memilih makanan sehat dan mimilih resto yang outdoor.

Kemudian dari sisi kosmetik, konsumen lebih mementingkan skincare dibanding dekoratif. Perlindungan terhadap kulit lebih dpentingkan dibandingkan make up atau dekoratif. Sekitar 78% mereka setuju bahwa WFH mereka lebih sering memilih produk skincare.

Yang menarik lagi, kata Yuswohady, apakah konsumen lebih memilih rias mata atau rias bibir. Karena menggunakan masker, ternyata mereka lebih penting membeli rias mata dibanding rias bibir sebesar 61,7%.

Sedangkan yang terkait dengan online school, ternyata ada sebuah kejenuhan dari sisi masyarakat terkait sekolah online. Sebanyak 80,8% masyarakat kita ingin sekolah tatap muka, bila anaknya sudah divaksin. Mereka menganggap belajar online tidak terlalu efektif  dari sisi penyampaian dibanding tatap muka. Sekitar 85,3% mereka setuju dengan pernyataan bahwa belajar online membuat siswa tertinggal mengikuti pelajaran dibanding belajar tatap muka di kelas.

Sedangkan kurikulum berbasis digital itu sebesar 57,3% disetujui oleh konsumen kita.  Hal ini lebih terkait dengan reputasi  sekolah. “Ada sebuah persepsi yang mengatakan kalau sekolah sudah menggunakan kurikulum berbasis digital, itu berarti reputasi sekolah itu lebih tinggi dibanding yang belum.

Dalam sektor pendidikan  konsumen memilih universitas yang sudah mempunyai reputasi karena faktor usia universitas, seperti UI, ITB dan lain-lain. Tapi sekarang sudah mulai bergeser bahwa sekolah-sekolah seperti Binus (Universitas Bina Nusantara-red) yang menonjolkan kekuatan kurikulum digital, dari segi materinya, cara penyampaiannya perkuliahannya digital itu menjadi pilihan baru. Itu menjadi faktor penentu memilih universitas.[] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa