Perlu Kritis Memilih Fintech Pinjaman

Solusi mendapat pinjaman cepat terjawab dengan memanfaatkan fintech Peer to Peer Lending. Namun masyarakat perlu kritis dalam memilih platform fintech yang banyak ditawarkan. Pastikan fintech yang anda pilih sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Anda terdesak membutuhkan dana tunai? Dalam tempo singkat, pinjaman anda akan cair tanpa harus menunggu berhari-hari! Kira-kira demikian pesan singkat SMS (Short Message Service) pinjaman online yang kerap mampir di ponsel anda.  SMS itu mungkin berulang kali anda terima untuk mengingatkan, bila suatu saat anda membutuhkan.

Beberapa tahun terakhir ini, platform  financial technology (Fintech) bermunculan bak jamur di musim penghujan. Apalagi Fintech dengan line business peer to peer (2P) lending atau menyalurkan dana dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman  yang kerap disebut pinjaman online.

Sampai saat ini, ada 99 Fintech pinjaman online terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menyusul 150 platform yang disebut-sebut sedang dalam proses pendaftaran. Potensial ada 250 P2P di Indonesia dalam dua tahun ke depan.

Sampai saat ini, fintech payment (pembayaran) dan lending (pinjaman) dianggap sebagai dua jenis fintech yang aktifitasnya paling menonjol di Indonesia. Deputi Direktur Pengaturan Penelitian dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan menuturkan, perkembangan bisnis fintech di Indonesia dipicu oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap pendanaan perbankan, sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com.

Riset OJK pada 2016 mengungkapkan kesenjangan pendanaan di Indonesia sebesar Rp989 triliun per tahun. Kesenjangan itu muncul lantaran kebutuhan pendanaan sebesar Rp1.649 triliun tak mampu dipenuhi oleh lembaga keuangan yang hanya memiliki total aliran dana Rp660 triliun.

Foto: CekAja

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga akhir Januari 2019 penyaluran pinjaman fintech lending senilai Rp 25,59 triliun dari 99 penyedia layanan telah yang bergerak di bidang produktif, multiguna-konsumtif, dan syariah.

Data OJK mencatatkan hingga April 2019 jumlah pinjaman dari fintech lending yang terdaftar sebesar Rp37,01 triliun atau tumbuh 63,33% dibandingkan akhir tahun lalu atau year-to-date (ytd) Rp22,66 triliun.

Bila dilihat dari sisi kreditur, sudah ada sekitar 267 ribu entitas yang memberikan pinjaman kepada lebih dari 5 juta masyarakat dengan lebih dari 17 transaksi. Namun dibalik terus tumbuhnya pinjaman online, banyak oknum yang memanfaatkan pinjaman online, sebagaimana dikutip dari artikel bertajuk: Fintech Berkembang, Manfaat vs Mudarat, indopos.co.id, Sicilia, 25 Maret 2019.

Ternyata kemunculan perusahaan teknologi finansial (fintech) yang menawarkan pinjaman secara online, menjadi tantangan industri  perbankan, khususnya di lini bisnis di segmen konsumer. Akhirnya  beberapa bank pun kepincut meluncurkan produk pinjaman online.

PT Bank DBS Indonesia misalnya. Meluncurkan fitur kredit tanpa agunan (KTA) instan dalam platform perbankan digital miliknya, Digibank. Melalui kemudahan yang ditawarkan, Director Consumer Banking Group DBS Bank Indonesia Wawan Salum bilang, fitur baru ini dapat mendongkrak segmen kredit konsumer perseroan, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id.

“Segmen KTA memang andalan kami untuk kredit consumer, dibandingkan KPR  maupun kartu kredit. Melalui fitur KTA Instan pada Digibank ini kami berharap bisa mendongkrak pertumbuhan KTA hingga 15%,” kata katanya dalam peluncuran KTA Instan Digibank, 20/5 di Jakarta.

Foto: OJK

Sementara Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan, saat ini pihaknya tengah menggodok rencana yang mewajibkan seluruh penyelenggara P2P lending untuk mencantumkan informasi jumlah nilai pinjaman tersalurkan dan jumlah lender serta borrower di situs masing-masing. Kendati data-data tersebut merupakan data krusial bagi beberapa platform, Hendrikus menegaskan semua penyelenggara harus mengikuti ketentuan tersebut, sebagaimana dikutip dari tempo.co.

Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan status terdaftar sebagai penyelenggara legal P2P lending yang hanya membidik kucuran dana lewat pendanaan berseri. “Mestinya begitu mendapat status terdaftar, Anda harus aktif mendekati para UMKM. Saya justru khawatir dia dapat tanda daftar, lalu hanya melayani 100 orang, saya khawatir orang ini hanya mau jual beli tanda daftar,” kata Hendrikus.

Namun demikian, platform pinjaman online tersebut legal. Banyak pula , tumbuhnya platform-platform pinjaman online ilegal yang meresahkan nasabahnya. Dikatakan meresakan masyarakat, karena bila nasabah (orang yang meminjam online-red), telat membayar, sesuai dengan jatuh tempo yang disepakati, maka nasaba mendapat teror yang berkepanjangan yang dapat menggagu psikis.

Dimana utang pinjaman online kepada perusahaan fintech Peer to Peer (P2P)  bisa meneror pihak debitur, terutama saat penagihan. Bahkan nasabah pun harus kehilangan mata pencahariannya.

Seperti yang diungkapkan Dona, salah seorang yang telah berkutat dengan perusahaan perusahaan fintech sejak April 2018. Dona menceritakan, dia merupakan orang pertama yang mengadu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tentang tindak teror perusahaan fintech atas dasar pinjaman online tak berbayar yang dilakukannya, sebagaimana dikutip dari liputan6.com.

Akibatnya, laporan tersebut berbuah pil pahit. Dona harus melepas pekerjaan yang digelutinya pasca sang bos memecatnya.”Saya pelapor pertama ke LBH Jakarta. Saya kehilangan pekerjaan gara-gara satu aplikasi online yang meneror saya. Atasan tak mau mentoleransi karena saya memberikan namanya sebagai kontak darurat atau jaminan,” ungkapnya di Jakarta, (4/2/2019).

Banyak lagi nasib yang sama  dialami Dona-Dona yang lainnya. Seluruh database handphone yang dimiliki ternyata sudah di-copy perusahaan pinjaman online. Oleh mereka, disebarkan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan mempunyai tunggakan hutang dan sebagainya.

Sejak Januari 2018, Satgas Waspada Investasi OJK telah memblokir 947 entitas fintech ilegal dimana untuk tahun 2019 sendiri mencapai 543 fintech ilegal yang diblokir dan pada 2018 sebanyak 404 fintech ilegal. Perusahaan fintech dikatakan ilegal karena tidak terdaftar di OJK, sesuai dengan Peraturan OJK No.77 Tahun 2016, bahwa seluruh penyelenggaraan fintech lending harus sudah terdaftar OJK.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, perkembangan bisnis financial technology (fintech) di Indonesia sangat pesat. Hal ini juga mendorong maraknya aplikasi rentenir online ilegal yang meresahkan masyarakat. Dengan menawarkan pinjaman secara online yang mudah dan cepat, sayangnya mereka menyertai bunga yang tinggi, hingga proses bisnis yang tidak wajar. “Sekarang ini banyak produk-produk teknologi yang tentu segmennya masyarakat yang enggak bankable. Kredit bisa didapatkan dengan pinjaman online,” ujar Wimboh di Jakarta, sebagaimana dikutip dari moneysmart.id.

Sementara Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, selain memastikan status fintech legal, konsumen seharusnya mencermati syarat dan ketentuan yang diminta aplikasi pinjaman, seperti besaran bunga, lama pinjaman dan denda keterlambatan. Dengan demikian diharapkan masyarakat tidak terjebak dalam pinjaman online yang tidak berizin atau fintech ilegal.“Hal ini karena seluruh praktek bisnis anggota AFPI mengacu pada market conduct yang diatur dalam code of conduct atau pedoman perilaku sebagai dasar AFPI menjalankan market disiplin,” kata Kuseryansyah, sebagaimana dikutip dari bisnis.com.

Itu sebabnya keberadaan fintech terdaftar dan tidak terdaftar menjadi jelas dan berkekuatan hukum. Jika terdapat masyarakat yang merasa dirugikan dari Fintech yang tidak terdaftar akan menjadi masalah delik penipuan. Apabila merasa ditipu bisa langsung lapor kepada kepolisian.

Sejauh ini telah dilakukan pengumuman fintech lending ilegal kepada masyarakat, mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komnikasi dan Informasi, memutus akses keuangan, mengimbau perbankan untuk menolak pembukaan rekening tanpa rekomendasi OJK, melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang diduga digunakan untuk kegiatan ilegal.  Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menambahkan, pemerintah terus melakukan edukasi dan literasi mengenai Fintech P2P Lending, antara hak dan kewajiban yang harus diketahui masyarakat.

Pihak OJK bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menghapus sebanyak 803 entitas, baik aplikasi maupun situs yang melakukan aktivitas pinjaman online ilegal. Tercatat ada sebanyak 404 entitas dihapus pada periode 2018. Sedangkan, pada Januari hingga Maret 2019, OJK telah melakukan take down sebanyak 399 entitas.

Dan keputusan akhir dalam memilih Fintech kembali kepada masyarkat. Pemerintah sudah memberi petunjuk dan arahan serta sanksi yang tegas kepada Fintech-Fintech yang bermasalah. Tinggal masyarakat yang kritis dalam memilih Fintech agar terhindar dari kerugian. [] Yuniman Taqwa/Ilustrasi: Jaringan Prima