Dari Limbah Kulit Ceker Ayam Jadi Sepatu

Siapa sangka dari limbah kulit ceker ayam bisa menghasilkan sepatu yang bernilai jutaan rupiah? Adalah Nurman Farieka Ramdhany, sosok anak muda asal kota Bandung  yang menemukan ide cemerlang ini.

Setelah mencoba peruntungan di dunia usaha, Nurman Farieka Ramdhany akhirnya  kepincut dengan usaha sepatu. Dari usaha produksi sepatu ini ia mengembangkan riset sepatu dari kulit ceker ayam.

Dari limbah ceker ayam disulap jadi sepatu (Foto: Instagram Hirka.Official)

Ide brillian  muncul ketika Nurman melihat  persaingan yang tidak relevan di pasar.  Kita sama-sama menjual produk serupa di Indonesia dengan harga yang murah, namun dari luar negeri kita mendapat produk-produk serupa dengan harga yang lebih murah. Menurutnya terjadi persaingan yang tidak sehat hingga sulit bagi pengusaha lokal menentukan harga tetapnya. Dari situ pria 25 tahun ini mulai berpikir membuat sesuatu di area yang bisa dinikmati banyak orang namun mempunyai ‘value’ lebih.

Hingga suatu hari  di tahun 2015 ia menemukan artikel yang ditulis ayahnya semasa kuliah di Politeknik Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta tentang pemanfaatan limbah kulit ceker ayam  yang memiliki tekstur unik dan  dapat mengganti penggunaan kulit satwa liar untuk berbagai jenis produk yang bernilai fesyen.

Seperti diketahui, penggunaan kulit satwa liar  dapat mengancam populasi kelangsungan hidup mereka. Dari banyak penelitian yang dilakukan ayahnya selama  aktif di kampusnya, ditemukan banyak spesies seperti kulit katak, kulit bebek, ikan pari dan kaki ayam yang dapat menggantikan satwa liar seperti ular dan buaya yang bernilai tinggi sebagai bahan baku bernilai tinggi untuk sustainable fesyen.

Saat itu Nurman memilih kulit ceker ayam sebagai bahan baku sepatu formil pria.  Ia lebih memilih kulit ceker ayam karena  ada beberapa isyu yang bisa diangkat dengan menggunakan limbah kulit ceker ayam.  Pertama, kulit ceker ayam merupakan limbah dari banyak resto siap saji di Indonesia.  “Ini alasan pertama kami gunakan kulit ceker ayam,”cerita Nurman  kepada pelakubisnis.com.

Isyu kedua kenapa Nurman memilih   kulit ceker ayam  adalah karena teksturnya yang menyerupai kulit ular dan buaya. “Harapan kami di masa yang akan datang, penggunaan kulit-kulit  yang eksotis diminimalisir  dan sebagai alternatifnya adalah kulit ceker ayam karena berawal dari limbah yang tidak mempunyai value hingga dijadikan produk yang memiliki value,”terang jebolan Fakultas Ekonomi bidang Akutansi,  Universitas Widyatama, Bandung ini.

Ia pun memulai riset di tahun 2015  untuk mengetahui kekuatan  gaya gesek kulit ceker ayam, kelenturannya,  durability  dan sebagainya  hingga bahan baku ini layak produksi. “Akhirnya saya kembangkan hasil riset ayah saya dulu. Menganalisa kulit ceker ayamnya saja membutuhkan waktu satu tahun. Di tahun 2016 baru kami lakukan riset untuk sepatunya.  Memang agak lama merisetnya karena kami menggunakan material yang tidak umum.  Makanya kami bisa mengklaim bahwa kami produsen pembuat sepatu dengan bahan kulit ceker ayam yang pertama di dunia,”cerita Nurman dari ujung telepon yang sempat bekerjasama dengan periset dari Singapura.

Tipisnya kulit ceker ayam  menjadi kendala dalam  proses riset yang membutuhkan waktu hingga satu tahun.  Belum lagi ia mencari cara bagaimana merelevansikan  keinginan masyarakat konsumen di Indonesia dengan produk yang dihasilkan. “Sedangkan orang Indonesia sering skeptis dengan produk-produk yang berbau lokal.  Masih banyak aspek yang memungkinkan produk ini untuk dibully. Makanya perlu branding. Banyak aspek yang perlu kami pelajari tentang bagaimana agar masyarakat ‘trust’ dengan produk yang kami miliki,”paparnya.

Tahun 2017 Nurman mulai memasarkan sepatu kulit ceker ayam ke pasar, sambil menjalankan bisnis sepatu kanvasnya yang belum lama ia tekuni.  Dan ternyata sepatu kulit ceker ayam nya mendapat sambutan dari Pemerintah Daerah Kota Bandung. Saat itu ia pun mendapat fasilitas mengikuti Pameran Inacraft 2017 sekaligus menjadi momen peluncuran sepatu kulit ceker ayam yang bermerek Hirka ini.”Gak sedikit orang yang memberikan apresiasi dengan kehadiran produk kami,”kenang Nurman.

Salah satu item sepatu kulit ceker ayam (Foto: Instagram Hirka.Official)

Sepatu kulit ceker ayam ini pun sukses menarik perhatian pengunjung karena tekstur kulitnya yang menyerupai  kulit ular. Dan ternyata tekstur kulit kaki ayam ini pun tidak mudah mengelupas dibandingkan dengan kulit ular.  Tak ayal, saat itu Nurman sampai meningkatkan produksinya per bulan yang awalnya hanya 100 pasang naik menjadi 200 pasang sepatu.

Dari even-even pameran yang dilalui Nurman sepanjang 2017 hingga saat ini ia menyimpulkan produk kulit kaki ayamnya sangat diterima pasar luar negeri dibandingkan pasar dalam negeri.  Namun output yang diinginkan Nurman tetap pasar di tanah air karena jumlah populasinya yang tinggi. “Makanya ketika calon mitra yang meminta produk kita dalam skala besar dengan menggunakan brand mereka, katakanlah menjadi made in Singapure, itu kami tidak mau,”paparnya.

Dari awal  Nurman tak begitu khawatir  bila produk kulit ceker ayamnya tak begitu sukses. Karena ia mempunyai bisnis sepatu kanvas juga yang sudah diterima pasar di tanah air. Kelahiran sepatu berbahan kulit ceker ayam semata-mata berangkat dari idealismenya sebagai anak bangsa yang ingin berkarya untuk Indonesia.  Goal yang ingin ia capai adalah, bagaimana orang-orang luar negeri bisa paham bahwa Indonesia ini sangat luas, punya banyak aspek di dalamnya tak hanya bicara soal pariwisata. Tapi Indonesia juga punya produk-produk kreatif yang bernilai tinggi.

Sekarang untuk membangun ‘trust’, Nurman berupaya mengedukasi pasar melalui channel-channel media agar masyarakat mau membeli produknya. Channel sosial media menjadi sasaran Nurman berpromosi saat ini dengan memanfaatkan influencer-influencer untuk membantu promosi, membantu edukasi dan membangun ‘trust’ dari masyarakat. “Di Januari 2020 kemarin sebenarnya kami sedang berlari. Namun corona muncul. Akhirnya kami cooling down sampai sekarang. Alhamdulillah  kami masuk kategori yang masih bertahan,”ujar Nurman seraya menambahkan, pada Januari 2020 follower Hirka di sosial media mencapai 1500, sekarang sudah mencapai 10.700 follower (26 Juni 2020-red).

Terbukti, tak sedikit yang membeli produknya.   Menurut Nurman boleh jadi karena edukasi  dan tak hanya berjualan, di sosial media Hirka mengkomunikasikan banyak hal dan menebar ilmu. Konten-konten yang  disajikan pun porsinya dibuat berimbang antara berjualan dengan edukasi pasar dan kegiatan bersosialisasi.”Makanya saya ingin mengajak pemilik brand-brand lokal untuk edukasi market agar konsumen mau beli brand lokal. Seperti ada yang mengangkat kultur budaya Indonesia lewat produk street wear yang notabene bukan produk kita. Tapi setidaknya ada edukasi dan kasih pencerahan kepada masyarakat pada umumnya. Karena beli produk itu banyak pertimbangan, kalau tidak dibantu dengan edukasi ya jadinya sama saja tak ada nilai tambah,”papar Nurman.

Ada 5 stakeholders yang harus dipahami yakni  regulasi pemerintah, media, brand itu sendiri, masyarakat pada umumnya dan konten sosial media yang kita miliki, semuanya saling berkaitan. Bagaimana caranya bisa saling bersinergi.

Dari positioningnya, Nurman menempatkan Hirka ke segmen konsumen pekerja berusia 20 – 35 tahun, sneakers antusias, lalu beberapa stakeholder lainnya. Yang jelas, Hirka ingin menyasar segmen yang ingin tampil formal tapi tetap gaul juga.

Ada dua varian produk yang ditawarkan Hirka yakni jenis  casual bagi kaum muda dan formal yang diperuntukkan acara-acara resmi seperti pernikahan, acara kantor, wisuda dan lain-lain.   “Kami keluarkan artikel produk pertama namanya Ekajati.  Itu full chicken feet leather, harga jualnya  bisa sampai jutaan. Sekarang kami mulai ikuti pasar. Kalau awalnya kami jual formal shoes, sekarang kami jual casual juga. Ini jadi pertimbangan kami untuk menyusun pricing strategy yang semata-mata untuk memenuhi affordable dari pasar kita juga sehingga  bisa bersaing,”aku Nurman yang menjual produk casual di kisaran Rp 490 – 540 ribu per pasang, bahkan untuk sepatu formal bentuk booth dijual seharga Rp 6 juta. “Itu Norwegian well, konstruksinya juga bagus sekali, ada garansi 2 sampai 3 tahun. Ini customize sangat segmented untuk orang-orang yang paham sekali dengan sepatu bagus. Bukan orang-orang pada umumnya dan treatment nya juga mesti bagus sekali,”jelas Nurman.

Saat ini Channel distribusi Hirka lebih dominan menggunakan channel e-commerce karena begitu banyak fitur seperti potongan harga, free ongkir dan lain-lain yang menarik perhatian konsumen.Hirka juga tersedia di Offline store yang berpusat di Bandung. Namun untuk saat ini diakui Nurman belum berani membuka toko karena pandemic  Covid-19.

Ratusan juta rupiah investasi digulirkan untuk membangun usaha sepatu kulit ceker ayam (Foto: Instagram Hirka.Official)

Menurut  Nurman sudah ratusan juta rupiah investasi digulirkan untuk membangun usaha sepatu Hirka. Kendati demikian diakuinya,  Hirka yang tersedia dengan varian ukuran mulai 30 hingga size 45 ini, sesungguhnya di awal tahun 2020 mampu mencetak penjualan mencapai Rp80 juta di bulan Januari. Namun di bulan Pebruari mulai menurun ke angka Rp 60 juta dan hingga saat ini masih mencetak omset sekitar Rp 40 – 50 juta di bulan April dan Mei tahun ini. “Sekarang penjualan lebih banyak lewat e-commerce dan via WhatsApp,”tambah pengusaha muda yang menjadi salah satu penerima Penghargaan 10th SATU Indonesia Award 2019 kategori kewirausahaan 2019 ini.

Di awal masuknya virus Covid-19 di Indonesia, Hirka sempat diwawancara media asal Inggris, Reuteurs, dan berita tentang Hirka tersebar ke banyak negara seperti Inggris, Amerika Serikat, hingga Iran, India dan Bangladesh.  “Dari situ tak sedikit yang berminat dengan produk Hirka. Yang  direct menghubungi kami juga banyak . Ada yang ritel maupun whole sale. Saya ambil kesimpulan bahwa kami bisa menyasar pasar internasional.  Namun saat ini belum bisa kami follow up karena kita harus pastikan yang menyangkut security nya seperti apa, higienisnya bagaimana,  dan sebagainya. Banyak hal yang membuat kami perlu fokus ke pasar Indonesia dulu saja,”papar Wakil Ketua Komunitas UMKM Benua Citra Niaga/Benua Balantik ini.

Ada visi besar yang hendak Nurman bangun. Jadi tak sekedar mencari uang.  Visinya, ingin ikut membangun Indonesia dan menancapkan image di mata internasional bahwa Indonesia adalah negara yang keren dan punya potensi. “Hirka harus bisa menunjukkan itu. Kita harus mampu melangkah lebih jauh dan ujung-ujungnya untuk kesejahteraan kita juga,”tutur Nurman  yang masih terus berjuang bersama brand-brand lokal lain melalui komunitas wirausaha asal Jawa Barat, Benua Citra Niaga.

Sejauh ini diakui Nurman dalam hal edukasi masih menjadi pekerjaan rumah untuknya karena bagaimana pun masyarakat harus aware tentang produk-produk etnik asal Indonesia dan goal itu masih menjadi mimpinya. Bahkan, ia berharap suatu hari akan bermunculan produsen-produsen sepatu sejenis yang memungkinkan meningkatnya sustainable fesyen di tanah air. []Siti Ruslina/Ilustrasi: Jurnal Asia