Biomassa Solusi Kurangi PLTU Batubara

Potensi energi biomassa  di Indonesia mencapai 50 GW. Dari angka tersebut, baru termanfaatkan sekitar 180 MW pada tahun 2020. Angka itu relatif sangat kecil, sehingga perlu dilakukan akselerasi pemanfaatannya  

Pemerintah tengah mengupayakan adanya terobosan pemanfaatan biomassa guna mengurangi peran batubara yang masih dominan secara nasional dan mendorong capaian target bauran Energi BT pada tahun 2025. Hingga akhir tahun 2019, bauran EBT mencapai 9,15% dimana 6,2% berasal dari PLT EBT dan 2,95% berasal dari BBN (biodiesel).  Sementara pada tahun 2025, bauran EBT ditargetkan 23% dimana PLT EBT ditargetkan memberikan porsi bauran sebesar 13%-15%, PLT Bioenergi 2%-5%, dan BBN 2%-3%.

“Pengembangan biomassa yang akan dioptimalkan antara lain bersumber dari sampah dan pelet biomassa dari tanaman energi. Kita akan upayakan untuk bisa melakukan co-firing dengan biomassa pada pembangkit di PLTU dan mudah-mudahan bisa kita kejar target paling tidak 1-3% di tahun 2025,” ungkap Direktur Bioenergi, Andriah Febby Misna saat menjadi salah satu panelis dalam Webinar Energi Terbarukan bertajuk Prospek Kompor Biomassa Sebagai Alternatif Pemenuhan Energi Rumah Tangga dan Industri Kecil di Era New Normal yang diselenggarakan oleh Intitut Pertanian Bogor, pada 11 Juni 2020.

Biomassa adalah bahan organik, seperti tanaman, pepohonan, rumput, limbah pertanian dan hutan serta kotoran ternak. Biomassa sebagai energi adalah memanfaatkan tanaman atau sisa limbah itu yang diproses menjadi sumber energi baru.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Djoko Winarno mengatakan biomassa memiliki potensi menjadi alternatif sumber energi terbarukan bagi energi fosil yang selama ini digunakan untuk memenuhi 85 persen pasokan energi Indonesia, sebagaimana dikutip dari antaranews, 30/9/2020

Beberapa tahun terakhir ini metode co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan memanfaatkan biomassa sebagai campuran batubara. Meskipun masih perlu penyempurnan lebih lanjut untuk mengetahui komposisi yang tepat campuran biomassa dengan  energi fosil lainnya. Pasalnya,  belum ketemu komposisi praktis komposisi campuran yang ideal biomassa dengan batubara, misalnya. Sementara kita mengenal B10 atau B20, di mana fuel 90 atau 80 persen, dicampur dengan CPO 10 sampai 20 persen.

Tidak hanya itu, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan teknologi  Peuyeumisasi, Metode Ubah Sampah Jadi Batu, sehingga menghasilkan batubara nabati. Teknologi  ini  bukan berangkat dari teori, tapi dari eksperimen. Setelah beberapa kali dicoba, akhirnya berhasil.

Potensi biomassa sebagai subtitusi barubara untuk PLTU/foto: doc.ESDM

Di mana seluruh sampah dimasukkan ke dalam boks bambu berukuran 2×1,25×1,25 m3 dengan bagian atas terbuka. Boks tersebut mampu menampung sampah berukuran 500 kilogram hingga 1 ton. Selanjutnya, sampah dibiarkan mengering memanfaatkan sinar matahari dibantu dengan bioaktivator untuk mengurai sampah dalam waktu 3–7 hari, tergantung material sampah. Setelah kering, bau tak sedap dari sampah akan hilang. Selanjutnya, petugas bisa memilah antara sampah organik, biomassa, plastik (PVC dan Non-PVC), serta residu. Semua ini memerlukan kerja sama alias gotong royong dari warga, sebagaimana dikutip dari liputan6.com, pada 8/9/2020.

Menurut Ketua Pelaksana Safari TOSS dan CEO dari Comestoarra.com, Arief Noerhidayat, melalui peuyeumisasi, tingkat kelembapan material sampai bisa ditekan di bawah 15 persen. Sementara, ash content berkisar 2–25 persen tergantung jenis material sampah.

Arief menyatakan, saat ini kompor pellet dan juga gasifier telah diproduksi secara terbatas untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan serta program CSR sejumlah perusahaan, seperti PLN, PT Indonesia Power, dan PT Indofood Sukses Makmur. Pelet yang dikonversi menjadi gas sintetis melalui metode gasifikasi bisa dimanfaatkan untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), masih dari sumber liputan6.com

Metode co-firing  terus didorong oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam upaya meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan. “Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah/hasil hutan berupa kayu, ini dicampurkan 1 hingga 5 persen. Kalau diakumulasikan potensinya cukup menjanjikan,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi, pada akhir Februari tahun lalu.

Menurut Agung, kedua bahan baku tersebut setelah diolah dalam bentuk pelet (pellet) bisa setara dengan batubara kalori rendah yang digunakan untuk bahan bakar pembangkit. “Pemanfaatan pellet ini diharapkan dapat menurunkan penggunaan batubara. Selain itu, pemanfaatan sampah menjadi energi ini juga menjadi alternatif solusi penanganan sampah di daerah,” tegasnya.

Sementara bila biofuel dengan campuran Crude Palm Oil (CPO) dari minyak sawit  menimbulkan masalah. Banyak negara dunia menentang CPO. Pasalnya, isu lingkungan karena deforesters hutan akibat penanaman sawit secara massif menjadi pemicu deforesters hutan. Itu sebabnya opsi bio fuel padat atau batubara nabati dinilai tak bermasalah terhadap lingkungan. Tak heran bila dikembangkan dengan berbagai kebijakan  untuk menghasilkan energi hijau.

Menurut Agung, sampah sebagai bahan baku pellet (batubara nabati) memiliki volume sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolahan sampah kota, yakni DKI Jakarta (7.000 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari), Surabaya (1.700 ton/hari) Kota Tangerang (1.200 ton/hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton/hari). Di Depok, Kota dan Kabupaten Bogor (1.500 ton/hari), Makasar (1.000 ton/hari), Bandung (1.630 ton/hari), Surakarta (550 ton/hari), Malang (800 ton/hari), Regional Jogja (440 ton/hari) dan Balikpapan (290 ton/hari). “Nilai kalori pengelolahan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900 – 3.400 Cal/gr,” ungkapnya.

Sementara untuk hasil hutan jenis kayu jika diekuivalensikan dengan besaran listrik yang dihasilkan, total potensi kayu untuk dijadikan jadi pelet kayu (wood pellet) sebesar 1.335 Mega Watt electrical (MWe). Potensi tersebut tersebar di Sumatera (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300 – 4.400 Cal/gr.

Saat ini Kementerian ESDM tengah menggodok regulasi sebagai aturan main dalam penggunaan co-firing sebagai alternatif pengganti batubara sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan tidak hanya tentang harga yang diatur, ada beberapa hal lain juga menjadi concern pemerintah yang harus diatur dalam sebuah regulasi. Ini penting lantaran co-firing akan menjadi senjata andalan mengurangi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik

“Kami sedang menyusun pengaturan pelaksanaan co firing untuk PLTU antara lain aspek keteknikan, standar kualitas biomassa dan juga indikatif formula harganya,” kata Dadan kepada Dunia Energi, pada 25/1, sebagaimana dikutip dari dunia-energi.com.

Dadan mengakui masalah harga menjadi komponen utama yang akan diatur dalam aturan yang rencananya akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Namun pemerintah tidak akan masuk terlalu jauh menetapkan harga listrik co-firing.“Iya, pemikirannya adalah bahkan Kementerian ESDM tidak menetapkan harga, hanya memberikan koridor nya saja,” kata dia.

Potensi biomassa sangat besar di Indonesia/Foto: ist

PT PLN (Persero) sedang gencar melalukan penggantian batu bara dengan co-firing biomassa. Sudah ada enam pembangkit yang menggunakan biomassa secara komersial. Meskipun persentase penggunaan masih minim antara 1-5% dari kebutuhan yang selama ini menggunakam batu bara tapi jumlah pembangkit listrik yang gunakan co-firing ditargetkan  bertambah. Hingga 2024 akan ada 52 PLTU gunakan co-firing biomassa dengan total kapasitas listrik mencapai 18.154 Megawatt (MW).

PLTU  berbasis batubara  saat ini diarahkan menggunakan teknologi  Ultra Super Critical (USC). Teknologi ini diklaim mampu meningkatkan efisiensi pembangkit listrik hingga mencapai 15% dibandingkan teknologi non USC. Teknologi Ultra Super Critical juga diklaim mampu membuat emisi yang dihasilkan PLTU jadi lebih rendah, sehingga  lebih ramah lingkungan. Kalau co-firing mau di-introduce PLTU USC, maka apakah ada perubahan fundamental dari boiler yang digunakan?

Kalau perlu didesain  boiler yang menggunakan co-firing, ya harus didesain dari awal. Apalagi sejumlah proyek  35 GW banyak yang dimundurkan Commercial Operation Date (COD). Kondisi itu bisa disiapkan program co-firing.  Hal itu harus didesain dari sekarang.

Artinya teknologi co-firing menjadi solusi permasalahan sampah di Indonesia yang sekaligus menghasilkan energi yang ramah lingkungan.[] Yuniman Taqwa