Survei Perilaku Konsumen, “Terjebak FOMO”

Konsumen kini terpengaruh tren FOMO dalam memutuskan pembelian. Di mana konsep Rating Review dan Recommendation (3R) menjadi power full dalam “pengadilan” keputusan konsumen. Bila ingin memenangkan  persaingan, terapkan strategi FOMO Marketing!

Pilar ekonomi keluarga, Pertama  pendapatan, kedua adalah pengeluaran, Ketiga investasi dan keempat tabungan. Di masa krisis pahlawan nasional itu adalah emak-emak. Ketika emak-emak banyak belanja ke mall, disitulah perputaran uang terjadi. Kondisi keluarga pada Februari 2023, berdasarkan survei mencapai 52% konsumen menyatakan pendapatan sama. Responden yang menyatakan pendapatan naik 22% dan yang menyatakan turun 24 %. Yang sama angkanya sekitar 50-an persen  adalah pengeluaran, investasi dan tabungan, sedangkan yang naik adalah pengeluaran.

Lebih lanjut ditambahkan, selama pandemi kita di rumah, setelah pandemi kita keluar. Bila ke luar rumah, kecenderungan belanja tinggi. Semakin banyak kita ke mall semakin banyak kita belanja. Semakin kita di rumah, maka kemungkinan belanja pun berkurang.

Kemudian enam bulan ke depan, kata Yuswohady, customers confidence kita berdasarkan survei konsumen kita mengatakan 93% konsumen kita optimis.  Kalau konsumen optimis, maka akan belanja. Kalau sampai emak-emak tidak belanja itu bahaya. Banyak perusahaan bisa tutup kalau emak-emak tidak belanja. Sementara kondisi keuangan dan kondisi daya beli membaik. Secara makro kita optimis bahwa Indonesia pasarnya akan membaik.

Nah, bagaimana dengan kerusakan industrinya?  Tutupnya Silicon Valley Bank (SVB) yang banyak mendanai startup. Pertanyaannya apakah era startup ini akan selesai dengan kena rush  SVB? Penyebabnya bukan karena bank itu tutup, tapi hasil survei menyebutkan bahwa yang menyatakan punya GoFood 75 %. Tapi kira-kira enam bulan ke depan akan mengurangi atau menambah konsumsi pemakaian model food delivery? Yang jelas angkanya turun menjadi 60%. Jadi konsumsi melalui online mengalami penurunan. Apa sebabnya?

“Era bakar uang sudah lewat. Maka diskon besar-besaran, cash back, gratis ongkir sudah nggak ada lagi. Jadi sekarang Traveloka itu mahal. Bahkan MySantika dalam promo terbarunya bilang bahwa kita 5% lebih murah dari Traveloka. Sekarang orang cari hotel, mulai shifting ke website Santika atau website Aston,’ tambahnya. Ini fenomena yang baru terjadi sekarang!

Hasil survei menyebutkan, kata Yuswohady, memesan akomodasi hotel langsung melalui sales atau website hotel lebih murah daripada memesan online travel agent. Jawabannya adalah 80% responden mengatakan setuju. Yang menariknya adalah di segmen millennial dan Gen Z. “Makanya saya bilang itu nanti the next yang akan banyak membutuhkan industri,” tandasnya lagi.

Yang terjadi mulai dari food delivery, seperti Shopee sekarang mahal, sudah tidak ada fasilitas karena tidak ada uang yang dibakar. Plaform digital sekarang digencet dari dua sisi. Di sisi atas, tidak ada kucuran uang untuk dibakar, sedangkan sisi bahwa customers mulai meninggalkan platform digital. “Saya berkeyakinan ini FOMO (ikut-ikutan-red), bukan sesuatu yang sifatnya permanen. Waktunya pendek. Orang sudah tidak dapat diskon, lalu beralih ke cara belanja lain. Kira-kira seperti itu,” tandasnya, seraya menambahkan e-commerce pun mengalami penurunan dari 65 % ke 60 %. Travelling dari 56% ke 46%, Traveloka 19% ke 14%. Semuanya mengalami penurunan.  Hilangnya layanan jadi mahal, tidak kompetitif dan kemudian pemain-pemain lama balik kembali menghantam digital “Saya yakin ini FOMO, bisa jadi nanti akan mencapai keseimbangan dan kemudian kita menghadapi dunia hybrid. Digital atau non digital sudah tidak ada,” lanjutnya.

Sekarang ini yang terjadi seperti perang antara digital dan non-digital. Hal ini menyadarkan kita bahwa digital bukan segalanya. Digital itu bukan bisnis. Digital itu alat untuk mempermudah, mempercepat dan seterusnya. Tapi sebelumnya harapannya terlalu tinggi bahwa digital itu adalah bisnis.

Sementara setelah pandemi, hasil survei menyebutkan tetap membeli makanan secara online delivery sebesar 82 % menyatakan setuju. Artinya orang akan tetap beli via online. Yang yang menariknya, dengan semakin banyak biaya di platform online delivery, mulai memilih layanan antar langsung dari restoran, website, WA atau aplikasi. Jawabanya adalah 85% orang beli delivery makanan, tapi bergeser dari platform, seperti go food ke resto.

Sementara di sektor media, misalnya, digital TV atau smart TV itu menyelamatkan eksistensi TV. Padahal sebelumnya kita dihadapi oleh mobile generation. Kita nonton Netflix lewat agent melalui handphone. Tetapi dengan munculnya Smart TV, maka hasil survei menyebutkan, orang yang  menonton melalui handphone dan laptop menyatakan, 56 %  akan menonton ke TV. “Jadi antara mager (males gerak) generation dengan mobile generation terjadi persaingan. Kira-kira siapa yang menang?” lanjutnya Yuswohady. Fenomena ini merupakan transisi. Nanti terjadi keseimbangan bahwa kita akan banyak di rumah atau banyak di luar rumah.

Sedangkan di sektor mobil listrik, misalnya, kata Yuswohady, konsumen beli mobil listrik alasannya karena FOMO. Kenapa minat beli mobil listrik, angkanya kecil karena sparepart ,  harga jual kembali dan after sales service. Hasilnya 36% responden menyatakan membeli mobil listrik karena desain yang unik dan furustik. “Customer beli bukan karena faktor dia (produk-red), tapi karena faktor lingkungannya, karena terpengaruh orang lain, sehingga dia beli,” jelas penulis buku  FOMO Marketing ini.

Kalau mobil listrik faktornya, kata Yuswohady, bisa karena tetangga sudah beli atau karena yang bikin mobil listrik harga Rp 300-an juta baru Wuling, sedangkan mobil listrik merek lain harganya masih Rp 700-an juta. Dengan kondisi demikian otomatis orang langsung beli Wuling. Ini merupakan kasus menarik.

Sementara konsumen yang membeli Toyota, tambah Yuswohady, karena harga jual kembali  tinggi, karena sparepart banyak. Itu alasan rasional. Tapi ketika membeli mobil listrik, ternyata alasannya bukan karena alasan rasional, tapi karena alasan FOMO.

Sementara di sektor asuransi 60% agent dikuasai millennial dan Gen Z. Sedangkan oleh millennial dan Gen Z dijual ke Gen X. Hal itu tidak nyambung atau Gen X tidak mau. Menariknya Gen Z lebih memilih mendaftar asuransi via digital dibandingkan via agent, jawabannya 64 %. Sedangkan 67 % millennia dan paling tinggi adalah  adalah G Z 81 %. Mereka tidak mau dilayani agent, melayani dirinya sendiri yang disebut insurtech. “Dari daya ini saya bilang bahwa Gen Z kill insurance agent,” tambahnya.

Sementara kalau orang membuka tabungan di mana? Narik uang tunai di mana? Yang menarik adalah ketika melakukan pembayaran (PLN, PAM, cicilan premi BPJS), ternyata 60% responden melalui Alfamart dan Indomaret. “Alfamart dan Indomaret seperti vacuum cleaner. Ini “the power proximity” atau kedekatan. Kenapa Giant itu tutup, karena Alfamart kekuatannya dekat ke kita (customers-red), namanya the power of proximity,” lanjutnya.

Di mana Alfamart punya 18.000 channel, Indomaret 20.000 channel, sehingga dekat ke customers. Ketika dekat dengan customers, maka produk apa pun yang diisi laku. “Tapi saya baca laporan keuangan dua tahun yang lalu bahwa 40 % profit dari fee yang didapat dari service, bukan dari ritel. Itu menarik!” kata Yuswohady.

Itu yang disebut vacuum cleaner. Bisnis kopi, misalnya di serbu Indomaret. Kopi Kenangan, Janji Jiwa, itu kena sama Indomaret. Ketka dia mempunyai channel yang luar biasa, maka bisnis apa pun ditekuni, sehingga akan menyerap kompetitor.

Sedangkan bank syariah sudah 30 tahun beroperasi, tapi secara market share, cuma 6 %. Bahkan, tiga tahun yang lalu cuma 5 %, karena Bank NTT dan Bank Lombok/Mataram beralih ke bank syariah, sehingga naik jadi 6 %. Padahal Bank Muamalat berdiri tahun 1991, sudah lebih dari 30 tahun, tapi market sharenya tidak bisa lebih dari 6 %. Ketika ditanya apa alasan respon memilih bank syariah, alasannya spiritual. Alasannya karena menghindari riba, sesuai ajaran agama dan menentramkan hati.

Insight-nya apa? “Insight-nya kalau BSI (Bank Syariah Indonesia-red) mau menangkap yang 94 %, caranya bagaimana?” tandas Yuswohady. Market masih besar, tapi bank syariah hanya berkutat di itu-itu saja, tidak berani keluar. Untuk bisa keluar caranya bagaimana. Seharusnya cara menawarinya bukan lagi pendekatan spiritual, tetapi proposition harus fungsional. Itu yang didapat insight-nya.

Kemudian investasi emas ternyata kini menjadi power full. Pasalnya, belakangan ini kita takut investasi instrumen lain. Padahal dua tahun yang lalu, investasi emas menduduki peringkat   paling besar, menyusul sektor properti. Investasi emas menjadi pilihan ketika dunia turbulensi seperti sekarang.

Sedangkan Holand Bakery, misalnya emak-emak pada antri. Ketika emak-emak antri lihat di TikTok, maka emak-emak yang lain ikutan antri. Sama halnya dengan Mie Gacoan. Menurut Yuswohadi, Mie Gacoan tidak-tiba mendapatkan awareness yang luar biasa, karena kekuatan FOMO. “Gunakan prinsip strategi FOMO marketing,” tambahnya.

Berdasarkan hasil riset 6 sampai 7 konsumen dari 10 konsumen Indonesia adalah konsumen FOMO. Survei menyebutkan 63 % takut ketinggal tren. Angka survei ini tidak jauh berbeda dengan di dunia. Kalau di dunia, itu 7 dari 10 konsumen millennial adalah FOMO konsumen.

%. Yang paling FOMO adalah generasiku-(Gen X-red). Saya tidak tahu ini fenomena apa. Saya terus terang Gen X adalah generasi yang paling tidak confidence. Dia merasa benar saja keliru, karena role model-nya adalah millennial,” katanya. Dunia dimiliki oleh millennial. Itu sebabnya Gen X tidak confidence. Dia selalu merujuk ke millennial. Apa pun yang benar – saat ini – adalah yang dilakukan oleh millennial, karena dia yang power full. Gen X ini pura-pura jadi millennial, pura-pura jadi digital

Lebih lanjut ditambahkan, di dalam FOMO marketing, ada social purpose. Kita akan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh kebanyakan orang lain. Ketika orang lain melakukan antri membeli bakery, maka emak-emak juga antri memberi bakery. Ini namanya validasi sosial. Makanya konsep 3R (Rating, Review dan Recommendation) adalah pronsip social purpose sebenarnya. Pengaruh validasi sosial terhadap konsumen di Indonesia itu seperti apa?

Yuswohady mengatakan 3R itu power full.untuk menentukan pengadilan kebutuhan konsumen. Bila zaman dulu marketing itu vertikal, di mana brand owner menjadi panglima. Pasang iklan di RCTI atau TVRI se-Indonesia mengerti semua, kemudian omzet langsung meningkat. Sekarang tidak seperti itu. Nyawanya brand itu ditentukan oleh customers. Rating, Review dan Recommendation yang menilai konsumen. Ini merupakan era kekuatan konsumen, bukan nasibnya brand. Makanya 3R sekarang menjadi power full seakarang.

Kemudian menutut Yuswohady, viralitas  itu ibarat api ketemu bensin. Bila kedua bertemu, maka terjadi ledakan yang luar biasa. “Itulah yang terjadi di Gacoan sebenarnya, antrinya luar biasa,” katanya sambil menambahkan bahwa viral menyebabkan FOMO, kemudian FOMO menyebabkan viralitas, ciralitas menyebabkan FOMO lagi. Ini merupakan gulungan bola salju, makin besar-makin besar, sehingga viralitas menjadi membesar.[] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa