Transformasi HRD Menghadapi WFH

Kebijakan Work From Home (WFH) sebetulnya dapat dijalankan korporasi tanpa mempengaruhi kinerja karyawan. Namun perlu melakukan transformasi dari offline menuju online dengan membangun trust yang dimulai dari leader, sehingga dapat menjadi panutan di level bawahannya.

Awal Maret tahun 2020, Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) mengumumkan Covid-19 mulai masuk ke Indonesia. Saat itu belum ada tanda-tanda bahwa virus Corona akan menyebar cepat dan menjadi pandemi. Dalam waktu relatif singkat – minggu pertama April – Jakarta mulai diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menyusul beberapa daerah di Indonesia.

Kebijakan itu menjadi awal diberlakukan Work From Home (WFH) bagi korporasi, kecuali perusahaan-perusahaan yang melayani kebutuhan public.  Tak pelak lagi, model kerja yang biasanya bekerja di kantor, tiba-tiba harus bekerja di rumah. Ada perubahan budaya kerja secara mendadak. Fenomena ini, bukan tidak mungkin  menimbulkan beban psikologis bagi karyawan korporasi.

Menurut Edwin Ginanjar, selaku manajer HR dari perusahaan multinasional,  co-founder sebuah komunitas HR, dan aktif sebagai coach/mentor di bidang people development. Khususnya di saat pandemi dan bisnis dituntut untuk mengalami perubahan dinamis, menjalankan dan mengembangkan program people development bisa jadi balsam hangat untuk pergerakan bisnis yang mendingin, sebagaimana dikutip dari id.hrnote.asia, pada 16 Desember tahun lalu.

Lebih lanjut ditambahkan, sebagian industri seperti makanan, farmasi mungkin lebih cenderung bisnisnya berkembang. Di lain sisi yang terpukul seperti pariwisata, penerbangan, bahkan otomotif adalah contoh bisnis yang terkena dampak signifikan. Dari situ, kita bisa melihat sejauh mana peran penting HR di dalam bisnis ketika perusahaannya menghadapi tantangan seperti pandemi.

Untuk teman-teman HR di industri yang terdampak secara signifikan, mereka harus berpikir dari sisi lain selain efisiensi (cost reductioncost cutting, dsb). Mereka harus memikirkan business shifting (pindah dari bisnis A ke bisnis B). Itu terjadi di penerbangan Singapore Airlines yang jumlah penerbangannya menurun lebih dari 90% dan melakukan banyak termination.

Edwin menambahkan, bisa dibayangkan, karyawan-karyawan yang terbiasa melakukan tugas A, saat perusahaannya mengubah haluan bisnis menjadi B, maka kemampuan pekerjaannya juga mau tidak mau ikut berubah jadi B. Di situlah peran sebagai HR, khususnya ranah people development, untuk memberikan skill baru kepada mereka yang membutuhkan.

Biasanya HR internal sudah cukup berat memikirkan konten, diskusi dengan tim terkait, menunggu konfirmasi, uji coba, dan sebagainya. Mungkin repot dan sangat memakan waktu. Namun, program people development ini bukanlah program yang saklek. Sifatnya cukup fleksibel.

Bisa didevelop sendiri mungkin tingkat orisinalitasnya lebih tinggi (benar-benar mengenal karakteristik perusahaan dan karyawannya), tetapi waktu banyak yang terbuang. Tapi, saat ini telah banyak provider platform e-learning hard skill maupun soft skill. Jika industrinya khusus, mungkin sebaiknya develop sendiri. Tapi kalau sifatnya common, bisa dari luar. Tergantung kebutuhan (urgensi) dan budget.

Di saat pandemi saat ini, maka  akhir-akhir ini mulai banyak teman-teman HR, kata Edwin,  yang memberikan pelatihan untuk para online trainer/coach/mentor agar lebih berkemampuan dalam memberikan materi secara daring. Jadi pastikan trainer/coach/mentor juga mendapatkan pengalaman baru tersebut.

Menurut Edwin, Ini berkaitan dengan interaksi antara pemberi pelatihan dengan para penerima materi. Dari segi suara, apakah cukup dengan speaker laptop/ponsel? Volumenya cukup kah? Kalau video, apakah layar terlihat jelas, jarak tidak mengganggu penglihatan, dan sebagainya. Di samping itu, mental pemberi materi dan peserta juga harus dilatih. Contohnya kepada peserta kita berikan panduan sebelum memulai acara, seperti mensyaratkan video on, memakai pakaian rapi, dan sebagainya.

Sementara Culture and Chains Management PT Pertamina Hulu Energi (PT PHE), Alan, menyampaikan bahwa perubahan sangat penting, teknologi dan inovasi juga berubah, bahkan dulu tidak akan pernah terpikir dalam benak kita bahwa kita akan mengalami masa pandemi seperti sekarang dan akan bekerja secara online dari rumah seperti saat ini.

“Jadi memang ini sekarang era-nya berubah sangat cepat dan bagaimana caranya kita menangani perubahan ini dan budaya ini sekarang menjadi suatu hal yang penting, misalnya sekarang ini bagaimana cara kita mengontrol pegawai kita yang bekerja di rumah tapi dituntut untuk tetap high performance culture jelas Alan, sebagaimana dikutip  dari migas.esdm.go.id, pada 24/6 lalu.

Lebih jauh, Alan menjelaskan pentingnya bagaimana caranya bahwa meskipun dari rumah pekerjaan tetap bisa ter-eksekusi dengan baik oleh pegawai dan hasilnya juga ada, hal itulah yang menjadi tantangan saat ini. Selain itu, perubahan terhadap program budaya kerja yang ada di perusahaan atau instansi harus selalu dapat diukur dan dipertahankan sebagai suatu standar kerja yang baru.

Tak pelak, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu yang terdampak. Sistem atau metode yang umumnya dilakukan secara tatap muka, berganti dengan metode sistem daring / online / virtual. Sistem atau metode ini sangat berkaitan erat dengan sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang menjadikan internet sebagai mediumnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dalam konferensi pers tanggal 18 Mei 2020 menjelaskan Kementerian Kominfo berupaya untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan “The New Normal”. Era saat proses digitalisasi di berbagai lini akan berjalan semakin cepat. Untuk itu sudah seharusnya kita bersama-sama mempersiapkan SDM Indonesia dengan keterampilan digital (digital talent) untuk menghadapi perubahan ini.

Menurut Chief Operating Officer Dunamis Organization Services, Shirley Wangsanegara, ada korporasi yang bertahan dengan menyesuaikan diri  atau  wait and see. Tapi ada juga organisasi yang terkena dampak pandemi Covid-19 karena  tidak siap. Akhirnya mengambil langkah-langkah efisiensi dan akhirnya gulung tikar.

“Tapi banyak juga organisasi yang melihat ini menjadi suatu peluang. Padahal situasi seperti  ini belum pernah terpikirkan. Akhirnya mereka  melakukan sejumlah inovasi.  Melihat kondisi ini,  pihak korporasi melihat dan merekrut  talent-talent baru,” katanya kepada pelakubisnis.com, pada minggu ketiga September lalui melalui zoom meeting.

Itu sebabnya instrumen yang diperlukan dalam WFH adalah merubah paradigma dulu. Namun demikian, merubah paradigma tidak semudah “membalik telapak  tangan”. Diperlukan waktu dan “ritual-ritual” untuk merubah paradigma itu. Langkah ini harus dimulai dari leader nya. “Ibarat seorang nakhoda, dia  harus bisa bilang bahwa kapal ini masih aman.  Kalau leader nya tidak sejalan, misalnya olahraga paginya jalan terus. Leader baru on jam 11 siang. Ini banyak terjadi.“Perubahan paradigma harus dimulai dari pemimpinnya dulu, baru turun satu level ke bawa sampai level yang paling bawah. Hal itu dapat dilakukan melalui small talk,” katanya.

Shirley menambahkan,  masalah budaya tidak akan terpengaruh apakah bekerja secara normal atau  WFH. Budaya perusahaan itu tidak terpengaruh kita bekerja di mana. Yang penting integritas. Budaya perusahaan itu dibangun dari values. Salah satu value nya adalah integritas. Cuma values integritasnya yang seperti apa? Kalau dulu integritas dalam pekerjaan, misalnya, jam istirahat makan siang tidak molor, pulang kantornya bagaimana. Kalau sekarang integritasnya bahwa selama jam kerja, bekerja online, bukan main handhpone tidur siang  dan sebagainya selama jam kerja di rumah. “Jadi, budaya kerjanya tetap sama, cuma bentuk implentasinya bisa berbeda-beda, ukuranya juga berbeda,”katanya serius.

Masalah yang muncul dalam sistem WFH hanya kehilangan sosial community-nya, sedangkan masalah karir karyawan atau pengembangan SDM tidak ada masalah, tetap berjalan on the track.

Memang harus diakui pengembangan karyawan sangat tergantung dengan karyawan yang bersangkutan, sejauhmana  ia mampu mengeksplorasi potensi diri sehingga berpengaruh dalam pengembangan karirnya.  Sementara perusahaan hanya memfasilitasi pengembangan diri karyawan, misalnya dalam bentuk training, coaching, dan sebagainya. Kalau fasilitas tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh karyawan, jangan salahkan perusahaan. Kalau karyawan ingin berkembang, tanggungjawabnya bukan ada di perusahaan tetapi pada pada diri masing-masing.

Sementara Dari hasil penelitian Gallup, 87 persen milenial menganggap  kesempatan pengembangan karir sangat penting. Namun, ternyata 75 persen karyawan merasa, selama ini, mereka melakukan pengembangan karirnya sendiri tanpa bimbingan perusahaan. 

Dengan kondisi ketika banyak dari kita terpaksa melakukan pekerjaan dari rumah (work from home/WFH), 31 persen karyawan merasa bahwa pengembangan diri mereka menurun selama WFH ini. Tidak hanya itu, banyak karyawan tidak melihat adanya pengembangan yang diinisiasi oleh pihak perusahaan selama pandemi ini, terlepas dari kerasnya kerja mereka, sebagaimana dikutip dari artikel Pengembangan Karyawan saat WFH oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob, EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM yang dimuat pada Harian Kompas, 28 Agustus 2021.

Itu perlunya transformasi yang cepat dalam menghadapi pandemi. WFH dapat kita sikapi dengan misalnya Employee Assistant Program (EAP) atau suatu program yang diberikan perusahaan untuk karyawan dengan tujuan untuk membantu memecahkan permasalahan karyawan seputar kesehatan mental. [] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina/foto ilustrasi utama: ist