Optimisme WIKA Kuasai 30% Pasar PLTS Atap

Rencana pemerintah kembangkan PLTS Atap di tahun-tahun mendatang, membawa angin segar bagi WIKA Industri Energi mematok target market share mencapai 20 sampai 30 persen di tahun depan. Meski belum maksimal, namun pihak WIKA yakin dapat meningkatkan kapasitas produksinya.

Manajer Penjualan  PT WIKA Industri Energi, Dahlan Sardani memaparkan, pihaknya bukan pemain baru di line bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Sejak 1988 WIKA bekerjasama dengan perusahaan Belanda memproduksi water heater. Waktu itu produk yang dihasilkan perusahaan patungan ini dikenal dengan nama RSS. Tapi sejak 1994, WIKA berdiri sendiri dengan membentuk divisi energi. Saat itu WIKA menggarap proyek PLTS pemerintah yang umumnya berlokasi di Indonesia bagian Timur.

Kemudian awal pemerintahan pertama SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla), pemerintah Belanda tertarik mengembangkan bisnis PLTS Atap. Tapi setelah dihitung-hitung mereka minta pengembangan PLTS Atap minimal  1 juta project untuk kurun waktu satu tahun. Saat itu pemerintah tidak berani mengembangkan project 1 juta PLTS Atap dalam setahun. Padahal pihak WIKA dan mitranya siap membangun pabrik panel surya di Indonesia.

PLTS Atap yang juga dikerjakan oleh PT WIKA Industri Energi. (Foto:pelakubisnis.com)

Walaupun jauh sebelum berkiprah di PLTS Atap, WIKA sudah memproduksi Water Heater Specialist yang menjadi salah satu brand cukup generik di Indonesia. Menurut Firmansyah, Manajer Marketing WIKA Industri Energi,  perusahaan BUMN ini memiliki  divisi konversi energi, yaitu solar water heater dan panel surya untuk PLTS Atap. “Kami memproduksi sendiri panel surya dari mulai kapasitas 60 sampai 300 Watt Peak (WP),” katanya kepada pelakubisnis.com.

Sejatinya arah kebijakan energi Indonesia ke depan akan berubah. Berdasarkan  Peraturan Presiden N0. 5 Tahun 2006 tentang  Kebijakan Energi Nasional, pasal 2 ayat 1 menyebutkan Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.

Dalam pasal 2 ayat 2 disebutkan,  sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah  tercapainya elastisitas energi lebih kecil satu pada 2025. Terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional, dimana energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%.

Sementara pemerintah mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditargetkan mencapai 23 persen di 2025. Bahkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada Conference of the Parties (COP 21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), akhir November 2015 lalu mengatakan,  Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29% di bawah business as usual pada 2030. Angka ini meningkat menjadi 41% dengan bantuan dana internasional.

Boleh jadi fenomena itu yang membuat  WIKA Industri Energi optimis mengembangkan line bisnis energi ke sektor PLTS Atap (RoofTop). Pasalnya, arah pengembangan energi terbarukan akan mempunyai porsi cukup besar di masa mendatang. Apalagi dengan dikeluarkannya Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Dan sejak 2017 pemerintah menggelar   Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Program ini menjadi salah satu drive mendorong pasar PLTS Atap di Indonesia. “Sampai sekarang pasar kami masih 80% project pemerintah,” kata Dahlan serius seraya menambahkan kapasitas project pemerintah di skala 100 – 250 WP.

Lebih lanjut ditambahkan, Pemda DKI Jakarta dalam dua tahun ke depan akan menganggarkan dana sekitar Rp2 triliun untuk proyek PLTS Atap. Dari anggaran sebesar itu, WIKA mematok target meraih “kue” minimal 30% dari angka tersebut.

Ada beberapa kompetitor yang main di bisnis PLTS Atap. Selain WIKA, ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain, yaitu PT LEN dan swasta murni ada PT Sky Energy Indonesia Tbk dan beberapa produk impor lainnya.

Walaupun Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) hanya sekitar 50%. Khusus untuk sel surya memang masih impor. Sampai saat ini Indonesia belum bisa membuat sel surya. Apa yang dilakukan industri panel surya di Indonesia umumnya assembling, dimana sel surya dan kaca masih impor. Walaupun lokal sudah bisa memproduksi kaca film, tapi masih mahal, sehingga tidak ekonomis.

Sejauh ini kapasitas produksi panel surya WIKA, lanjut Dahlan, sehari bisa mencapai 1000 keping panel surya untuk satu mesin. Sedangkan WIKA memiliki tiga line mesin dengan memproduksi panel surya ukuran 60 WP sampai 100 WP. “Memproduksi ukuran 60 WP dan 100 WP tidak jauh berbeda keekonomiannya. Yang membedakannya hanya penggunaan  dies-nya,” katanya serius.

WIKA melihat peluang bisnis ini sangat besar di Indonesia. Tapi PR (Pekerjaan Rumah-red) yang terbesar adalah masalah harga. Sebab, kalau kapasitas produksi semakin besar, harga bisa lebih bersaing. Produksi WIKA saat ini setahun sekitar 360.000 keping yang dikerjakan dengan dua shift. Kalau pasarnya semakin besar, otomatis produksi akan meningkat. “Bagi WIKA meningkatkan produksi tidak jadi masalah. Justru yang susah itu adalah menciptakan industri bahan baku,” katanya serius.

Firmansyah mengakui demand PLTS Atap masih kecil di Indonesia. Namun prinsipnya, jika pemerintah mencabut subsidi listrik secara total, maka PLTS Atap akan bisa lebih kompetitif. Sejauh ini distribusi listrik masih dimonopoli oleh PLN. Bisa jadi ke depan PLN pun main di bisnis PLTS Atap.

Namun demikian, WIKA mematok omset pada tahun depan bisa menembus Rp 1 triliun. Saat ini omset WIKA baru di angka sekitar RP500 milyar. “Tahun depan kita harapkan omset WIKA bisa tembus di angkan Rp 1,2 Triliun.,” timpal Dahlan, seraya menambahkan line mesin WIKA bila dimaksimalkan bisa meningkatkan kapasitas produksi yang sudah berjalan saat ini.

Sejauh ini WIKA berhasil menembus pasar ekspor PLTS. Pembangunan bandara Internasional Oecusse Timor Leste salah satunya, dimenangkan oleh WIKA Holding. Bandara tersebut juga dilengkapi dengan PLTS Atap yang juga dikerjakan oleh PT WIKA Industri Energi. “WIKA Industri Energi masih menempel dengan holding untuk bisa memperluas pasar,” tambahnya.

Dahlan melanjutkan,  saat ini WIKA sedang mengincar pasar di Afrika, terutama Aljazair. Kendati demikian porsi ekspor memang masih kecil, “Sekitar 5% yang didominasi pasar di Asia Tenggara,”jelasnya.

Menurut Dahlan, sebetulnya pasar PLTS Atap pemerintah sangat besar, sekitar Rp15 triliun pada tahun 2020. Angka itu di luar dari proyek PLTS Atap Pemda DKI yang sekitar Rp 2,5 triliun.  Proyek PLTS Atap Bali sekitar Rp 200 Milyar. WIKA sedang melakukan pendekatan dengan Pemprov Bali.

Meskipun saat ini market share WIKA masih sekitar 10%, tapi targetnya tahun depan market share bisa meningkat di kisaran 20 sampai 30 persen. “Sebetulnya dalam tempo enam bulan ke depan target tersebut bisa tercapai.. Karena permasalahan yang dibutuhkan hanya masalah sertifikasi. Setiap jenis kapasitas panel surya yang diproduksi harus disertifikasi di BPPT dulu,” katanya serius.

WIKA memang ada rencana pembangun industri baterai untuk PLTS Atap. Namun yang saat ini sudah diproduksi  adalah baterai untuk  motor listrik yang diproduksi WIKA manufaktur yang memproduksi motor listrik merek Gesit. Dan saat ini WIKA tengah  menyiapkan diri memproduksi baterai untuk PLTS Atap.[] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa.