Siasat Menguasai Pasar Alkes Dalam Negeri

Pasar alat kesehatan (alkes) di dalam negeri masih didominasi impor.  Fenomena ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perlu political will  untuk merubah peta pasar itu. Bagaimana strategi mensubsitusi produk alkes tersebut?

Pasar alat kesehatan (Alkes) dalam negeri sampai saat ini masih dikuasai produk impor. Fenomena itu yang boleh jadi mendorong   Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah forum webinar, pada 15/6 mengatakan, Indonesia harus mencontoh Amerika Serikat (AS) yang berani menghentikan impor Alat Kesehatan (Alkes). AS  bahkan membuat undang-undang yang melarang impor Alkes dan Alkes harus diproduksi dalam negeri sendiri.

Kebijakan  itu, menurut Luhut, bisa ditiru oleh Indonesia sehingga dengan demikian, selain masyarakat bisa mengonsumsi produk asli Indonesia, juga membantu menghemat anggaran.  “Indonesia harus mengarah ke situ. Lembaga Kebijakan Pengadaan  Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)  sudah mulai memperhatikan hal ini karena Presiden sudah minta juga ada perbaikan mengenai undang-undang kita mengenai Alkes,” imbuhnya.

“Berdasarkan data LKPP,  tahun anggaran 2021, jumlah pemesanan Alkes melalui e-katalog, pesanan produk impor diketahui lima kali lebih besar senilai 12,5 triliun dibandingkan pesanan Alkes dalam negeri, senilai 2,9 triliun,” ujar Menko Marves Luhut  pada Konferensi Pers Virtual Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri di Bidang Alat Kesehatan pada 15/6.

Dari data e-katalog 2019 hingga Mei 2020, diketahui 80 persen alkes diimpor dari luar negeri, nilainya mencapai Rp35 triliun. Pada kurun waktu yang sama, belanja produk dalam negeri hanya mencapai 12 persennya saja, setara dengan Rp5 triliun. Sementara pada kurun waktu Mei 2020 hingga Mei 2021, nilai impornya mencapai Rp12,5 triliun.

LKPP mencatat sejak 1 Mei 2020 hingga 11 Juni 2021, jumlah produk Alkes AKD (Alat Kesehatan Dalam Negeri) dalam e-katalog nasional berjumlah 8.219 produk dengan jumlah transaksi sebesar Rp2,9 triliun, sedangkan produk AKL (Alat Kesehatan Luar Negeri)  berjumlah 39.692 produk dengan jumlah transaksi sebesar Rp12,5 triliun.

Apabila produk yang dibutuhkan tidak terdapat dalam e-katalog, maka K/L/PD (Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah-red) tetap bisa melakukan pengadaan melalui metode selain e-purchasing, namun dengan tetap memprioritaskan AKD. Hal tersebut sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewanto, menyayangkan kondisi bahwa Indonesia masih ketergantungan alkes dari luar negeri. Kata dia, jika Indonesia membutuhkan alkes tertentu dari luar negeri, bisa saja pesanan Indonesia tidak ditindaklanjuti, jika menurut sang produsen Indonesia bukan negara prioritas. Selain itu, nilai tukar  rupiah terhadap mata uang asing, bisa membuat harga alkes melambung tinggi, sebagaimana dikutip dari merdeka.com, pada 18/6 lalu.

“Alkes dengan teknologi rendah bisa saja dikirimkan ke Indonesia dengan niat si produsen butuh menghabiskan stok. Kalau kita beli alkes dari luar, dana pemerintah tidak dibelanjakan ke rakyatnya sendiri,” katanya. Maka dari itu pihaknya berkomitmen untuk menanggulangi permasalahan kesehatan di Indonesia.

Namun demikian, Menko Luhut  mendukung pengembangan industri Alkes dalam negeri, pemerintah akan melakukan Tujuh Langkah Strategis Peningkatan Ketersediaan Pasar untuk Produk Alkes Dalam Negeri yang terdiri atas: (1) Keberpihakan pada PDN melalui belanja barang atau jasa pemerintah, (2) Peningkatan kapasitas produksi Alkes dalam negeri, (3) Subsidi sertifikasi TKDN melalui dana PEN, (4) Skema insentif bagi investor Alkes dan Farmasi, (5) Peningkatan Alkes berteknologi tinggi berbasis riset, (6) Kebijakan tenggat waktu untuk pembelian produk impor, (7) Prioritas penayangan PDN di E-Katalog.

“Indonesia telah berubah sekarang, dan kita harus menjadi bagian dari perubahan itu. Jangan kita menghambat perubahan itu. Kita menghadapi masalah disana-sini, tapi kita sekarang bergerak maju, melakukan perubahan. Kita melakukan terobosan untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik,” pungkas Menko Luhut.

Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan permasalahan utama terkait penggunaan Alkes dalam negeri dan pengadaan Alkes impor adalah adanya rentang jenis yang sangat luas mulai dari Alkes sederhana sampai teknologi tinggi dan memiliki bahan baku yang sangat beragam. Selain itu, bahan baku dengan spesifikasi medical grade belum banyak tersedia di dalam negeri.

“Selain itu juga penguasaan teknologi alat kesehatan yang masih terbatas dan masih perlu dikembangkan khususnya untuk teknologi menengah sampai tinggi, serta banyaknya produk alat kesehatan impor yang membanjiri Indonesia”, kata Menkes seraya menambahkan sampai saat ini sebanyak 358 jenis produk alat kesehatan yang sudah diproduksi di dalam negeri, dalam sistem regalkes, Kemenkes.

Luhut memandang, jika dalam sektor kesehatan Indonesia para importir dapat menjadi pelopor Alkes, maka Indonesia  dapat menghemat pengeluaran sebesar Rp.200 -300 triliun dalam setahun.  “Dana Alkes dalam bidang kesehatan ini yang kita keluarkan hampir Rp490 triliun setahun. Kalau ini sekarang kita bisa hemat Rp 200-Rp 300 triliun setahun, itu sama dengan investasi kita USD25 miliar per tahun. Jadi, Anda bisa bayangkan betapa pemborosan kita selama ini begitu tinggi,” bebernya.

Pemerintah  mendorong percepatan pengembangan industri alat kesehatan (Alkes) dalam negeri. Pemerintah yakin produsen dalam negeri mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Data Kementerian Kesehatan, 358 jenis Alkes yang sudah diproduksi di dalam negeri, 79 jenis Alkes sudah mampu mensubstitusi/menggantikan produk impor untuk kebutuhan nasional, antara lain elektrokardiogram, implant ortopedi, nebulizer dan oximeter. Hal ini membuktikan  produsen Alkes dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik serta menggantikan produk impor.

Beberapa strategi peningkatan Produk Dalam Negeri (PDN) untuk alat kesehatan dapat dilakukan melalui tiga tahapan yaitu fase riset, fase registrasi, produksi, dan distribusi serta fase penjualan. Diantaranya dilakukan regulasi yang mendukung alat kesehatan dalam negeri, pembelian melalui e-katalog, TKDN –Tingkat Komponen Dalam Negeri– alat kesehatan dan pengembangan bahan baku alat kesehatan, transfer knowledge dan transfer teknologi Sumber Daya Manusia khususnya pengembangan SDM dalam bidang biomedical engineering. Promosi alat kesehatan dalam negeri, serta peningkatan awareness penggunaan Alkes dalam negeri ke user, dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, potensi sebesar Rp607,7 triliun merupakan peluang pasar produk dalam negeri yang dapat dioptimalkan. Sehingga pemerintah mengupayakan agar 79 produk prioritas alat kesehatan dalam negeri dapat dimanfaatkan dalam belanja APBN di bidang kesehatan. Beberapa produk di antaranya telah memiliki nilai TKDN di atas 40%, yang artinya produk dalam negeri tersebut wajib dibeli dan produk impor dilarang untuk dibeli.

Bagi alat kesehatan produksi dalam negeri yang belum memiliki nilai TKDN, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan fasilitasi sertifikasi TKDN secara gratis untuk sekurang-kurangnya 9000 produk di tahun anggaran 2021.

Kemenperin mendorong peningkatan belanja produk dalam negeri melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) serta Program Subtitusi Impor 35% pada 2022. Program ini dilaksanakan melalui penurunan impor dengan nilai terbesar yang simultan dengan peningkatan utilisasi produksi sampai dengan 85 persen pada tahun 2022.

Untuk dapat semaksimal mungkin menyerap produk dalam negeri, diperlukan dukungan kebijakan dari Kementerian/Lembaga terkait dalam melaksanakan program substitusi impor tersebut, termasuk antaranya Penerapan P3DN secara tegas dan konsisten. “Program ini adalah langkah nyata pemerintah dalam mendukung perekonomian nasional dan menjadikan indonesia negara tangguh dan mandiri,” kata Menperin.

Kepala LKPP Roni Dwi Susanto menyampaikan dukungan dan Aksi Afirmasi P3DN yang telah dilakukan LKPP, antara lain dengan cara menayangkan katalog produk alat kesehatan dalam negeri (AKD) yaitu 10 Desember 2020 mendahului alat kesehatan luar negeri (AKL) yang ditayangkan 3 Juni 2021. “Selanjutnya, penuangan klausul kontrak katalog yang mengamanatkan bahwa produk impor hanya dapat dipesan melalui e-purchasing apabila tidak dapat dipenuhi oleh AKD,” tegasnya.

Ia menambahkan, tampilan awal pemesanan produk dalam katalog elektronik selalu mendahulukan PDN yang memiliki TKDN. Selain itu, LKPP bersama BRIN menyelenggarakan Katalog Sektoral khusus produk-produk inovasi. LKPP telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Perindustrian dalam integrasi data TKDN di Indonesia.

Budi mengatakan pihaknya telah menyiapkan sejumlah upaya untuk bisa meningkatkan penyerapan produk alkes dalam negeri, diantaranya memastikan regulasi yang pro pada produksi dalam negeri; segera melakukan penghitungan TKDN alkes dan menjadikan TKDN sebagai syarat utama dalam e-katalog; serta melakukan promosi terutama ke kementerian/lembaga pemerintah pusat maupun daerah untuk memprioritaskan pembelian dalam negeri, sebagaimana dikutip dari asiatoday.id, pada 16/6.

“Dari 40.243 item Alkes  ini sebenarnya ada 5.462 item yang sudah ada produk dalam negerinya sehingga dengan demikian, yang diizinkan dibeli oleh pengadaan pemerintah adalah alkes yang sudah diproduksi dalam negeri, besarnya ada sekitar Rp6,5 triliun,” kata Budi.[] Yuniman Taqwa/foto ilustrasi/ apameran alkes/ist