Membangun Sinergi Menciptakan Alkes Lewat Riset

Budaya riset memang harus dikembangkan dengan melakukan kolaborasi lintas lembaga. Bila kita serius melakukan riset, terbukti mampu menciptakan sejumlah alat kesehatan (alkes) di tengah pandemic Coovid-19.

Lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan pelaku industri kian akselerasi melakukan penelitian di tengah pandemic Covid-19. Lembaga-lembaga itu seakan tertantang karena dorongan kebutuhan alat kesehatan (alkes) dalam membantu masyarakat yang terpapar  virus itu. Pasalnya, bukan tidak mungkin bila tidak “tancap gas” melakuka riset dan inovasi , akan lebih banyak lagi masyarakat yang terpapar dan mungkin tak dapat tertolong karena pandemi ini.

Ternyata bila kita melakukan riset dan inovasi,  turut mercepatan penanganan dan upaya memutuskan transmisi infeksi pandemi Covid-19. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN), Bambang Brodjonegoro, mengatakan, dari awal diumumkan presiden (Joko Widodo) ada yang terinfeksi, kita lakukan rapat gabungan, dan dalam meeting yang kita pikirkan adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menangani  wabah penyakit baru ini. Demikian disampaikan Bambang dalam konferensi pers 1 Tahun Pandemi Covid-19: Inovasi Indonesia untuk Indonesia Pulih Pasca Pandemi, pada 2/3.

Alhasil, terbentuklah inisiasi konsorsium inovasi dan riset Covid-19. Di mana konsorsium ini melibatkan banyak pihak selain Kemeristek/BRIN, ada juga Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian BUMN, Bio Farma, Kalbe Farma, sejumlah ahli dari departemen penelitian di berbagai universitas, LPNK, LIPI dan LBM Eijkman.

Tak selamanya pandemi Covid-19 merontokkan korporasi. Justru di tengah pandemi merupakan peluang meningkatkan akselerasi portfolio korporasi. Salah salahnya adalah BUMN Kesehatan, Bio Farma. Holding BUMN farmasi ini – dalam hitungan bulan – selama pandemi melanda Indonesia, telah melahirkan inovasi yang cukup menjanjikan.

Menurut Teki, panggilan akrab Sri Harsi Teteki, begitu banyak inisiatif, bisnis, dan produk baru yang dikembangkan Bio Farma menyusul datangnya pandemi sejak awal Maret lalu. “Tentu saja prioritas utama kami adalah mengembangkan vaksin COVID-19 yang saat ini ditunggu-tunggu oleh segenap masyarakat Indonesia, namun di samping itu banyak produk-produk lain yang kami kembangkan,” ujar Teki, lihat pelakubisnis.com dalam artikel bertajuk Bio Farma: Akselerasi Portfolio di Masa Pandemi, Juli 2020.

Lebih lanjut ditambahkan, beberapa inisiatif yang sudah dan sedang dikembangkan adalah produksi RT-PCR hasil kolaborasi dalam Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan COVID-19 (TFRIC19).  Bio Farma juga mengembangkan Mobile Laboratorium Biosafety Level 3 (Mobile Lab BSL-3). “Kita membutuhkan ribuan Mobile Labs COVID-19 untuk melayani ratusan juta rakyat Indonesia, jadi potensi pasarnya luar biasa besar,” tambahTeki.

RT PCR sendiri merupakan bagian dari kolaborasi antara Bio Farma, dengan start-up Nusatics di bawah koordinasi BPPT/Ristek-BRIN dalam gerakan Indonesia Pasti Bisa! Bio Farma dengan kompetensi dalam bidang bioteknologi memiliki tugas tidak hanya untuk memproduksi saja namun juga untuk validasi, registrasi dan distribusi RT PCR ke seluruh pelosok Indonesia.

Minggu kedua Juni tahun lalu, Bio Farma menyerahkan Mobile Laboratorium BSL 3 kepada Universitas Padjadjaran (Unpad), di Gedung Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Unpad pada tanggal 12 Juni 2020 dalam acara Serah Terima Peminjaman Mobile Laboratorium Bio Safety Level 3 (BSL 3) Bio Farma Kepada Universitas Padjadjaran.

Mobile Laboratorium BSL3 yang dibuat Bio Farma merupakan laboratorium BSL 3 bergerak pertama di Indonesia, yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan Swab Test melalui RT-PCR pasien Covid-19. Pembuatan Mobile Lab BSL 3 ini merupakan wujud dari kepedulian Bio Farma dalam menangani Covid-19.

Di Bandung, misalnya, Kalangan akademisi dan peneliti di Bandung menghasilkan beragam inovasi  dengan sejumlah riset terkait pandemi Covid-19. Hasilnya telah digunakan dan diproduksi massal dari belasan hingga puluhan ribu unit.

“Pandemi menggerakkan semua pihak sehingga mempercepat hasil riset,” kata Yusuf, peneliti dari Universitas Padjadjaran, sebagaimana dikutip dari tempo.co, pada 14/3.

Timnya yang membuat alat tes cepat Covid-19 berbasis Antigen bernama CePAD, baru selesai melakukan transfer teknologi selama dua bulan ke mitra perusahaan. Tujuannya untuk meningkatkan skala produksi hingga 1 juta unit alat tes. “Permintaannya meluas, jasa transportasi juga perlu banyak,” kata Yusuf.

Hasil riset lain yang digenjot produksinya , masih dari sumber yang sama. yaitu viral transport medium (VTM) garapan tim dari Laboratorium Bio Safety Level-2 Rumah Sakit Pendidikan Unpad. Mereka membuat tiga jenis alat pengangkut virus Covid-19 untuk pemeriksaan metode PCR di laboratorium tanpa perlu kotak pendingin. “Kapasitas produksinya dari 20 ribu menjadi 200 ribu per bulan,” kata Hesti Lina Wiraswati., Peneliti Unpad.

Selama ini kebutuhan alat itu dipasok oleh barang impor. Adapun kebutuhan selama pandemi di Indonesia berkisar 20-60 ribu per hari. Tabung VTM yang terbuat dari plastik hasil produksi mitra perusahaan lokal, sementara tim meracik larutan kimianya yang bahan bakunya masih harus impor karena belum ada pembuatnya.

Sementara Keberhasilan para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam mengembangkan Gadjah Mada Electronic Nose Covid-19 (GeNose C19) menjadi kebanggaan tersendiri, pasalnya GeNose C19 ini merupakan inovasi pertama di Indonesia untuk pendeteksikan Covid-19 melalui embusan nafas. GeNose C19 terhubung dengan sistem cloud computing melalui aplikasi berbasis kecerdasan artifisial untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time, sebagaimana dikutip dari polindra.ac.id , pada 20/1

“Kami menyambut gembira inovasi yang dilahirkan oleh para peneliti dari UGM yang kita kenal dengan GeNose C19. Bagi kami GeNose C19 adalah suatu inovasi untuk bisa mengurangi ketergantungan terhadap alat skrining yang berasal dari luar negeri. GeNose C19 menjadi suatu terobosan karena sifat skriningnya yang tidak berbasis antibodi maupun antigen melainkan berbasis embusan nafas,” ungkap Menristek/Kepala BRIN.

GeNose C19 menjadi bukti nyata keberhasilan Kemenristek/BRIN dalam mengimplementasikan triple helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, dan industri. GeNose C19 yang dikembangkan oleh UGM dengan dukungan dari Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kemenristek/BRIN, Badan Intelejen Negara, TNI AD, Polri, Kemenkes RI, dan pihak swasta antara lain PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri, PT Hikari Solusindo Sukses, PT Stechoq Robotika Indonesia, PT Nanosense Instrument Indonesia, dan PT Swayasa Prakarsa.

“Selain merupakan bagian dari Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 di Kemenristek/BRIN, GeNose C19 menjadi bukti nyata implementasi triple helix yang berjalan cukup mulus. Triple helix merupakan bentuk sinergi dan kolaborasi dari 3 pihak yang mendorong penelitian menjadi inovasi, yaitu Pemerintah, Peneliti, dan Industri. Selain itu, hal yang paling penting adalah terwujudnya kolaborasi antar bidang ilmu yang tentunya akan sangat membantu upaya penanganan Covid-19,” ucap Menteri Bambang

“GeNose C19 merupakan bukti kemandirian bangsa bahwa kita melakukan hal baru dalam inovasi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sangat mendukung, namun demikian khusus alat kesehatan perlu diperhatikan uji validasinya yaitu sensitifitas, spesisifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value. Dikarenakan GeNose C19 ini adalah kecerdasan artifisial yang kami harapkan dapat terus dimodifikasi sehingga ketajaman dalam melakukan skrining menjadi lebih sensitif,” kata Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam webinar dengan tema ‘Genose Inovasi Teknologi Kemandirian Alat Kesehatan Anak Bangsa’ pada 15/1.

Sementara  dalam acara Gatra Innovation Awards 2021 yang digelar secara daring pada 30/4, Rektor Universitas Gadjah Mada, Panut Mulyono, menyampaikan beberapa pencapaian yang dilakukan oleh kampus yang dipimpinnya.“Alhamdulillah, UGM beberapa kali mendapatkan penghargaan anak bangsa sebagai universitas yang mempunyai keunggulan di bidang inovasi. Hal ini menunjukkan bahwa riset-riset yang ada di UGM dapat dihilirkan menjadi produk-produk komersial,” ujar Panut, sebagaimana dikutip dari gatra.com, pada 30/4.

Inovasi unggulan UGM di bidang kesehatan pada umumnya diproduksi demi mendukung Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dan Permenkes RI No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Tujuan dari kedua peraturan itu adalah terciptanya kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan di tahun 2025.

Salah satu inovasi dari UGM yang terkait dengan Covid-19 adalah ventilator. UGM mengembangkan dua jenis ventilator. Yang pertama adalah ventilator V-01, ventilator ICU pertama karya anak bangsa yang berkategori high performance ventilator. Kemudian yang kedua adalah ventilator R-03, ventilator emergency portable yang bisa dibawa ke sana ke mari untuk mengikuti pergerakan pasien.

Masih banyak lagi alkes hasil riset dan inovasi anak negeri. Ini menunjukan bahwa anak negeri mempunyai kompetensi untuk menciptakan alkes-alkes lain, sehingga kita tidak tergantung dari alkes produk impor yang selama ini masih mendominasi pasar dalam negeri. [] Yuniman Taqwa