Bersinergi Membangun Budaya Riset

Oleh Yuniman Taqwa Nurdin

Masih ingat kisah sukses Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)? Badah Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) ini berhasil melakukan rekayasa dan rancang bangun pembuatan pesawat N250 di era tahun 90-an. Pesawat jenis Propeller Aircraft atau pesawat baling-baling ini hasil karya anak negeri yang boleh jadi menjadi “simbol” kemampuan penguasaan Ilmu dan Teknologi (Iptek) yang sempat membuat decak kagum dunia dirgantara.

Padahal sebelumnya Indonesia tak dilihat “sebelah mata” atas kemampuan rekayasa dan rancang bangun berteknologi tinggi. Keberhasil itu bukan datang langsung dari langit. Melainkan perjalanan panjang proses pergumalan yang dimulai dari kerjasama alih teknologi perusahaan dirgantara CASA, sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang yang didirikan pada tahun 1923 di SevillaSpanyol.

Pada 26 Januari 1974, Habibie dipanggil oleh Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Habibie diangkat sebagai Penasehat Presiden di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama bagi Habibie memulai misi resminya.

Pertemuan-pertemuan ini melahirkan ATTP (Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina). Divisi yang menjadi tonggak pembentukan BPPT dan bagian dari IPTN. Pada September 1974, ATTP menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB Jerman dan CASA Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap NC-212.

Perjanjian itu merupakan langkah awal dimulainya Indonesia mempersiapkan diri masuk ke industri dirgantara, menyusul berdirinya PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr BJ. Habibie sebagai Direktur Utama. Ketika sarana fisik industri ini selesai, pada Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Pada 11 Oktober 1985, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berganti nama menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).

Pertanyaannya apa yang bisa ditangkap dari perjalanan panjang sebuah industri dirgantara di Indonesia? Membangun industri berteknologi tinggi tak dapat disulap dalam sekejap. Diperlukan roadmap dengan rentang waktu yang panjang. Tak kurang 20 tahun waktu yang diperlukan dari mulai transfer teknologi sampai berhasil menciptakan pesawat dengan kemampuan penuh anak negeri.

Ya, tidak “haram” memang tahapan proses industrilisasi dimulai dari assembling, di mana seluruh teknologi dan raw material berasal dari pemilik teknologi. Anak negeri pada tahap awal hanya sebagai “tukang jahit”, yang patron (design  dan rancang bangun) dari negara pemilik teknologi. Tapi, optimisme yang dibangun oleh BJ. Habibie saat itu, menjadi lokomotif yang mampu dibuktikan melalui proses panjang sampai akhirnya mampu menciptakan pesawat penumpang N250 di era tahun 1990-an saat itu.

Proses itu bagaikan “lompatan katak” yang menjadi “pintu masuk” mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara maju di dunia. Bila kita bisa membikin pesawat, maka menciptakan mobil jauh lebih mudah dibandingkan  menciptakan “burung besi”,  sebagai simbol hi-tech. Paling tidak analogi ini yang mampu menggiring frame optimisme dalam menghadapi era industrilisasi mendatang

Upaya mencapai keberhasilan itu merupakan konsistensi teknolog dalam melakukan alih teknologi. Setelah berhasil menjadi tukang jahit, langkah berikutnya adalah bagaimana potensi dalam negeri mampu berkreasi menciptakan komponen-komponen penunjang dalam suatu industri.  Pada tahap ini – peningkatan kandungan lokal – akan menentukan nilai tambah dari produk yang dihasilkan.

Sebab, ketergantungan raw material terhadap pasokan dari luar negeri, akan mempengaruhi nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Kondisi demikian, sangat riskan terhadap terhadap fluktuatif ekonomi global. Bila rupiah terdepresiasi terhadap dollar, misalnya, akan mempengaruhi industri berbahan baku asal impor. Itu sebabnya – Habibie – dalam konsep industrialisasi yang dikembangkan melalui beberapa tahap. Di mulai dari assembling, rekayasa dan rancang bangun, local content  dan terakhir Research & Development.

Paling tidak Habibie telah meletakkan dasar-dasar membangun industri berteknologi tinggi. Saya pun berdecak kagum ketika masih menjadi jurnalis yang focus pada liputan-liputan iptek. Di era 90- sempat terlontar dari beliau analogi: “jika ingin menguber kendaraan di depan kita, maka laju kecepatan mobil yang kita kendarai harus dua kali lebih cepat dibandingkan mobil di depan”

Itu sebabnya, konsentrasi industri yang menjadi fokusnya, adalah industri strategis, yaitu BUMNIS yang bersinergi dengan badan-badan penelitian, terutama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mengapa model demikian menjadi pendekatan pengembangan industri strategis di Indonesia maupun industri-industri lainnya?

Di mana pada tahap keempat dalam proses perjalanan revolusi industri – siap atau tidak siap – kita dihadapi realitas kemajuan teknologi yang begitu cepat. Cepatnya kemajuan tersebut, membuat industrilisasi harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Salah satu instrument untuk beradaptasi terhadap hal itu adalah  kehadiran Research & Development dalam komunitas-komunita industri yang mendapat dukungan penuh pemerintah.

Apa bentuk dukungan pemerintah terhadap riset dan penelitian? Pemerintah menggelontorkan anggaran yang cukup besar di lini ini. Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengatakan, anggaran riset mencapai Rp 26 triliun.

Jokowi menanggapi kicauan Achmad Zaky yang membandingkan anggaran riset Indonesia dengan negara lain. Dalam twitnya, Zaky menulis: “Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (2016, in USD) 1. US 511B 2. China 451 B 3. Jepang 165B 4. Jerman 118B 5. Korea 91B 11. Taiwan 33B 14. Australia 23B 24 Malaysia 10B 25. Spore 10B 43. Indonesia 2B, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id.

Boleh jadi dari segi angka, anggaran riset kita lebih kecil dibandingkan negara-negara tersebut. Tapi ingat, komunitas-komunitas industri pun – bila ingin maju – harus menyisipkan anggaran riset demi meng-update perkembangan pengetahuan dan teknologi. Toh, hasil akhirnya komunitas industri yang menikmati dari bisnis yang digelutinya.

Pertanyaannya bagaimana mensinergikan budaya riset dan pengembangan bagi kemaslahatan bangsa ini? Lembaga-lembaga riset, lembaga-lembaga pendidikan dan dunia usaha perlu membangun frame bersama dalam perspektif membangun bangsa melalui kompetensi yang dimiliki masing-masing

Dalam kompetensi yang dimiliki masing-masing tersebut, perlu ditarik (dirumuskan benang merah) untuk tujuan bersama. Lembaga riset, umpamanya, melakukan penelitian terhadap realita industri yang dihadapi negeri ini. Jangan hanya “asyik” terhadap pergumalan penelitian yang hasil akhirnya hanya sampai ke rak-rak perpustakaan.

Lembaga pendidikan (universitas dan sebagainya) perlu mengkaji penelitian yang aplikatif yang sesuai dengan kondisi ril industri. Sementara  dunia usaha bisa menggelontorkan sejumlah dana penelitian untuk membantu lembaga-lembaga tersebut, untuk bersama-sama membangun penelitian yang dapat diterapkan di dunia usaha.

Interaksi positif terhadap lembaga-lembaga tersebut dan didukung pemerintah (baik dalam bentuk insentif tax holiday dan apa pun namanya), dapat membuat penelitian lebih focus terhadap kondisi real yang dihadap dunia usaha saat ini dan masa mendatang

Pertanyaannya, sudahkah interaksi positif tersebut terbangun dalam rangka menghadapi industri 4.0 saat ini? Bila sudah berkolaborasi, penelitian akan lebih focus menghadapi realita yang dihadapi dunia usaha.

Jangan sampai budaya penelitian hanya sebagai “menara gading” yang hasil akhirnya tergeletak rapi di rak-rak perpustakaan belaka. []foto ilustrasi: ist dari sumber:aktual.com

 

*Penulis adalah pimpinan redaksi pelakubisnis.com