Lestarikan Batik dan Tenun Gedog  Tuban

Berbekal pengalaman turun menurun , Nanik Nandiana Ningsih mengkoordinir  para pengrajin  untuk melestarikan  batik dan tenun  gedog  di daerah Kerek, Tuban, Jawa Timur. Upayanya tak sia-sia. Tenun gadog yang sempat  ‘mati suri’ akhirnya kembali populer dan diminati pasar. Volume produksi pun  dalam 4 tahun terakhir terus naik 60% hingga 75% per tahun.

Nanik Nandiana Ningsih bersama Ibu Bintang Puspayoga (Foto: Dok.Pribadi)

Kecamatan Kerek merupakan daerah rintisan yang berada di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Letaknya sekitar 37 km dari pusat kota Tuban (Alun-Alun Tuban-red).  Daerah ini cukup dikenal masyarakat lokal sebagai daerah sentra  tenun dan batik gedog. Di salah satu desa, persisnya  di Dusun Kajoran, Kecamatan Kerek, Tuban,  terdapat komunitas  batik dan tenun gadog yang dimotori Nanik Nandiana Ningsih (44).

Boleh jadi Nanik adalah agen perubahan yang memang dibutuhkan masyarakat di tengah kelesuan industri tenun dan batik di daerah Kerek saat itu. Di kisaran 1998 ia tergerak mengubah paradigma lama yang sebelumnya monoton menghasilkan tenun  gedok yang berciri khas warna putih dan cokelat ke hasil desain motif yang lebih berwarna. “ Saya melihat di lingkungan sekitar saya memiliki skill membuat tenun dan membatik. Dulu orangtua saya  mempekerjakan masyarakat sekitar  membuat  tenun gedog . Cuma  tenun gedog waktu  itu memiliki ciri khas hasil warnanya putih dan cokelat seperti warna aslinya kapas,”cerita Nanik .

Ia melihat, tak sedikit orang di sekitarnya  yang tekun memintal benang, membuat tenun hingga membatik.   Namun  sangat disayangkan, skill yang dimiliki tak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.  “Jadi waktu itu kegiatan pemasarannya hanya terbatas di pasar lokal saja.  Sistem pemasarannya belum nasional. Waktu itu hampir tak ada yang mengajak pameran. Tenun gedok hampir tak terdengar di pasar nasional,”kata  Nanik yang kebetulan melihat figur neneknya yang juga pemintal benang.

Beranjak dari kondisi yang dilihatnya selama ini, Naniek pun berpikir bagaimana caranya mengembangkan tenun dan batik gedog agar bisa diterima pasar lebih luas.

Waktu itu untuk pertama kalinya ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan   design product  ke Bali yang diinisiasi Universitas Airlangga (UnAir)  Surabaya.  Dari situ dengan  bekal  modal Rp500 ribu yang diperuntukkan membuat kain tenun, ia  mulai mengembangkan usaha ini ke luar Tuban.

Singkat cerita, di kisaran tahun 1998 ia bergerilya menawarkan tenun batik gedog door to door ke Bali hanya dengan modal selembar kertas-kertas desain dan dokumentasi foto proses kerja dari para pengrajin tenun dan batik gedog. “Sebelum kejadian bom Bali saya sudah  mendapat buyer yang memiliki workshop di Legian,”ungkap Nanik.

Tak patah arang Nanik bergerilya menembus pasar Bali dengan segala peristiwa politik yang terjadi kala itu.  Hingga akhirnya kini  Bali menjadi tempat  pengembangan pasar potensial bagi tenun dan batik gedog  setelah sekian lama aktifitas pemasaran hanya terkonsentrasi di kota Tuban saja.

Di tahun 1998 itu ia mempekerjakan pengrajin sekitar dusunnya. Ia  berupaya memberi pengertian kepada para pengrajin untuk tetap bekerja di tengah situasi pasar  yang hampir ‘mati suri’.  Ia pun bersedia membeli dari para pengrajin  tenun yang rata-rata berusia tak lagi muda. Lagipula,  warga di Dusun Kajoran tempat Nanik tinggal terbiasa menanam kapas. Boleh jadi hampir tak ada kendala dalam hal pengadaan bahan baku kapas.

Melibatkan 15 pembuat tenun gedog (Foto: Dok. Pribadi)

Hingga kini  di bawah UD Melati Mekar Mandiri ia mengkoordinir sekitar  60 orang tenaga kerja, harian tetap dan  lepasan.  Termasuk diantaranya  15 orang pengrajin  tenun gedog yang sudah tak usah lagi ditanyakan kepiawaiannya dalam membuat kain tenun gedog.

Menurut Nanik tak semua orang di Kerek mampu membuat tenun gedog. Karena membuat tenun gedog dibutuhkan keterampilan yang sudah turun menurun. Awalnya sebagian orang terampil ini mengerjakan tenun gedog di rumah masing-masing dalam skala home industry.  Akhirnya di  bawah koordinasi Nanik,  beberapa pengrajin tenun dikumpulkan dalam satu atap  agar ia dapat memaksimalkan hasil produksi. Menurutnya, dengan bekerja dari satu  rumah, lebih mudah baginya  mengontrol proses produksi dan menghasilkan produk yang lebih berkualitas.

Dari situ ia mulai  merintis kembali industri tenun dan batik gedog  dari nol. Harapannya ia bisa membantu para pengrajin mengatasi permasalahan utama yang dihadapi seperti, pertama dalam hal mencari pasar, kedua menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan ketiga ia dapat mengontrol  proses kerja  untuk bisa mengejar target. “Kalau bekerja di rumah masing-masing mereka bisa seenaknya. Agak sulit mengontrolnya, makanya saya sediakan satu rumah agar mereka bisa lebih produktif,”terang wanita kelahiran 1975 ini.

Menciptakan lapangan kerja bagi warga sekitar Kerek, Tuban (Foto: Dok. Pribadi)

Ada tenaga harian tetap dan harian lepasan serta ada para pemintal lepasan. “Kami melibatkan  masyarakat dari tiga sampai empat desa, dari petani penghasil kapas, kemudian para pemintal, pembuat tenun gedog dan melibatkan pembatik. Dari hulu hingga hilir kami kerjakan.  Peran saya disini, mengumpulkan mereka yang biasanya mengerjakan tenun di rumah dengan sistem sambilan. Kini memberi  kepercayaan kepada mereka untuk bisa mengejar target. Memang perubahan itu tantangannya banyak sekali, tak langsung ditemukan solusinya. Alhamdulillah asap dapur mereka bisa tetap  ‘ngebul’ dan mereka menyadari itu,”papar Nanik yang juga bekerja  sebagai Guru  TK ini.

Diakui Kepala TK Tunas Harapan Desa Jarorejo, Kerek, Tuban ini,  dalam hal pembiayaan, awalnya  ia mendapat pinjaman modal dari PT Semen Indonesia Tbk dan kedua dari Dinas Perindustrian (sekarang Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan-red).   “Untuk sekarang pinjaman modal hanya didapat Semen Indonesia   dan BRI dalam bentuk pinjaman modal dan sesekali  mendapat pelatihan,”tambahnya.

Meski  masih banyak kendala seperti dalam hal pencatatan adminitrasi misalnya. Namun,  dalam skala pencapaiannya  sudah lebih baik. Diakui Nanik, kini  jangkauan pemasaran  UD Melati Mekar Mandiri  sudah lebih luas tak hanya diminati pasar lokal, tapi tenun gedok dan batiknya  sudah banyak diminati pasar luar daerah seperti Bali dan beberapa daerah lain juga sudah mengenal  tenun dan batik gedog.  “Tak hanya tenun gedog, tapi batik kami juga sudah banyak di pakai konsumen lokal. Dari Dinas Koperindag (Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan-red), seragam Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional-red), demikian juga dengan BRI setempat  memesan seragam ,  Polres Tuban , dan lain-lain. Ibu Khofifah Indar Parawansa dan Ibu Arumi (Istri Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak-red) juga memesan batik dari kami,”tutur  Koordinator Kelompok UKM UD Melati Mekar Mandiri Batik Gedog, Dusun Kajoran, Kerek, Tuban ini.

Kini, pasar tenun dan batik gedog  hasil kreasi UD Melati Mekar Mandiri terbagi ke beberapa kategori yakni, skala partai, perorangan, dan pasar di luar Tuban seperti Surabaya, Bali, Jakarta dan beberapa kota lain di tanah air. “Alhamdulillah kami sudah diperkenalkan kepada turis lewat Misi Perdagangan yang diadakan Dinas Perdagangan Tuban ke Jakarta beberapa waktu lalu,”jelasnya.

Sedangkan pasar ekspor diakuinya, sudah ada buyer yang sedang berusaha meminang UD  Melati Mekar Mandiri untuk order pesanan ke pasar ekspor ke negara seperti Jepang dan Amerika dengan Standard Operating Procedure (SOP)  dari Indonesia. “Mereka mintanya per container dengan menggunakan SOP dari Indonesia.

Adapun harga jual tenun dan batik gedog  mulai harga Rp65 ribu hingga 8 jutaan rupiah. Konsumennya  tak hanya perorangan dan pembeli skala partai, namun pembatik kondang sekalipun  diakui Naniek membeli kain tenun gedog.

Selain ciri khas motif Batik Tuban yang menggunakan warna-warna dasar, ciri khas yang paling menjadi identitas batik Tuban adalah kain tenun gedognya.  “Bahkan pengrajin dari NTT atau Kupang pernah belajar di tempat kami. Karena  tak semua  penenun mampu menghasilkan tenun gedog. Itu rekomendasi dari Ibu Bintang Puspayoga (istri mantan Menteri Koperasi AAGN Puspayoga-red),”terang Nanik sambil menjelaskan, proses pembuatan tenun gedog lebih rumit dan butuh ketelatenan. Disebut gedog karena bunyi-bunyian dog-dog yang berasal dari bambu yang membentur pada dasar alat tenun.

Tak jarang Dinas Perdagangan Provinsi mengajaknya pameran belakangan ini. Setidaknya 4 sampai 5 kali Naniek  mengikuti pameran di beberapa kota di tanah air.

Tak sia-sia upayanya membangun awareness mempromosikan tenun dan batik Tuban dari pameran ke pameran. Alhasil, setidaknya saat ini dari hasil penjualan ia  bisa meningkatkan volume produksi yang saat ini terus naik 50 – 60% per tahun., bahkan menurutnya  sampai naik 75%.

Tahun 1998 Nanik mulai merintis kembali  usaha tenun dan batik gedog, baru sekitar tahun 2000 terbuka peluang untuk melebarkan sayap berkolaburasi dengan  para pengrajin tenun dan batik di daerahnya.  Namun, persisnya baru  tahun  2015 terjadi peningkatan penjualan yang cukup signifikan. Dimana ia mampu meningkatkan kapasitas produksinya naik sekitar 60% hingga 75% per tahun karena permintaan pasar semakin tinggi. “Di 2015 itu kami bisa menjual  scraff    dan kain tenun juga batik hingga ratusan lembar,”tambahnya yang menyebut omsetnya per bulan bisa mencapai  rata-rata Rp80 juta.

Sebagai gambaran, pasar dari buyer di Bali misalnya! Menurut Nanik, satu kali pengiriman untuk tenun gedog ke Bali bisa mencapai Rp 75 juta, sedangkan batiknya sekali angkat, buyer membeli dengan kisaran transaksi Rp35 juta.  “Satu item tenun saja bisa menghabiskan waktu 2 bulan,”ujarnya.

Ketika ditanya kendala apa saja yang hingga saat ini ia temui dlam mengembangkan usaha tenun gedog dan batik, menurutnya saat ini yang paling dirasakan adalah ia  masih membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Kedua, ia ingin memperluas  pasar  menuju ke pasar fesyen, membuat barang jadi.  Diakuinya ia kesulitan mencari tenaga terampil.  Harus ada regenerasi  khususnya untuk pengrajin tenun gedog.  “Kami kesulitan mencari pengrajin yang telaten. Tak sedikit pengrajin yang sudah berumur,”terang Nanik yang ingin menghapus paradigma kaum muda bahwa tenun dan membatik itu bukan hanya bisa dilakukan kaum tua, tapi anak muda juga punya kesempatan untuk belajar menenun gedog meski  perlu cermat ketelatenan dan tak bisa sekali saja mempelajarinya.

Kendala yang terakhir adalah  belum menguasai bahasa internasional. Sehingga menjadi tantangan bagi usaha kecil menengah sepertinya untuk go internasional. “Kami masih butuh orang yang mengerti  dan paham pasar  ekspor,”katanya seraya menambahkan,   saat ini tenun dan batik Tuban sudah sampai ke negara-negara seperti  Belanda, Jepang dan Amerika melalui  para buyer .[]Siti Ruslina