Mengintip Estafet Kepimpinan Sanken Group

Perlahan tapi pasti estafet kepemimpinan di Sanken Group jauh-jauh hari sudah dipersiapkan. Meskipun generasi pertama masih aktif, tapi generasi kedua mulai mendapat kepercayaan. Bagaimana proses regenerasi kepemimpinan ini berlangsung?

PT Sanken Argadwija  berhasil menggerek nama Sanken  dengan menunjukkan jati diri sebagai brand  nasional yang tangguh. Betapa tidak, tingkat produktivitas dan daya saing brand  ini patut disetarakan dengan brand-brand elektronik asing.

Perusahaan elektronik yang berdiri tahun 1996 ini terus berinovasi menciptakan peralatan modern dengan meningkatkan penggunaan komponen lokal. Perusahaan ini didirikan oleh Mr Markus Seah dan Magdalena Ongkowijaya.  Dalam menunjang produk elektronik Sanken, perusahaan ini mendirikan anak perusahaan, yaitu PT Plastik Injection Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 2006. Perusahaan ini mulanya dibangun untuk memenuhi kebutuhan pasokan plastik  produk elektronik merek Sanken yang merupakan sister company.

Esmond Tirtajasa

Namun demikian pendiri PII sudah memperkirakan kebutuhan pasar akan produk-produk berbahan bahan baku plastik. “PII ini merupakan cikal bakal lahirnya brand Rovega Indonesia, karena melihat adanya opportunity  untuk masuk ke dunia plastik, terutama plastik housewares, “jelas Esmond Tirtajasa, Senior Manager Digital Sales & Marketing PT Rovega Kirana Indonesia (Rovega).

Beberapa tahun terakhir ini Sanken Group mulai ditangani oleh generasi kedua. Kendati pucuk pimpinan masih dipegang oleh generasi pertama. Menurut Esmond Tirtajasa, kehadiran generasi kedua masih sangat dibutuhkan terutama di Sanken dan Rovega untuk memikirkan lebih jauh – bukan hanya sebagai pekerja. “Kita masih sangat membutuhkan orang-orang yang sangat peduli dengan company ini atau pun dengan visi dan misi company sendiri,” kata Esmond serius kepada pelakubis, pada pertengahan Mei lalu.

Menurut Esmond, mengapa Sanken memproduksi produk-produk elektronik? Hal ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Belum tentu para profesional berpikir sampai bagaimana memenuhi kebutuhan konsumen. Mungkin profesional hanya bekerja sesuai dengan kebutuhan target.

“Kami merasa terpanggil untuk bisa meng-handle dan melanjutkan yang sudah dibuat oleh beliau (generasi pertama-red). Terutama untuk melanjutkan visi misi nya, supaya Sanken bisa menjadi perusahaan yang bisa menjawab kebutuhan pasar dengan baik,” katanya sambil menambahkan bahwa kategori produk elektronik merupakan produk yang sulit menembus pasar  karena menjual produk yang hidup, yang kehidupannya itu perlu digaransikan.

Lebih lanjut ditambahkan, menjual produk yang lepas setelah pindah tangan harus bisa menciptakan yang bisa menjawab kebutuhan konsumen.”Jadi kalau sudah beli mesin cuci Sanken, sudah bisa membantu keluarga mencuci. Harus  punya ekspektasi, minimal selama tiga sampai lima tahun harus membantu,” kata Esmond yang juga menempati posisi E-Commerce Sales & Marketing Manager Sanken Electronic Manufacturing Company.

Tentang generasi penerus yang masuk ke perusahaan keluarga, diakui Esmond, alasan masuknya ia ke dalam perusahaan keluarga karena ada kemauan keduabelah pihak (anak dan orangtua). Meski pun orangtua memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. “Orangtua saya memang ada keinginan anak-anaknya melanjutkan usaha keluarga, tapi beliau tidak secara langsung  menyampaikan hal tersebut. Justru partner bisnisnya (Mr Markus Seah-red) yang minta bergabung di perusahaan keluarga ini , untuk bergabung di Sanken Group,” lanjut Master of Business Administration (MBA),  Business Administration and Management General UIBE Business School ini.

Selain bertanggungjawab penuh di Rovega Indonesia, Esmond juga mengembang tugas sebagai GM Sanken Argadwija

Putera ketiga pasangan Magdalena Ongkowijaya dan Ronny Tirtajasa ini memiliki  latar belakang pendidikan S1 jurusan  Akutansi di Amerika Serikat dan S2 di China bidang Bisnis dan Manajemen (Master Business Administration ). Sementara kedua Kakaknya, Eric dan Edward  mengenyam pendidikan di bidang teknik. “Kami disekolahkan ke China karena orangtua ingin anak-anaknya menguasai bahasa Mandarin. Terus terang kami bertiga sebelumnya tidak bisa bahasa Mandarin,”aku Esmond.

Saat itu Ibunya meminta agar anaknya bisa duduk di belakang meja. Dia menginginkan anaknya masuk dunia marketing. “Apa sih konsepnya dari penjualan? Karena Ibu ketika mendirikan Sanken bersama Mr Markus, Ibu lebih banyak menangani masalah finance, IT dan pabrik, sementara Mr Markus lebih fokus ke urusan marketing,”ungkapnya.

Menurut Esmond, sejak ia dan kakak-kakaknya masih kecil, Ibunya sudah memperkenalkan dunia kerja. “Saya masih ingat, saat itu kami ikut Ibu ke kantor. Disitu Ibu minta anak-anaknya membantu menyusun file-file dokumen ke tempat yang telah disediakan. Banyak sekali dokumen yang harus disusun di tempat yang telah di tentukan. Kami bertiga saling bantu menyusun file-file tersebut. Saya masih ingat di meja rapat ini kami bertiga masing-masing mendapat tugas menyusun kertas-kertas itu tanpa tahu apa isinya,” kenang Esmond yang saat itu ia masuk duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD).

Yang ia pahami saat itu, sang ibu telah  mengeluarkan banyak “keringat dan darah” dalam membangun Sanken. “Ibu dan Bapak ganti-gantian saling membantu. Hari ini Ibu nggak pulang, besoknya Bapak yang nggak pulang. Waktu  saya SD sering melihat kondisi itu dan jadi terbiasa,” kenangnya.

Proses belajar terus berlanjut sampai masa kuliah. “Setahun sekali saya pulang karena liburan kuliah. Selama dua tiga bulan liburan kuliah, saya sudah mulai belajar bekerja di Sanken. Memang permintaan orangtua lewat rekan bisnisnya tadi, tapi anak-anaknya oke-oke saja, sih. Nggak ada beban,” tandasnya.

Menurut Esmond, selama liburan kuliah, ia dan koko-koko nya bekerja di Sanken. Pekerjaan yang diberikan diputar di berbagai divisi dan menangani project apa yang saat itu sedang mereka  develop. “Kami anak-anaknya dilibatkan. Saya yang nggak pernah lupa pada saat itu ada penjualan produk-produk yang cacat (reject). Walaupun produk itu hanya baret atau penyok sedikit, dianggap produk reject. Dengan barang-barang reject ini kita harus tetap tanggungjawab untuk memasarkan, dengan harga yang lebih murah, tapi tetap bergaransi,” tambah Esmond.

Misalnya lemari Es di dalamnya penyok sedikit sekali, harga dijual dengan diskon mencapai 30 persen. Padahal secara kasat mata tidak kelihatan sama sekali, tapi tidak lolos dari quality control, sehingga barang tersebut harus masuk dalam kategori barang reject.

“Barang-barang reject ini harus kita pasarkan. Bagaimana harus bisa terjual. Kebetulan saat itu ada penjualan barang-barang reject. Itu salah satu aktivitas yang sampai sekarang nggak bisa saya lupakan,” kata Esmond serius.

Walaupun saat itu, kata Esmond, kalau dilihat dari perspektif sekarang, program penjualan barang-barang reject kurang berhasil. Sebenarnya masih banyak sekali yang bisa dilakukan. “Saat itu saya cukup kagok. Dari pemilihan barang sampai harga jual saya diberikan kuasa penuh,” jelasnya lagi. Saat itu project tersebut menjadi tanggungjawabnya.

Memang diakui menurut Esmond, karyawan yang ditugaskan membantu saya saat itu cukup hebat dan sudah senior dan sudah menjadi bidang dia. “Sebetulnya saya belajar dari karyawan senior itu, walaupun pasti ada gap. Karyawan senior tersebut sekarang masih bergabung di Sanken di marketing sampai sekarang. Beliau saat itu kasih saya sedikit instruksi (mentor-red). Walaupun di lapangan masih ada tantangannya,”tambah Esmond.

“Kami kakak beradik diberi tugas yang berbeda-beda. Case-nya beda. Mereka mungkin tidak pernah mendapat case seperti saya. Tapi pasti ada penugasan-penugasan. Eric juga pernah di bagian sales dan marketing. Jadi tidak hanya melulu di bidang produksi saja. Kecuali di bagian ibu atau bagian finance, kami tidak di-rolling kesitu karena itu Ibu yang handle,” tambahnya.

Sementara itu, kakak keduanya,  Edward Tirtajasa yang  sekarang pegang Rovega Furniture, full menggantikan Ronny Tirtajasa. “Bapak dulu pegang furniture, walaupun juga  handle di Sanken, tapi untuk sehari-hari Bapak nggak handle langsung di Sanken. Bapak saya dulu, sebelum bangun Rovega Furniture sebagai  eksportir rotan ke Eropa,”cerita pria kelahiran 1990 ini.

“Sebetulnya anak-anak sudah banyak belajar, sampai bisa menangkap semua, baru diberikan tanggungjawab lebih. Prosesnya regenarasinya berlangsung pelan-pelan. Walaupun Ibu Bapak dan Mr Seah sudah tahu bahwa segala sesuatu tidak bisa diatur. Tergantung cocoknya di mana. Mereka sudah mengerti sekali bahwa akan terjadi regenerasi. Kita diberi kebebasan untuk memilih maunya di mana,”tutur Esmond.

Sebagai contoh ketika Eric Tirtajasa masuk ke produksi, memang sebenarnya lebih ke arah kebutuhan untuk meng-handle lini produksi. “Sebenarnya kombinasi antara kebutuhan dan kemauan. Eric juga ok, ia yang meng-handle pabrik,” lanjutnya. Keluarga ini diajarkan untuk menjadi tim yang solid dan saling membantu sampai sekarang.

Memang diakuinya ekspektasi orangtua cukup tinggi. Harus mampu dan kita terlihat mampu untuk meng-handle segala sesuatu yang ada di sini. “Ibu dan Bapak selalu memberi kebebasan. Bahkan, terkadang suka mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya, apa sebaiknya company ini dijual aja, kalau kalian nggak mau handle,” kata Esmond menirukan pernyataan bapaknya.

Pernyataan itu dilontarkan serius oleh Ronny. Anak-anaknya pun menanggapi dengan serius. “Ya, nggak lah… Kita mau handle,” kata Esmond. Artinya tidak ada unsur paksaan dari orangtua  menjadikan Sanken sebagai kawah candradimuka bagi ia dan kakak-kakaknya. Semua penuh kesadaran dari anak-anak untuk melanjutkan usaha keluarga ini. Anak-anak harus membuat visi misi orangtua selama ini masih tetap bisa dilanjutkan.

Demikian halnya dengan dua anak Markus Seah. Saat ini mereka  juga terlibat dalam Sanken Group ini. Dua keluarga besar pendiri Sanken Group ini secara perlahan mulai menerima estafet regenerasi kepemimpinan yang kelak akan dilanjutkan oleh generasi kedua dan saling bahu-membahu membesarkan usaha orangtua. [] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina