Menaikan APBD melalui Pengadaan Strategic dan Entrepreneurial Government

Oleh: Khairul Rizal

Istilah Entrepreneurial Government (EG) merupakan istilah yang mungkin belum populer di negeri ini. Istilah EG pernah diperkenalkan dan diterapkan oleh Fadel Muhammad yang ekivalensinya disebut Entrepreneurial Public Service (EPS) atau pelayanan publik bergaya kewirausahaan, ketika beliau menjadi gubernur Gorontalo dan menjabat Menteri Perikanan dan Kelautan. Istilah EG atau EPS secara teori diajarkan di Harvard University, sekolah admistrasi publik yang paling terkenal di dunia.

Pada praktek EG, seorang kepala daerah berperan layaknya seorang CEO (Chief Executive Officer) di perusahaan yang mengendalikan daerah dengan pola berfikir kewirausahaan. Semua resource yang ada baik dari SDA/Infrastuktur,SDM dan sistem pemerintahan dikelola untuk mencapai keuntungan bagi shareholder. Jika pada korporasi keuntungan ini akan berupa profit dan pembagian deviden ke pemegang saham, dalam konteks EG devidennya adalah meningkatnya kepuasan dan kesejahteraan rakyat didaerah tersebut. Hal ini dapat terlihat dari indikator meningkatnya PAD (Pendapatan Asli Daerah) , berkurangnya orang miskin, meningkatnya kesejahteraan pegawai yang menjalankan roda pemerintahan otomatis juga berkurangnya tingkat korupsi di daerah tersebut.

Seorang kepala daerah ditantang untuk dapat mengidentifikasi kekuatan (Strength) dan peluang di daerahnya. Peluang ini dapat berupa potensi SDA (Sumber Daya Alam di bawah permukaan bumi, lahan pertanian yang subur, parawisata, perikanan dan kelautan) atau letak yang strategis sebagai logistic atau trade hub. Singapore sebagai salah satu negara/kota yang dapat memanfaatkan lokasi /letaknya sebagai kota trade and logistic hub sangat sukses menjadi kota atau negara maju yang mampu memberikan deviden berupa kepuasan dan kesejahterakan kepada rakyatnya. Dalam mewujudkan ini para kepala daerah untuk inisiasi dapat mengundang para ahli, konsultan atau wiraswastawan sukses sebagai partner atau bagian dari tim implementasi.

Merubah Mindset

Anggaran berbasis kinerja (ABK) merupakan salah satu produk reformasi birokrasi , dimana pada ABK, kinerja (outcome) dari sebuah program kerja dan output dari sebuah kegiatan menjadi dasar utama pengeluaran anggaran. Dalam konteks mewujudkan EG diperlukan strategi mengelola ABK ini dengan lebih fokus dan terukur.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus didisian sedemikian rupa untuk mencapai target daerah yang jelas dan tajam. Target daerah misalkan menaikkan produksi beras dari tiga ton/ha menjadi enam ton/ha, target mencapai satu juta ton produksi jagung /tahun , target meningkatkan kunjungan wisatawan dari 500 ribu orang/tahun menjadi 1 juta orang/tahun , dll . APBD didisain sebagai modal untuk mencapai target yang dicanangkan dan berorientasi produksif dengan indikator peningkatan pencapaian yang jelas.

Semua kegiatan dan anggaran SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) diarahkan untuk mencapai target daerah .Jika misalkan menaikkan produksi pertanian menjadi target dan fokus utama suatu daerah, Anggaran SKPD PU (Pekerjaan Umum) di daerah tersebut diarahkan untuk membangun sarana/prasana yang mendukung pertanian, Agggaran pada SKPD Pertanian diarahkan untuk mendapatkan bibit , penyuluhan pertanian dan membangun sistem pertanian yang andal dan SKPD-SKPD yang lain semuanya diarahkan untuk mendukung pencapaian target tersebut, dan masing-masing SKPD memiliki KPI (Key Performance Indocator) yang terukur.

Perlu ditanamkan dan dirubah pola pikir ( mindset) kepada seluruh karyawan di daerah bahwa anggaran belanja daerah adalah modal yang harus dikelola dan dikeluarkan untuk suatu kegiatan yang akan memberikan nilai tambah atau penguatan terhadap program yang ditentukan , bukan sekedar biaya yang perlu dihabiskan. Pola pikir yang telah terbentuk bahwa sekian persen anggaran belanja akan menjadi tambahan income melalui segala macam cara seperti menggelembungkan nilai pengadaan, membuat rekayasa honor dan perjalanan dinas harusnya dihilangkan. Seorang Kepala daerah (CEO ) harus mampu meyakinkan dengan menggunakan dan mengelola APBD yang baik dan benar akan tercapai target yang dicanangkan berupa peningkatan PAD atau kesejahteraan rakyat seperti keuntungan di perusahaan.

Dengan peningkatan PAD,  kepala daerah dapat memberikan insentif atau tunjangan kinerja yang nilainya cukup besar bahkan dapat beberapa kali lebih tinggi dari pendapatan gaji . Tunjungan ini akan menggantikan pendapatan hasil rekayasa tidak halal yang menggerogoti APBD dan membuat rapuh pemerintahan.

Peningkatan pendapatan selain dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pajak ,retribusi sebagai konsekuensi dari hasil pencapaian target daearah juga dari deviden yang dihasilkan oleh BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). BUMD dapat menjadi kendaraan strategis untuk meningkatkan penghasilan daerah. Sebagai konsekuensi pengelolaan BUMD harus dilakukan dengan manajemen profesional , tidak dicampurkan dengan kegiatan politis dan balas budi, hal ini akan membuat BUMD tumbuh kuat. BUMD menjadi institusi yang kredibel dimata semua pihak pelaku usaha baik nasional maupun internasional.

Pengadaan dalam APBN/APBD

Sudah bukan menjadi rahasia umum nilai pengadaan yang rata-rata berkisar antara 40- 45% dari APBN/APBD merupakan lahan atau pos dalam APBN/APBD yang digunakan banyak pihak untuk mendapakan penghasilan tambahan yang tidak halal. Sumber yang secara administratif sesuai dengan aturan yang ada , dapat direkayasa sehingga terlihat dapat dipertanggung jawabkan . Berbagai motivasi melatar belakangi kegiatan ini dan akhirnya menjadi temuan. Hampir 44 % kasus di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan kasus rekayasa pengadaan.

Pengadaan menjadi kegiatan yang “ngeri-ngeri sedap”, ngeri jika ketahuan rekayasanya sedap jika tidak ketahuan. Pengadaan sudah tidak berorientasi sebagai modal atau bagian pencapaian target daerah tetapi menjadi pos untuk melewatkan komisi atau titipan yang akhirnya membuat pusing panitia pengadaan dalam merekayasa volume, unit cost dan dokumen pengadaan lainnya.

Pengadaan stratetik dan Kredibel

Pengadaan saat ini dilakukan sangat transaksional. Banyak paket pengadaan direkayasa menjadi paket-paket kecil menghindarkan lelang atau menjadi paket besar dan khusus sehingga tidak banyak peserta yang bisa mengikuti. Umumnya pengadaan sudah dikemas dari tahap perencanaan anggaran,perencanaan pengadaan , pelaksanaan hingga penentuan pemenang. Biasanya pemenang dan harga sudah didisian , walau dokumen pengadaan terlihat rapi tapi pada akhirnya pengadaan tidak memenuhi tujuan pengadaan yang 5T (Tepat Kualitas,Tepat Kuantitas, Tepat Waktu, Tepat Sumber dan Tepat Harga). Pengadaan menjadi kegiatan mengada-ada, menjadi tempat banyak pihak terpaksa atau tidak menitipkan kepentingan sehingga harga beli barang/jasa menjadi jauh di atas harga pasar.

Melihat problem dan tantangan tersebut pemerintah melakukan berbagai reformasi baik dari sisi regulasi, penyediaan infrastruktur e-Procurement (e-Tender,e-Purchasing dan eCatalog) sebagai alat bantu teknologi maupun SDM. Reformasi ini mencoba mengembalikan pengadaan sehingga mencapai tujuan pengadaan yang 5T di atas dan dilakukan dengan prinsip dan pedoman umum pengadaan. Pemerintah melalui LKPP dan IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) mendorong pengadaan yang strategik ini.Untuk barang yang berspesifikasi standar , telah ada dipasar dan telah terjadi kompetisi dapat dimasukan ke e-Catalog dan pengadaan seterusnya tidak perlu dengan lelang.

Pengadaan yang strategik atau Strategic Procurement adalah pengadaan yang berorientasi untuk memenuhi strategic plan / rencana strategis daerah. Dengan pengadaan yang strategik dan kredibel akan dihasilkan barang/ atau jasa untuk mencapai tujuan EG dengan lebih efisien. Paket pengadaan yang selama ini dipecah-pecah menjadi paket-paket kecil , dikonsolidasi menjadi paket yang nilainya besar dan dapat di e-Catalogkan. Untuk kebutuhan yang selama ini menjadi paket khusus dan hanya bisa diikuti oleh penyedia yang terbatas justu dipecah menjadi paket-paket yang spesifikasinya standard dan penyedianya banyak agar terjadi kompetisi. Pengadaan berorientasi jangka panjang sebagai bagian utama dalam mewujudkan dan mencapai rencana strategis daerah .Pengadaan dilakukan dengan alat bantu elektronik dan berorientasi Procure to Pay , pembayaran diusahakan dilakukan segera setelah barang/jasa telah diterima atau Berita Acara pekerjaan diselesaikan sehingga menjadi suatu sistem yang kredibel.

Dalam kondisi reversal pengadaan strategik diharapkan mendorong kegiatan efisiensi pengelolaan anggaran untuk mencapai tujuan pengadaan serta target pencapaian daerah yang direncanakan. Seorang CEO (kepala daerah) berusaha mendorong pengadaan barang/jasa seefisien mungkin untuk mendapatkan barang/ jasa dengan kualitas tinggi dan harga kompetitif atau di bawah harga pasar.

Pengadaan dilakukan untuk mendapatkan penyedia yang kompeten, bukan penyedia yang hanya memiliki dokumen pengadaan tetapi tidak memiliki peralatan, SDM maupun sistem pendukung dan pelayanan purna jual yang baik. Pengadaan yang dilakukan dengan strategik , menggunakan alat bantu elektronik serta mengikuti prinsip pengadaan dan penerapan GCG (Good Corporate Governance) yang kredibel diharapkan mampu menekan biaya suatu korporasi sehingga dapat menghasilkan laba tambahan. Laba tambahan yang menghasilkan deviden berupa kepuasan dan peningkatan kesejateraan rakyat juga para pelaksana secara halal, menjadikan para kepala daerah (CEO) yang berorientasi entrepreneur, pribadi-pribadi yang didoakan dan akan dipilih kembali tanpa perlu biaya kampanye yang besar. []

 

*Penulis adalah  Ketua I Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI)