Implementasi CSR Perlu Berkelanjutan

Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) jangan dipandang sebelah mata. Kegiatan ini dapat dikembangkan sebagai  strategi  perusahaan agar tetap eksis di tengah masyarakat. Implementasi dari program tersebut menjadi tanggungjawab moral menciptakan pembangunan berkelanjutan.

Corporate Social Responsibility (CSR) bukan semata charity perusahaan yang hanya sebatas sporadis pada momentum tertentu. Sebut saja perayaan ulang tahun perusahaan atau hari-hari besar nasional yang biasanya dilakukan corporate sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat.

Boleh jadi masih ada persepsi salah dalam memahami kegiatan CSR. Masih ada yang menilai kegiatan itu hanya philanthropy atau  charity yang hanya memberi bantuan kepada masyarakat. Walapun bantuan yang diberikan belum tentu mampu mengatasi persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan di masyarakat. Bantuan tersebut bersifat sporadis. Misalnya perusahaan menyumbang sembako bagi korban gempa bumi atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Tapi paska musibah, masyarakat dihadapi pada persoalan baru. Lahan pertanian yang rusak, misalnya, atau kesempatan kerja yang hilang —  ternyata tak disentuh para dermawan itu. Kondisi  ini menyebabkan persoalan-persolaan sosial makin pelik. Sudahkah perusahaan menjalankan kegiatan CSR dalam pendekatan sustainability?

Ada tendensi menunjukkan bahwa kegiatan CSR hanya sebagai “lip service” untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Sasaran kegiatan tersebut hanya untuk kepentingan sesaat institusi bisnis!

Patrick Murphy Profesor dari Universitas Notre Dame pada tulisannya “An Evolution: Corporate Social Responsiveness” di Michigan Business Review mengklasifikasikan empat era pembentukan konsep CSR. Dekade 1950-an menurutnya adalah era pertama CSR mulai dikenal. Murphy menyebut dekade ini sebagai era filantropik sebab ketika itu perusahaan-perusahaan sedang gencar-gencarnya mengumbar bantuan sosial (charity). Era kedua menurut Murphy adalah periode 1953–1967 yang ia juluki sebagai era kesadaran (awareness). Pada era ini perusahaan sudah mulai menyadari tanggung jawab bisnis perusahaan dan perannya bagi lingkungan serta masyarakat sekitar. Sedangkan periode 1968–1973 sebagai era ketiga, ia menyebutnya sebagai era isu (issue). Ketika itu perusahaan telah mulai fokus pada isu-isu spesifik seperti kerusakan kota (urban decay), diskrimininasi rasial, dan masalah polusi. Era terakhir, era responsif (responsiveness) berlangsung pada 1974–1978 dan berlanjut sampai kini. Pada era ini perusahaan mulai mengambil langkah serius terkait CSR melalui pelibatan manajemen dan organisasi perusahaan. Tindakan ini meliputi pengubahan susunan dewan direksi, meninjau kembali etika perusahaan, dan pengungkapan kinerja sosial perusahaan, sebagaimana dikuti dari artikel berjudul: Mengenal Charity sebagai Bagian dari Program CSR Perusahaan, yang dikutip dari lngtvnews.com.

Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) beragam. John Elkongton dalam bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line  of Twentieth Century Business (1997) menyebutkan CSR adalah aktivitas yang mengejar triple bottom line  yang terdiri dari 3 P. Selain mengejar profit untuk kepentingan shareholders, perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders, yaini terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) serta berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Dan semuanya dilakukan demi terciptanya subtainable development (pembangunan berkelanjutan), (lihat Buku Investasi Sosial, dalam artikel CSR, Sebuah Keharusan, oleh Teguh Sri Pambudi, Pusat Penyuluhan Sosial/PUSPENSOS).

Kegiatan CSR dengan pendekatan 3P, foto ilustrasi: ist

Menurut  World Business Council on Sustainable Development, CSR merupakan komitmen dari dunia bisnis/perusahaan untuk berprilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan  seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.

Sedangkan, Undang-Undang N0. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur kewajiban perusahaan yang bergerak dibidang eksploitasi sumber daya alam menjalankan kegiatan CSR. Pada pasal 74 disebutkan bahwa perseroan wajib melaksanakan CSR, bila tidak, akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perusahaan yang wajib melaksanakan CSR adalah yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Perusahaan yang tidak menyentuh sama sekali dengan sumber daya alam boleh melaksanakan CSR dengan sukarela.

Sementara UU N0. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada Pasal 15 menyebutkan bahwa setiap Penanaman Modal berkewajiban untuk (a) menerapkan  tata kelola perusahaan yang baik, (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Bila dikaitkan dalam konteks penanggulangan kemiskinan yang dikaitkan dengan Millenium Development Goals (MDGs), maka kegiatan CSR semakin membudaya di  kalangan perusahaan. Program CSR  dimaksudkan sebagai upaya perusahaan berperan serta dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sehingga diharapkan terjadi keseimbangan antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya di mana perusahaan beroperasi.

Dunia usaha berperan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Kini kegiatan CSR semakin mendapat perhatian korporasi. Kegiatan ini dianggap salah satu strategi untuk meningkatkan value perusahaan. Kini korporasi tidak menganggap sebagai cost center, melainkan telah bergeser menjadi profit center. Dengan menjalankan kegiatan CSR, bukan tidak mungkin nilai saham perusahaan semakin meningkat, bila perusahaan tersebut telah go public.

Dengan demikian jangan mengharap banyak bila perusahaan tidak menjalankan kegiatan CSR, tapi mengharap banyak efek dari publisitas yang dilakukan perusahaan. Perusahaan hanya memberi bantuan sporadis – dalam momentum tertentu – seperti bantuan bencana alam. Bantuan tersebut dikemas dalam bahasa publisitas, baik dalam bentuk iklan atau pemberitaan media massa, lantas mengharap banyak efek dari publisitas tersebut.

Bila perusahaan ingin reputasinya baik dalam menjalankan kegiatan CSR, maka jalankan kegiatan CSR berdasarkan-kaedah-kaedah yang universal. John Elkongton dalam bukunya  Cannibals  with Forks, the  Triple Bottom Line of  Twentieth Century Business (1997) menyebutkan bahwa CSR adalah aktivitas  yang mengejar  triple bottom line yang terdiri dari 3P (profit, people and planet). Semua ini dilakukan demi terciptanya sustainable development.

Bila konsep ini dijalankan perusahaan secara baik dan benar, barulah langkah berikutnya mengkomunikasikan reputasi tersebut. Reputasi yang bagus jika tidak dikomunikasi, maka masyarakat tidak mengetahui reputasi kegiatan CSR suatu perusahaan, misalnya. Membangun reputasi tidak semudah “membalik telapak tangan”, begitu dikehendaki langsung terealisasi.. Perlu waktu cukup lama dalam membangun reputasi.

Artinya citra perusahaan dibangun atas dasar reputasi. Keberhasilan menjalankan kegiatan CSR, umpamanya, dapat dijadikan bahan komunikasi dalam membangun citra perusahaan. Sebab, citra perusahan tidak dapat “disulap”. Dia terproyeksi berdasarkan reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun.

Jika reputasi CSR telah terbentuk, kini tugas public relations menjalankan kegiatan komunikasi untuk membangun citra perusahaan.. Menurut Soemirat dan Ardianto (2004), efek kognitif  dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan prilaku tertentu, tetapi cendrung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan. Public Relation digambarkan sebagai input-output. Dalam model ini proses intern adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atas prilaku tertentu, ( lihat buku Dasar-Dasar Public Relations, oleh Elvirano Ardianto dan Soleh Sumirat, penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung).

Artinya pembentukan citra perusahaan di masyarakat berdasarkan informasi dan pengetahuan yang mereka miliki.. Informasi-informasi yang dikomunikasi ke masyarakat berdasarkan fakta dari reputasi perusahaan. Proses komunikasi  yang dilakukan secara intens, akhirnya membentuk citra positif perusahaan.

Bila persepsi demikian yang terbentuk di masyarakat, maka citra perusahaan akan menghasilkan profit. Bukan tidak mungkin nilai saham perusahaan (bila sudah go public) dapat meningkat, sehingga semua pihak diuntungkan dari menjalankan kegiatan CSR yang intens dan sesuai dengan kaedah sustainable development. [] Yuniman T Nurdin/foto ilustrasi: dok. botanicalpaperworks.com