Over Proteksi Hadapi Virus Corona

Oleh Yuniman Taqwa Nurdin

Sampai dengan 1 Maret lalu, tak kurang 2.977 orang meninggal akibat virus corona atau COVID-19. Angka itu berdasarkan  data dari Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE. Hingga hari ini (1 Maret 2020)  virus itu telah menyebar di 63 negara dengan jumlah kasus global mencapai 86.584. Korban virus corona di China sebanyak 79.822 kasus, menyusul  Korea Selatan terus bertambah dengan jumlah kasus corona sebanyak 3.150 dan di Italia mencapai ribuan kasus yakni 1.128 dan negara-negara lain di dunia.

Bahkan, Indonesia menurut keterangan Presiden Joko Widodo, pada 2 Maret lalu, dinyatakan 2 WNI dinyatakan positif terkena virus COVID-19. Kedua orang WNI tersebut dirawat Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara. Boleh jadi itulah “gelombang awal” menyeret warga bangsa panik. Ada semacam syndrom yang berlari menguber warga untuk menghindari dari virus yang saat ini sedang viral di mayapada.

Kepanikan merupakan gejala psikologis akibat stimulus yang diterima otak tidak sesuai ekspektasi. Timbul rasa takut yang mendalam, sehingga apapun “topeng” yang mampu melindungi diri digunakan untuk mengihindari ancaman. Paling tidak, hal itu yang terjadi belakangan ini.

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan 2 WNI dinyatakan positif terkenal virus Covid 19, langsung  muncul panic buying akibat dampak virus itu. Sejumlah barang yang menjadi incaran pun diborong masyarakat, seperti  masker, hand sanitizer, beras,  mie instan, minyak goreng, hingga makanan kaleng. Seakan benda-benda itu “obat cespleng” untuk menghindar dari virus covid 19.

Sementara sebagian masyarakat meraih untung besar dari kepanikan itu. Harga masker, misalnya, membumbung tinggi sampai 700%. Satu pihak merasa diuntungkan akibat fenomena itu, dipihak lain akan berimplikasi jauh lebih luas yang justru lebih banyak membuahkan kemudharatan bagi masyarakat.

Bukan tidak mungkin kepanikan yang terjadi di masyarakat merupakan agenda setting yang sengaja diciptakan oleh “oknum-oknum” untuk mendapatkan keuntungan. Apalagi sebelumnya informasi tentang langkahnya barang-barang konsumsi dan banyak toko-toko yang tutup di Wuhan, Tiongkok, sebagai pusat penyebaran virus Corona telah menyebar luas di dunia, termasuk di Indonesia. Wuhan menjadi kota mati, sejak merebaknya virus tersebut.

Informasi itu menjadi frame of reference bagi masyarakat Indonesia. Tak pelak, ketika virus itu akhirnya sampai ke negeri ini, maka frame of reference itu menjadi acuan untuk mengambil tindakan. Dalam kondisi panik, rasionalitas kehilangan tuahnya. Ia menjadi tumpul! Tak mampu mendudukkan persoalan dalam perspektif holistik.

Dalam kondisi itu, peradaban umat mengalami degredasi, terjun bebas ke titik nadir. Itulah duniawi. Bila persoalan itu dilihat dari egoisme naluri primitif, maka ia kehilangan “batas-batas” toleransi dalam menilai informasi. Akhirnya banyak terjadi disinformasi yang justru membuat egoisme yang mengendalikan tindakan, Termasuk panic buying yang saat ini dipertontonkan di hadapan kita.

Hanya sebatas itu? Tidak! Naluri sosial seakan terkubur dalam kehidupan kolektif dalam masyarakat.. Ketika identitas korban virus Corona bocor di masyarakat, spontan kepanikan makin menjadi.

Bahkan, alamat tempat tinggal kedua pasien tersebut secara lengkap pun bocor ke masyarakat. Rumah mereka kemudian langsung disambangi awak media. Kini kediaman dua warga Depok itu juga sudah dipasang garis polisi.

Seorang dari kedua pasien, berbicara melalui sejumlah orang terdekatnya, mengaku mulai tertekan atas arus deras informasi yang menyebut profil mereka, bahkan  di media sosial tersebar foto-foto mereka. Warga di kompleks perumahan itu juga mulai terdampak. Mereka gerah karena permukiman mereka menjadi kerap didatangi wartawan untuk reportase. Sehingga muncul kesan seolah menjadi tempat yang harus dijauhi. Apalagi sampai dipasangi garis polisi, sebagaimana dikutip dari vivanews.com, 5/3.

Apa yang salah dari kedua pasien positif terkena virus Corona? Tapi sekonyong-konyong  “palu vonis” telah menghukumnya. Rumah tempat tinggalnya  dipasang police line, seakan-akan di situ bersarang  penjahat yang dapat meresahkan masyarakat.  Bukan tidak mungkin, bila kedua korban virus corona tersebut dinyatakan sembuh dan kembali  ke masyarakat, maka ia akan dikucilkan oleh lingkungan.

Padahal Kode Etik Kedokteran, penyebutan identitas pasien  dengan inisial saja, tanpa menyebut keterangan alamat lengkap dan latar belakang pekerjaannya. Sama halnya dengan  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Diatur dalam Pasal 17 huruf h undang-undang itu, informasi pribadi dikecualikan bila berkaitan dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang.  Undang-undang tersebut pun jelas mengatur  tentang pengecualian informasi yang harus dirahasiakan.

Kenapa pembocoran rahasia pasien korban virus Corona itu sampai terjadi?  Itulah kepanikan…! Kondisi itu “membutakan akal sehat”,  mengkesampingkan toleransi dan mengutamakan perlindungan diri, walau faktanya  belum teruji kebenarannya.

Kembali ke fenomena panic buying. Bila  tidak dihentikan, bukan tidak mungkin laju inflasi bergerak naik. Padahal lima tahun terakhir ini, inflasi kita terjaga di kisaran 3 persen. Bila inflasi bergerak naik, bukan tidak mungkin angka kemiskinan kembali meningkat. Padahal saat ini angka kemiskinan trennya terus menurun. Kini berada di kisaran 9,22 persen.

Itu sebabnya tindakan tegas terhadap pedagang-pedagang yang menimbun barang – untuk menciptakan kelangkahan supply di pasar –  mendorong harga begerak naik, merupakan “kejahatan kemanusiaan” yang harus dicegah. Mereka telah kehilangan nilai luhur ideologi. Pancasila jauh panggang dari api. Entah ideologi apa yang hinggap pada dirinya, sehingga egoisme menjadi gula-gula yang diperebutkan.

Proteksi diri menjadi  kedigdayaan dalam masyarakat yang intoleransi. Apakah kita ada di situ?

 

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com