Industri Baterai Efisien, Tekan Biaya PLTS

Pengadaan energy storage (baterai) bagi pengembangan PLTS menjadi tantangan mempercepat program pemanfaatan energi berbasis surya. Kehadiran industri baterai yang efisien dapat menekan biaya PLTS

Salah satu satu kendala pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah masih tingginya investasi di linis bisnis ini. Selain memerlukan lahan yang luas untuk memasang panel surya, juga memerlukan instrument penunjang untuk bisa dioptimalkan pemanfaatasan PLTS, yaitu Energy storage System (ESS). Pasalnya, tanpa energy storage , maka energi yang dihasilkan PLTS hanya dapat dinikmati pada siang hari.

Hal ini disebabkan karena beban puncak konsumsi listrik di Indonesia justru terjadi pada malam hari, sehingga antara produksi PLTS dengan beban puncak konsumsi listrik di Indonesia bertolak belakangan. Fenomena ini yang menyebabkan diperlukan energy storage agar PLTS dapat memberikan kontribusinya pada malam hari.

Sementara keandalan dan kualitas layanan sistim pasokan energi listrik akan makin meningkat bila didalamnya telah terintegrasi sebuah ESS. Era ESS yaitu memproduksi dan memanfaatkan baterai skala besar yang cerdas telah ada dihadapan kita sekarang, ini juga akan menjadi akselerator pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.

Energy Storage (baterai) yang efisien mampu menekan biaya PLTS/foto: ist

Pengembangan energi baru terbarukan dari sumber energy intermittent (  surya dan angin ), misalnya, masih terkendala  atas pengadaan  energy storage  (baterai). Meski harga ESS ini terus turun, namun pengadaan instrument itu masih memerlukan biaya besar, sehingga akselerasi pengembangan energi terbarukan itu kurang secepat dibandingkan pengembangan energi berbasis fosil.

Padahal di luar negeri pemanfaatan energy storage berkembang pesat. Di Abu Dhabi, misalnya,  kini memiliki penyimpanan daya baterai terbesar di dunia dengan kapasitas 108 MW/648 MWh. Dilansir dari Clean Technica pada Februari lalu, kapasitas ini lima kali lebih besar dibandingkan dengan baterai Hornsdale yang dipasang di Australia oleh Tesla satu tahun lalu.

Ada satu perbedaan penting lainnya antara  baterai di Australia dan baterai di Abu Dhabi. Unit di Australia menggunakan sel baterai lithium-ion, sedangkan baterai di Abu Dhabi menggunakan sel baterai sodium sulfur.

Dibandingkan dengan baterai lithium-ion, baterai sodium sulfur biasanya memiliki masa pakai yang jauh lebih lama. Biasanya 15 tahun atau 4.500 siklus pengisian. Efisiensinya sekitar 85 persen. Keuntungan lainnya adalah baterai sodium sulfur tidak menggunakan lithium atau kobalt, dua elemen yang pasokannya relatif sedikit. Sebagai gantinya mereka menggunakan natrium dan belerang, keduanya berlimpah di alam dan berbiaya tidak mahal, sebagaimana dikutip dari tek.id.

Kini Australia Selatan ingin membangun pembangkit listrik virtual 250MW. Pabrik ini akan terdiri dari ribuan panel surya dan baterai yang menjalankan perangkat lunak yang memutuskan kapan baterai diisi dan dibuang untuk memaksimalkan efisiensi dan nilai ke jaringan. Pembangunan akan dimulai dengan 1.100 properti perumahan umum. Warga mendaftar jika mereka tertarik pada program ini, dan seorang kontraktor Tesla akan datang ke rumah tersebut dan mencoba untuk memasang solusi penyimpanan surya dan baterai ke rumah tersebut.

Namun demikian, ke depan akselerasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia akan terus meningkat. Apalagi pengembangan teknologi energy storage dalam skala besar mulai bermunculan di Indonesia. Juli lalu, umpamanya, Baran Energy meluncurkan meluncurkan teknologi baterai penyimpanan energi listrik berukuran skala besar untuk rumah, perkantoran hingga industri.

Victor Wirawan founder Baran Energy mengatakan, Baran Energy tengah mengembangkan produk berupa Baran PowerWall berkapasitas 8800 Watt-hour (Wh) yang bisa digunakan untuk rumah dengan daya 1300 W hingga 10.000 W, kantor, serta industri kecil. Selain itu, ada juga Baran PowerPack dengan kapasitas penyimpanan sebesar 126 Kilowatt-hours (kWh). Perangkat ini bisa digunakan untuk rumah berukuran besar yang memakai daya sekitar 10 kW – 60 kW, serta industri skala menengah.

Adapun perangkat paling besar adalah Baran PowerCube berkapasitas penyimpanan 1,2 Megawatt hours (MWh). Perangkat ini bisa digunakan untuk kawasan industri, pabrik, dan perkebunan, real estate, dan pertambangan. “Garansi untuk ketiga produk ini selama 10 tahun,” kata Victor, sebagaimana dikutip dari kompas.com.

Teknologi ini diyakini akan mampu mengubah peta industri energi di Indonesia. Bahkan diperkirakan, penggunaan teknologi baterai penyimpanan energi skala besar di Indonesia akan massif, menyusul tren di sejumlah negara maju yang telah lebih dahulu mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ini.

Menurut Victor, dengan teknologi revolusioner ini, masyarakat dimungkinkan untuk tidak perlu membayar listrik lagi. Karena baterai ini dapat menyimpan energi listrik yang dihasilkan solar panel pada siang hari untuk digunakan di malam harinya

“Sudah waktunya Indonesia secara nyata dan dengan dukungan yang tepat, memberikan ruang kepada energi terbarukan untuk dapat berkembang. Di berbagai negara, hal ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian insentif dan ‘subsidi’ bagi energi terbarukan,” katanya.

Victor menyampaikan, keinginan membuat baterai sudah cukup lama, tapi baru terealiasi belakangan ini . Sebab,  bukan perkara mudah membuat baterai tersebut. Selain memerlukan  kegiatan  research and development , juga memakan waktu. Selain itu, biaya produksinya juga cukup besar. “Namun demikian, masyarakat luas masih bisa menggunakan alat tersebut, sebab kami telah menyediakan program Rp 1,” sambung Victor.

Menurut Victor, pihaknya mencoba melakukan inovasi model kepemilikan, supaya teknologi ini menjadi terjangkau. Sehingga, lebih banyak lagi orang yang bisa berpindah ke energi terbarukan. Program ini, diharapkan dapat membantu percepatan peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.”Visi kami adalah mendorong penggunaan energi terbarukan dan mobilitas elektrik di Indonesia, namun menyediakan teknologinya saja tidaklah cukup,” jelas Victor.

Tidak hanya itu, Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T), sebagai salah satu unit litbang di bawah Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, menghadirkan solusi inovasi produk penyimpan energi listrik (powerhouse) yang diberi nama B4TPowerHouse.

“Produk ini fungsi untuk menyimpan daya seperti powerbank, namun dengan kapasitas penyimpanan yang jauh lebih besar. Inovasi ini memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan energi listrik yang praktis dan siap digunakan kapan saja dan di mana saja, terutama pada kondisi darurat,” kata Kepala BPPI Kemenperin, Ngakan Timur Antara di Jakarta, Minggu (18/8).

B4TPowerHouse mempunyai kapasitas 20.000 milli Ampere per Hou (mAh) dan dapat ditingkatkan sesuai dengan pesanan. Masukan untuk pengisian adalah 12 -17 Voltage Direct Current (VDC) atau arus searah dan dapat dilakukan dari adaptor PLN maupun dari sumber energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sedangkan keluarnya dapat berupa arus searah bertegangan 5   Voltage Alternating Current atau Arus bolak-balik bertegangan 220 (VAC).

“B4TPowerHouse dapat dibawa ke mana-mana karena desainnya seperti tas koper kecil yang praktis dan ringan sekitar 2 kilogram, serta tahan hujan,” ungkap Kepala B4T Budi Susanto. Inovasi ini merupakan salah satu dari upaya B4T dalam pengembangan teknologi yang berbasiskan baterai ion lithium.

Namun demikian, tambah Roestomo, harga bateri sebagai energy storage di nilai masih mahal. Harga panel bateri untuk 1 MW bisa mencapai US$ 1 juta. Jadi bila ingin membangun PLTS plus baterai bisa menelan biaya US$ 2 juta per 1 MW. “Baterai itu tetap memerlukan biaya  maintenance,” katanya serius.

Akan tetapi, penelitian dan pengembangan ini energy baru dan terbarukan akan memanfaatkan sumber daya mineral lokal Indonesia yang kaya, dan dibangun oleh para peneliti Indonesia yang tangguh. Selain itu, inovasi ini merupakan prioritas riset nasional dan sejalan dengan kebijakan pemerintah, yaitu Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) serta Making Indonesia 4.0 untuk sektor prioritas seperti industri otomotif dan elektronika.

Nah, melihat kompetensi yang dimiliki anak negeri atas pengembangan sektor hilir energi, yaitu baterai, maka arah pengembangan distribusi listrik di Indonesia ke depan akan lebih efisien lagi. Boleh jadi tidak diperlukan lagi pembangunan jaringan transmisi listrik dari sumber-sumber energi ke masyarakat pengguna.

Cukup dengan menggunakan baterai – sebagai energy storage – penggunaan listrik akan dapat menikmati listrik tanpa harus terkoneksi dengan jaringan distribusi PLN, misalnya. Era itu kini  sudah berada di depan kita.

Baterai dapat didaur ulang dan digunakan kembali,foto: ist

 

Namun demikian, persoalan yang muncul adalah limbah B3 (Bahan  Berbahaya dan Beracun)  dari beterai PLTS. Limbah tersebut bisa mencemari lingkungan dan berbahaya bagi manusia bila tidak dikelola dengan baik.

Sampah baterai sesungguhnya termasuk sebagai sampah B3 (Bahan Berbahaya & Beracun), karena di dalamnya mengandung berbagai logam berat, seperti merkuri, mangan, timbal, kadmium, nikel dan lithium, yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan kita.

Walaupun masalah ini dapat diselesaikan de recycling baterai atau penggunaan kembali atas baterai-baterai itu. “Namanya baterai selalu menjadi momok bagi mobil listrik. Yang karena berat baterainya, mahal, umurnya terbatas dan limbah buangannya merusak lingkungan, ini diselesaikan dengan penyelesaian recycling baterai atau penggunaan kembali atas baterai-baterai itu. Oleh karenanya saya anjurkan kepada Fakultas Teknik UGM fokus untuk lakukan itu,” pinta Menhub usai meninjau kendaaraan listrik hasil karya Mahasiswa UGM, di Yogyakarta, pada 21/9.

Sebelumnya, Fakultas Teknik UGM berhasil melakukan dismantling atau membuka baterai untuk mengambil isi baterai secara aman dan kemudian berhasil memurnikan kembali lithium ini hingga mencapai tingkat kemurnian 99 persen. Dengan begitu artinya sudah bisa digunakan kembali untuk pembuatan baterai lithium yang baru.

Keberhasilan anak-anak Fakultas Teknik UGM tersebut menjadi pengharapan bagi kita bahwa baterai-baterai PLTS  dapat didaur ulang, sehingga bisa digunakan kembali menjadi baterai. Persoalannya adalah proses daur ulang tersebut harus benar-benar terjaga keamanan dan jangan sampai terjadi pencemaran lingkungan yang berimplikasi pada habitan di sekitarnya. [] Yuniman Taqwa/foto: ist