Tren Cross Border Perlu Didukung Regulasi

Perdagangan lintas negara (cross border melalui e-commerce) tak dapat dibendung karena kemajuan teknologi. Mungkin yang dapat dilakukan adalah membuat regulasi supaya aturan mainnya jelas dan tak merugikan suatu bangsa. Bagaimana tren cross border di Indonesia belakangan ini?

Cross border e-commerce menjadi tren baru perdagangan online (Foto: pelakubisnis.com)

Dunia bagaikan global village tampaknya tak terbantahkan. Teknologi digital dengan instrumen cyber (internet) merubah jarak yang kini berada di depan .tatapan mata. Dari tangan anda, semua aktivitas dapat dijalankan. Termasuk kegiatan  ekspor impor!

Data Statista yang dikutip dari katadata.co.id, menunjukkan, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Indonesia berada di peringkat kelima dengan pengguna internet sebanyak 143,26  juta per Maret 2019. Angka tersebut memiliki selisih tipis sebesar 5,8 juta dengan Brazil yang memiliki pengguna internet sebanyak 149,06 juta.

Peringkat teratas berada di Tiongkok dengan jumlah pengguna internet sebanyak 829 juta. Peringkat kedua memiliki selisih yang cukup jauh dengan Tiongkok hingga 269 juta, yaitu India dengan pengguna internet sebanyak 560 juta. Amerika Serikat (AS) menyusul dengan pengguna internet sebanyak 292,89 juta.

Menurut Merchant Machine, sebuah Lembaga riset asal Inggris, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di dunia (tumbuh sebesar 78% pada tahun 2018). Laporan e-conomy SEA 2019 yang dikeluarkan Google dan Temasek juga menyebutkan bahwa jumlah sesi penggunaan aplikasi e-commerce melonjak dari 8 juta pada semester pertama 2016 menjadi hampir 30 juta pada periode yang sama tiga tahun kemudian. Mengutip Katadata.id, penjualan e-commerce ritel di Indonesia akan tumbuh sebesar 133,5% menjadi US$ 16,5 miliar atau sekitar Rp 219 triliun pada 2022.

Berdasarkan  data Hootsuite we are social pada Januari 2019 menunjukkan  setidaknya ada 107 juta orang Indonesia yang melakukan  pembelian barang konsumsi melalui e-commerce dengan total nilai transaksi tahunan sebesar  lebih US$ 9,5 miliar atau setara dengan Rp133 Triliun. Melihat besarnya potensi  pasar online,  tidak sedikit pelaku bisnis konvensional  (offline) yang tertarik  memasuki pasar online. Dalam perpindahan tersebut,  banyak yang berhasil,  namun tidak sedikit yang berakhir gagal.

Pemasaran digital di Indonesia tidak terlepas dari tingginya penggunaan internet dan media sosial di Indonesia. Berdasarkan data Hootsuite We Are Social tahun 2019, rata-rata orang Indonesia mengakses internet untuk berbagai kepentingan selama 8 jam 36 detik setiap harinya, jauh melampaui rata-rata global yaitu 6 jam 42 menit.

Penggunaan media sosial di Indonesia menduduki peringkat tertinggi kelima dunia, dengan waktu penggunaan media sosial selama 3 jam 26 menit setiap harinya dimana YouTube, Whatsapp, Facebook, dan Instagram merupakan platform media sosial yang paling banyak diakses oleh pengguna internet di Indonesia.

Maraknya pengguna internet di Indonesia belakangan ini, memunculkan tren baru dalam perdagangan aplikasi belanja online lintas negara (cross-border e-commerce). Satu tahun terakhir ini  cross border e-commerce mulai marak di Indonesia. Meskipun masih tumbuh sangat kecil, akan tetapi pemerintah mengkhawatirkan gempuran produk-produk asing yang trennya terus mengalami peningkatan.

Cross border e-commerce dikatakan menjadi tren baru perdagangan online tahun 2019 dimana konsumen lokal dapat berbelanja produk-produk asing yang tidak secara langsung dipasarkan di dalam negeri. Begitu pun dengan konsumen dari negara lain yang bisa berbelanja produk di Indonesia, tanpa harus mengunjunginya.

Konsultan teknologi dan bisnis Accenture menyatakan, pada tahun 2020, lebih dari dua miliar e-shoppers akan bertransaksi secara cross border. Kontribusinya mencapai 13,5% dari keseluruhan konsumsi ritel online global dengan nilai pasar mencapai US$ 3,4 Triliun.

Berdasarkan data Asia Pasifik akan mengalami pertumbuhan terbesar dibandingkan dengan pasar wilayah lain, seperti Amerika atau Timur Tengah. Pasalnya, jika dilihat pada tahun 2014, pembelian barang secara online dari lintas wilayah di Asia Pasifik (B2C cross border e-commerce) hanya sebesar 12%. Namun, pada tahun 2020, persentasenya diprediksi meningkat menjadi 31%, sebagaimana dikutip dari akutuku.com.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengatakan, pemerintah tidak mau sampai kebobolan dengan arus produk-produk  luar negeri. Catatannya, perkembangan cross-border e-commerce telah mencapai 5% dari seluruh transaksi e-commerce, sebagaimana dikutip dari jawapos.com.

Google memprediksi ekonomi digital, terutama e-commerce di Asia Tenggara diprediksi akan terus tumbuh. Beberapa negara yang menjadi sorotan di kawasan ini adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Sumber :Ekonomi digital di Asia Tenggara (Google, Temasek, Bain & Company)

Laporan e-Conomy SEA 2019 mengungkapkan rata-rata pertumbuhan ekonomi digital berada di kisaran 20-30% sejak 2015. Negara-negara di Kawasan Asia Tenggara mampu bertahan di tengah persaingan global. Indonesia dan Vietnam menjadi dua negara dengan nilai perekonomian digital terbesar. Meskipun negara lainnya mengikuti, namun juga menunjukkan performa yang kuat.

Nilai transaksi e-commerce Indonesia sampai Oktober 2019, menurut catatan katadata.co.id mencapai US$ 20 milyar. Angka ini diprediksi akan meningkat mencapai US$ 80 milyar pada tahun 2025.

Bila kita hitung berdasarkan data nilai transaksi e-commerce tersebut, maka nilai transaksi cross-border e-commerce sebesar 5% dari transaksi tersebut,  nilai mencapai US$ 1 milyar. Angka ini akan meningkat menjadi  US$ 4 milyar pada 2025.

Itu pun dengan catatan bila nilai transaksi cross border tetap diangka 5% dari nilai transaksi e-commerce di Indonesia.

Menurut Tjahya, angka tersebut harus terus dijaga agar tidak terus mengalami peningkatan. Apalagi, pertumbuhan cross-border e-commerce saat ini masih sulit untuk dikontrol oleh pemerintah. Pihaknya tengah membahas aturan teknis yang mengatur permasalahan tersebut.

Ia memahami, aktivitas cross-border e-commerce memang legal di Indonesia. Tetapi, pihaknya ingin transaksi ekspor dan impornya tetap mengikuti aturan yang berlaku dari pemerintah. Nantinya, entah ada peraturan skema perpajakan atau skema bea masuk ke Indonesia. “Nah, barusan kami berdiskusi untuk itu. Supaya nanti level playing field-nya dengan produk dalam negeri itu terjadi,” terangnya.

Belakangan ini pemerintah tengah menyiapkan skema aturan  mengontrol praktik perdagangan  cross border melalui sistem perdagangan elektronik (e-commerce). Langkah tersebut diambil agar barang-barang impor tidak membanjiri pasar dalam negeri lewat e-commerce.

Sementara Menko Perekonomian Darmin Nasution pada Juli 2019 lalu mengatakan, jumlah impor lewat e-commerce memang porsinya masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan impor konvensional. Akan tetapi, ada tren kenaikan dari impor lewat e-commerce.

Pemerintah ingin memastikan impor e-commerce yang terjadi memiliki filter dan mekanisme yang jelas. Menurut Darmin ada beragam pola transaksi impor lewat e-commerce.

Asosiasi E-Commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association/idEA) menyanggupi membuka data transaksi perdagangan cross border e-commerce. Permintaan pemerintah yang hingga saat ini belum memiliki data yang jelas terhadap transaksi perdagangan e-commerce. Ketua umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, anggota idEA siap mendukung keinginan pemerintah. Namun, pemerintah dituntut dapat menjamin kerahasiaan data tersebut, sebagaimana dikutip dari iNews.id.

 Ada pelaku usaha yang mengimpor secara khusus barang-barang tertentu. Ada pula pelaku usaha yang sebenarnya mengambil barang dari market dalam negeri, tetapi barangnya adalah barang impor, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id.

Sementara penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa, dimana pengguna internet sebanyak 143,26 juta per Maret 2019. Data ini menjukkan Indonesia merupakan pasar potensial yang banyak dilirik marketplace-marketplace mancanegara. Tapi pertanyaannya, apakah mampu produk-produk kita mampu menembus pasar luar negeri melalui e-commerce?

Menurut Head of Public Policy & Government Relations Bukalapak, Event Alex Chandra, dari Bukalapak sendiri,  berfokus pada upaya pengembangan ekspor nasional, yang baru saja kesepakatannya ditandatangani  dalam Perjanjian Kerjasama antara Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional dengan Bukalapak. “Perjanjian tersebut berisi komitmen kedua belah pihak untuk mendukung 1000 pelaku UKM dalam meningkatkan skala usaha dan produk serta memanfaatkan e-commerce untuk memasarkan produknya lebih efisien dengan jangkauan global,” katanya kepada pelakubisnsis.com

Bukalapak telah meluncurkan BukaGlobal pada Mei 2019 serentak di 5 negara. Hal ini memang ditujukan untuk menjawab tantangan pelaku usaha UKM saat ini, terutama dalam mendapatkan akses pasar dan infrastruktur yang dapat diandalkan. Dengan kerjasama yang terjalin antara Bukalapak dan Kemendag, kami optimis fitur BukaGlobal akan semakin optimal dalam mendorong potensi pelaku UKM tanah air.[] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa