Jacky Mussry: Industri Kosmetik Kian Menggeliat

Deputy Chairman MarkPlus Inc (Foto: markplusconference.com)

Pertumbuhan industri kosmetik pada 2019 mencapai 9%. Diperkirakan pertumbuhan tahun ini bisa mencapai dua digit. Apa yang menjadi pemicu bertumbuhnya industri kosmetik  dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?

Deputy  Chairman MarkPlus Inc, Jacky Mussry, melihat  pasar ekspor kosmetik  meningkat dan demand domestik pun turut terdongkrak. Hal ini menjadi pemicunya. “Kalau bicara populasi, kontribusi pertumbuhan domestic consumption sangat besar. Sekarang bicara populasi perempuan di negara ini  cukup besar sekitar 130-an juta jiwa. Mayoritas mereka sudah punya uang sendiri dan sudah membuat kebijakan sendiri dalam berbelanja,” Jacky kepada pelakubisnis.com menjawab mengapa pertumbuhan industri kosmetik yang  terus bergerak naik.

Jacky menambahkan, secara umum income masyarakat di Indonesia bergerak naik, diikuti  consumer spending yang ikut meningkat. Apalagi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5%.  Fenomena itu secara makro  bagus, meski belakangan ini muncul  wabah virus corona.

“Pelaku bisnis di industri kecantikan mulai mengubah point of view, dimana menyebut beauty menjadi beYouthy. Secara makro bagus momentum buat industri kosmetik,” katanya. Hal ini menekankan pada harapan konsumen untuk men-develop produk, brand dan engagement dengan konsumen.

Itulah faktanya saat ini. Pasarnya segmen yang paling bawah, menurut Jacky sudah punya spending lebih  ke hal-hal yang bersifat emotional seperti ke kosmetik, lifestyle dan sebagainya. Kalau mereka membuat sesuatu dan kena ke  segmen menengah bawah ini, maka itu semacam affordable luxury baginya.

“Dari lifecycle-nya saya melihat ini lebih ke tren konsumsi kok. Buktinya, saham Unilever Indonesia Tbk juga naik. Saham-saham perusahaan kosmetik ada kecenderungan naik. Untuk Luxury Cosmetics juga mulai kelihatan peningkatannya. Dalam lima tahun terakhir ada peningkatan. Saya pernah analisa itu. Produk-produk seperti Kolagen yang berbasis alam juga meningkat,” katanya serius.

Orang akan tetap membeli produk kecantikan. Itu sebabnya, di 2020 pertumbuhan industri kecantikan akan terus naik. Untuk segmen menengah bawah, kita bisa optimis. Sepertinya tidak terpengaruh dengan kondisi ekonomi makro, selama harganya terjangkau. “Yang menjadi tren bukan pricing yang murah tapi justru sebaliknya, mereka sekarang ada uang dan semakin kritis. Apa yang dibeli adalah produk luxury yang affordable,” tambahnya.

Lebih lanjut ditambahkan, orang jaman now kayanya sudah semakin paham dengan kualitas produk. Harga murah belum tentu kualitasnya bagus. Itu sudah tertanam di benak wanita. Mereka lebih berhati-hati dalam memilih kosmetik.

Tiap produk, kata Jacky, mempunyai segmen masing-masing. Tapi yang  leading, memang mereka yang punya kualitas produk bagus. Namun tidak menutup mata  untuk brand-brand multinasional yang pemain lama di Indonesia seperti L’oreal. “Saya tak berani sebut nama perusahaannya. Yang jelas, secara over all pemain lokal semestinya ambil momentum karena pasar sangat besar,” katanya serius.

Jacky melihat masing-masing pemain yang ingin masuk ke lini kosmetik mempunyai kalkulasi tersendiri. Kalau membangun pabrik, artinya harus berani keluar ongkos produksi yang besar. Sementara ada opsi tanpa harus membangun pabrik, yaitu dengan cara makloon. Berarti biaya produksinya saja yang dikeluarkan. Selama bisa membangun branding yang kuat, bisa saja  sukses di pasar.

Seperti brand Sepatu Nike, apa mereka punya pabrik? Mereka tak punya pabrik! Tapi penetrasi pasarnya sampai hari ini, kata Jacky, tetap bagus dan harganya terjangkau, kualitasnya bagus, jahitannya kuat, modelnya bagus.  Nike buatan dimana saja mereka enggak peduli. Reputasinya tetap bagus.

Tapi tak hanya faktor strategi brandingnya saja. Kita mesti lihat secara komprehensif. Misalnya dilihat bagaimana model bisnisnya? Kalau diproduksi sendiri, berarti dia harus memiliki asset yang besar. Kalau  memilih cara makloon itu tujuannya biar asset tidak terlalu besar. Turn overnya bisa menutupi total asset yang ada sekarang.

Sedangkan strategi komunikasi menurut Jacky memang tetap harus melakukan above the line (ATL) dan below the line (BTL). Malah sekarang sudah ada digital online. Harus paham juga perkembangan di dunia maya. “ATL dan BTL bagus, tapi sekarang mereka sudah harus memahami anxiety dan desire dari para pengguna kosmetik itu sendiri,” katanya serius seraya menambahkan perlu mengetahui orang ngomongin apa sih tentang produk kita?  Ternyata mereka ingin produk yang berkualitas, dan di situ kita komunikasikan kehebatan produk kita.

“Saya rasa, impulse buying tidak akan terjadi di pasar kosmetik, bila mereka tidak menggunakan strategi komunikasi jitu. Konsumen di industri kosmetik masih perlu influencer. Tak segampang itu bila orang tak mengenal atau mendengar  brand kita sebelumnya,” lanjutnya.

Foto: IndonesiaPlus

Dari segmen milenial sendiri bagaimana? MarkPlus pernah meriset mereka. Ada dugaan. Kalau secara umum mereka terlihat punya karakater self centric. “Mereka ingin tampil dilihat orang. Mungkin tampil dengan sejumlah karya, atau tampil secara fisik terlihat bagus. Tapi itu baru dugaan saya,” katanya.

Jacky menambahkan, belajar dari pengalaman Wardah. Sejak awal langsung membidik consumer muslim. Tapi kita lihat sekarang, mereka  yang membidik pasar keluarga mulai mengikuti moment yang terjadi di pasar.  Di mana mereka juga ikut membuat item produk yang berhijab misalnya.

“Sepertinya mereka diuntungkan dalam pemilihan sosial budaya. Saya rasa seperti itu agar dia masuk sebagai yang pertama, momennya pas! Yang lainnya masih wait and see… tapi dia sudah di-set up dari awal konsepnya seperti itu,” tambah Jacky.

Tinggal mempertahankan positioning-nya! Tidak bisa tinggal diam, nyaman begitu. Di industri kosmetik tuh tak ada istilah statis, stagnan, tapi harus bergerak dinamis, harus sensitif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.

Kita lihat pendahulu yang tadinya tak melihat segmen muslim, sekarang mereka masuk juga membidik segmen ini.  Seperti Unilever dan P&G akhirnya mereka buat juga shampoo khusus buat wanita berhijab.

Menurut Jacky, kalau bisa di mass market jangan ambil pasar yang terlalu kecil. Seperti  PT Paragon (pemilik brand Wardah-red’) membuat second brand, sebaiknya memang begitu. Prioritasnya , menghilangkan kekuatan dari brand itu di segmen yang memang sudah kuat. Jangankan kosmetik, industri lain yang menyasar pasar massal memang  sudah kuat. Wajar menggunakan multibrand di pasar massal yang seperti ini.

Sebenarnya saat ini dibandingkan dengan pola marketing lama yang berubah adalah cara komunikasinya. Tapi kalau menggunakan trategi multibrand sampai saat ini rasanya masih ampuh dipakai. Cara komunikasinya yang agak berubah. Dengan berbagai cara dilakukan. ATL, BTL, online dan offline harus berjalan paralel. Yang susah adalah bagaimana menggunakan pendekatan mix itu dijalankan secara konsisten. “Tak bisa kita bicara di Instagram tapi di ATL/BTL nya beda. Harus konsisten agar efektif,” tambahnya.

“Menurut saya konsumen di Indonesia ini mempunyai kecenderungan mencoba produk baru. Kesannya luar negeri banget, terlihat keren, itu segmen mereka banget! Pemilik mereka harus bisa seperti itu! Yang membeli makloon itu sekarang sering mencerminkan public figure tertentu, seperti  Prilly Latuconsina, Aurel Anang Hermansyah, Valery Thomas dan lain-lain ternyata  cara itu efektif!,” urai Jacky

Jadi orang tak perlu meragukan kualitas produknya, karena yang penting brand asosiasinya bagus! Ketika customer mencoba, saat itu terbentuk brand asosiasinya. Customer itu akan bicara sendiri dan ketika cocok, dia bisa loyal terhadap satu brand tertentu karena sudah mengenal endorsernya. Influencer itu tak usah dipukul rata tapi perlu dipertimbangkan serius! Tapi tetap harus pakai pendekatan komprehensif omni yang  integrated dan konsisten.[] Siti Ruslina/Foto utama: soloevent.com