Cegah Virus Disiplin Rendah

Oleh: Yuniman T Nurdin

Jumlah masyarakat yang terkonfirmasi terkena virus Covid-19 di Indonesia angkanya terus meningkat. Sampai  9 September lalu, jumlah terkonfirmasi positif mencapai  203.342 orang. Dari angka tersebut yang sembuh mencapai 145.200 orang dan yang meninggal sebanyak 8336 jiwa. Fenomena tersebut belum mencapai titk puncak penyebaran, artinya, diprediksi angka terus akan meningkat  di waktu-waktu mendatang.

Sementara di Jakarta saat ini kondisinya berada dalam keadaan darurat. Pemprov Jakarta memutuskan menarik rem darurat dan kembali ke Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat.  Ternyata relaksasi dalam bentuk new normal yang diterapkan dalam tiga bulan terakhir ini, rupanya belum mampu membangun budaya baru. New normal mungkin dianggap sebagai sinyal untuk kembali dalam perilaku sedia kala.

Ada gagal paham masyarakat dalam menterjemahkan new normal.  Yang seharusnya disiplin menggunakan masker, jaga jarak dan mencuci tangan – dianggap protokol kesehatan “basa basi” yang tak mesti menjadi persyaratan mutlak dalam menjalankan aktivitas. Buktinya di Jakarta, misalnya, dana yang terkumpul hasil tilang masyarakat yang tidak menggunakan masker mencapai  Rp 3 milyar..

Fakta itu merupakan indikator betapa kurang disiplinnya masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Akibatnya Pemprov DKI Jakarta pun,  mulai menerapkan PSBB secara ketat pada 14 September 2020.  Warga kembali melakukan kegiatan dari rumah, bekerja dari rumah, beribadah  dari rumah dan belajar dari rumah.

Walaupun sebagian orang melihat sikap yang diambil orang nomor satu di Jakarta masih dipertanyakan. Ada apa dibalik rencana sikap pimprov DKI Jakarta tersebut? Entahlah! Kita tak perlu melebar jauh, mengkaitkan satu persoalan dengan persoalan lain. Mencari titik singgung satu persoalan dengan persoalan lain, sehingga segala keputusan bisa ditafsir ganda! Persetan dengan multi tafsir!

Itulah keputusan yang diambil Pemprov DKI Jakarta karena melihat angka terkonfirmasi covid-19 terus meningkat. Pasalnya, ada kekhawatiran rumah sakit sudah tidak  bisa menampung pasien covid-19 yang terus meningkat. Saat ini, ambang batas kapasitas rumah sakit untuk ruang isolasi, ICU sudah melampaui ambang batas aman. Diperkirakan akan mencapai ambang batas maksimal pada 17 Desember 2020. Setelah itu, fasilitas kesehatan Jakarta akan kolaps. Demikian pernyataan Anies yang dikutip dari rilis yang beredar banyak di masyarakat.

Itulah ancaman yang bukan main-main. Bila terlambat menekan laju penyebaran Covid-19, di Jakarta, misalnya, maka bukan tidak mungkin korban akan berjatuhan jauh lebih banyak lagi. Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa prioritas utama adalah kesehatan masyarakat, baru menyusul pemulihan ekonomi nasional.

Sementara vaksin Covid-19 diperkirakan baru tersedia awal Januari 2021. Vaksin Sinovac China  yang bekerjaama dengan Bio Farma rencananya menyiapkan kapasitas produksi vaksin sebanyak 250 juta dosis vaksin. Namun dari angka tersebut kabarnya Indonesia hanya mendapat kuota dari Sinovac sebanyak 30 juta dosis vaksin.

Sementara hasil lawatan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Luar negeri  Retno Marsudi  ke Unit Emirat Arab (UEA), kabarnya Indonesia akan mendapat kuota vaksin sebanyak 10 juta dosis vaksin dari Arab Saudi. Artinya kalau hitungan berdasarkan dua sumber vaksin Covid-19 (Sinovac dan Arab Saudi), maka hanya terkumpul 40 juta dosis vaksin.

Sementara  penyuntikan vaksin harus dilakukan dua kali, sehingga dari jumlah vaksin yang tersedia itu, hanya bisa meng-cover 20 juta Masyarakat Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 270 juta jiwa, berarti dibutuhkan 540 juta dosis vaksin untuk rakyat Indonesia.

Artinya bila tidak ada sumber-sumber pasokan vaksin baru, maka diperkirakan hanya 20 juta Rakyat Indonesia yang dapat diimunisasi vaksin Covid-19 pada tahun 2021. Sementara vaksin merah putih hasil dari lima institusi adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Airlangga, diperkirakan baru bisa berproduksi awal tahun 2022.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan agar Tim Percepatan Pengembangan Vaksin Covid-19 segera bekerja lebih cepat, terutama untuk pengembangan bibit vaksin merah putih di tempat bibit vaksin itu diteliti dan dikembangkan oleh institusi di dalam negeri.

”Targetnya akhir tahun ini uji pada hewan sudah bisa diselesaikan sehingga awal tahun depan, sekitar Januari. Lembaga Eijkman bisa menyerahkan bibit vaksin tersebut kepada PT Bio Farma untuk kemudian dilakukan formulasi produksi dalam rangka uji klinis, baik uji klinis tahap I, II dan III, dan setelah uji klinis itu selesai dan BPOM menyatakan bahwa vaksin ini aman untuk digunakan dan cocok untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap Covid-19, maka akan dilakukan produksi dalam jumlah massal oleh PT Biofarma juga,” ujar  Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Bambang Brodjonegoro, selaku Ketua dalam susunan Penanggung Jawab Tim Pengembangan Vaksin Covid-19, sesuai Keppres 18 Tahun 2020, 9 September lalu.

Melihat skenario seperti itu, berarti 270 juta rakyat Indonesia pada 2021 belum dapat semuanya  mempunyai kekebalan terhadap Covid-19 . Perlu  waktu lagi untuk bisa menikmati kekebalan tubuh terhadap Covid-19. Tak ada cara lain, selain  protokol kesehatan tetap menjadi terapi agar terhindari dari virus yang menjadi “momok” masyarakat dunia saat ini.

Masih rendahnya disiplin masyarakat – yang kita rasakan selama enam bulan – menyebabkan Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Justru sebaliknya, angka terus meningkat dari waktu ke waktu.

Lambatnya melakukan tes  massal  dan contact tracking, membuat  peta penyebaran Covid-19 kehilangan jejak, sehingga bukan tidak mungkin angka akumulasinya akan melambung. Boleh jadi hal ini yang menjadi salah satu penyebab kita tak bisa memetakan penyebaran virus, apa lagi dalam skala nasional, Ketidakmerataan tes massal dan contact tracking menjadi suatu persoalan tersendiri.

Tapi persoalan yang tampak jelas di depan pelupuk mata kita adalah rendahnya disiplin masyarakat. Rendahnya disiplin masyarakat,  terpaksa harus dibayar dengan harga mahal. Bila Jakarta direncanakan akan diberlakukan PSBB ketat, pastilah akan disusul dengan daerah-daerah penyanggah, seperti Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Depok yang merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang tak terputuskan dengan Jakarta. Umumnya masyarakat di wilayah  penyanggah itu  mendulang rejeki di Jakarta.

Pemberlakukan PSBB, bukan tidak mungkin akan menelan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang lebih besar lagi. Ini salah satu ancaman yang jelas di hadapan kita. Itulah harga yang harus dibayar karena kita tidak disiplin.

Disiplin merupakan cermin diri. Dia menjadi budaya bila masyarakatnya terjangkit “virus rendahnya disiplin”. Virus ini akan mengurangi tingkat produktivitas, sehingga kita sulit bersaing bila produktivitasnya rendah.

Ketidakdisiplinan menjalankan protokol kesehatan, mengancam kita lebih lama lagi hidup dalam “kungkungan” ketidaknyamanan. Hidup dalam kungkungan itu, bukan tidak mungkin membuat kita frustasi, sehingga kita kalah tak berdaya meneriama keadaan. [] Yuniman T Nurdin/Ilustrasi: merahputih.com

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com