Menguak Multiplier Effect PLTSa

Problem Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di perkotaan  kerap menjadi masalah. Padahal bila kita bijak mengelola sampah, bukan tidak mungkin menghasilkan clean energy. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi solusi mengatasi sampah di perkotaan.

Kehadiran sampah tak dilirik masyarakat, justru dituding sebagai salah satu biang keladi pencemaran lingkungan. Namun di balik vonis, itu, sampah turut berkontribusi menyelamatkan lingkungan. Di tengah dominasi energi fosil yang dieksploitasi secara besar-besaran, ternyata sampah bisa diolah menjadi clean energy.

Kementerian ESDM pernah merilis data perkembangan pengoptimalan pembangkit listrik dari sampah. Dari paparan tersebut diketahui, tantangan salah satu pembangkit listrik energi baru ini kerap hadir dari pemerintah daerah.

Sementara Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Dalam Pasal 6 ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa pemda dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau melakukan kompetisi Badan Usaha. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat juga ikut berpartisipasi lewat penugasan dari Menteri ESDM atas usulan gubernur atau walikota.

Untuk percepatan pembangunan PLTSa berdasarkan Pasal 14 dan 15 Perpres tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan yang bersumber dari APBN digunakan untuk bantuan layanan pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah, yang besarnya paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah.

Sementara negara yang telah sukses dalam mendaur ulang sampah menjadi tenaga listrik salah satunya Swedia. Mereka membutuhkan sekitar 2 juta ton sampah setiap tahun untuk menjalankan PLTSa. Swedia telah menerapkan program waste to energy dan mengoptimalkan fungsi sampah menjadi tenaga listrik. Dan untuk menutupi kekurangan akan bahan bakar sampah tersebut, mereka harus mengimport sekitar 700 ribu ton sampah dari negara lain, termasuk dari Norwegia, sebagaimana dikutip dari artikel bertajuk Tenaga Listrik Tenaga Sampah, oleh Ananto Hayuning Rat, dimuat di, detik.com.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terlibat aktif  usaha percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kebijakan ini, selain tercipta penyediaan energi listrik secara terjangkau juga memperbaiki kualitas lingkungan.

“Dukungan kami berupa implementasi program waste to energy. Membangun PLT Sampah bertujuan  membersihkan sampah itu sendiri. Nilai ekonomi dari listrik yang dihasilkan adalah bonus yang patut disyukuri,” ungkap Wakil Menteri (Wamen) ESDM Arcandra Tahar  dalam berbagai kesempatan, ketika masih menjabat sebagai Wamen ESDM.

Terhitung sejak 2019 hingga 2022 mendatang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang bakal beroperasi. Dari 12 pembangkit itu, diperkirakan akan menghasilkan listrik mencapai 234 MW .dari sekitar 16.000 ton sampah perkari.

Dari 12 usulan pembangunan PLTSa yang ada, 4 di antaranya memiliki perkembangan yang cukup baik dan menunggu penyelesaian pada tahun ini, yang di antaranya berlokasi di Surabaya, Jakarta, Bekasi, dan Solo. Bahkan, pembangunan PLTSa di kota-kota tersebut dimonitor langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kepala BPPT Hammam Riza usai peresmian mengatakan,  pilot project PLTSa Merah putih ini dibangun dengan kapasitas pengolahan sampah mencapai 100 ton per hari, dan akan menghasilkan listrik sebagai bonus sebanyak 700 kilowatt hour. “Jadi konsep kita itu adalah waste to energy, dari sampah bisa hasilkan energi listrik. Sampah yang diolah dalam PLTSa ini adalah sampah dari sumber yang sudah tidak termanfaatkan lagi,” ungkap Hammam.

Pilot Project PLTSa Merah-Putih ini lanjut Kepala BPPT,  ditujukan untuk menjadi percontohan secara nasional, khususnya sebagai solusi mengatasi timbunan sampah di kota besar. “Kita harus sadar, ini perlu teknologi dalam mengolah sampah Indonesia yang kita tahu kondisinya tercampur. Selain juga mengandung bahan organik tinggi, kelembaban tinggi, dan dengan nilai kalori yang rendah. Untuk itu BPPT memakai teknologi pengolah sampah proses thermal,” paparnya.

PLTSa menjadi solusi masalah sampah di perkotaan/foto: ist

Disampaikan olehnya, permasalahan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, acapkali menjadi soal yang pelik. “Pengolahan sampah menggunakan teknologi termal, karena mampu memusnahkan sampah dalam waktu yang cepat dan signifikan. Teknologi  inipun dapat memusnahkan sampah hingga kapasitas 50-100 ton per hari, dengan hasil listrik hingga 700 Kw,” paparnya.

Hammam juga mengutarakan bahwa Pilot Project PLTSa ini menjadi sarana riset dalam pengelolaan sampah, khususnya secara thermal. Hal ini dibutuhkan guna  pengembangan desain peralatan yang tepat dengan komponen lokal yang tinggi, mempelajari sistim operasional yang tepat, dan juga dapat menghitung tipping fee, biaya operasional dan biaya lain yang lebih tepat.

Diungkap oleh Hammam bahwa pembangunan pilot project ini berlangsung dalam waktu cepat yakni satu tahun, dan merupakan PLTSa pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi termal yang sudah proven.

Selain itu, pembangunan PLTSA Merah Putih ini juga didukung oleh industri dalam negeri. Hal ini penting agar nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga tinggi. “Ini menjadi bukti BPPT mampu menghasilkan teknologi sesuai kebutuhan. Atau teknologi demand driven. Kita ingin memaksimalkan TKDN dan ini bisa kita laksanakan. Ini merupakan sebuah kebanggaan,” katanya.

Hammam berharap dengan adanya pengembangan PLTSA ini, yang juga didasarkan oleh Peraturan Presiden, maka BPPT mampu tampil menjadi pemain kunci. “Dengan Perpres PLTSA,  serta amanat TKDN, kami ingin BPPT  mampu menjadi pemain kunci. Sebagai pihak yang melakukan pengkajian dan penerapan teknologi,” timpalnya.

Untuk mempersiapkan implementasi teknologi PLTSa skala besar dan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang PLTSa yang dapat menyelesaikan sampah secara cepat, signifikan dan ramah lingkungan, BPPT bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta dalam membangun Pilot Project PLTSa Merah-Putih di lokasi TPST Bantar Gebang, Bekasi ini, melalui MoU yang telah ditandatangani oleh Kepala BPPT dan Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 20 Desember 2017.

Data dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, volume sampah per hari DKI Jakarta 2.200 ton, dan diperkirakan memiliki potensi daya sebesar 35 MW. Adapun pengembang untuk PLTSa ini adalah PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Fortum Power and Heat Oy milik Finlandia. PLTSa yang terdapat di DKI Jakarta ini bernilai investasi sekitar 345,8 juta dolar AS, sebagaimana dikutip dari artikel bertajuk Tenaga Listrik Tenaga Sampah, oleh Ananto Hayuning Rat, dimuat di, detik.com.

Salah satu upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarata mengurangi beban kerja Tempat Pembungan Sampah Terpadu (TPSMT) Bandar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat, Pemprov melakukan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah atau intermediate treatment facility (ITF) di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Peresmian Intermediate Treatment Facility (ITF) di kawasan Sunter, Jakarta Utara/foto: ist

TF Sunter ini tempat pengolahan sampah dalam kota yang ditargetkan mengurangi beban kerja Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Tempat itu diperkirakan dapat mengolah sampah  2.200  -2.400 ton, dari total 7.500 ton sampah yang dihasilkan penduduk DKI Jakarta setiap hari.

Tak hanya itu sampah yang diolah di ITF Sunter akan  diubah menjadi daya listrik sebesar 35 Megawatt (MW). ITF Sunter ini merupakan  pengolahan sampah modern yang direncanakan berdiri di Jakarta. Pembangunan dan pengolaan fasilitas itu dilaksanakan  PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bekerjasama dengan  Fortum, sebuah perusahaan  Power and Heast Oy, asal Finland.

Demikian disampaikan  Nagwa Kamal, Finance Director, Jakarta Solusi Lestari yang didampingi Jari Rahtu, Project Manager, Large Project City Solution, pada pameran Hari Listrik Nasional (HLN) ke-74, di Jakarta Convention Centre, pada 11/10.

Menurut Nagwa, project ITF Sunter ini sebetulnya sudah lama direncanakan, sejak 2016, tapi karena ada masalah dengan lingkungan dan ada perubahan peraturan, maka  project ini baru dilaksanakan pada Desember tahun lalu. “Dari jumlah sampah maksimal sebanyak 2400 ton  yang dapat ditampung di ITF Sunter ini, dapat dapat menghasilkan listrik 34 MW,” kata Naqwa kepada pelakubisnis.com.

Lebih lanjut ditambahkan, Jakpro joint operation dengan  Fortum mengelola project tersebut. Pihak Jakpro dalam project memiliki saham 44%. Tapi secara bertahap akan meningkat sampai 51% dengan nilai mencapai US$ 250 juta.

Sementara Jari mengatakan, pembangunan project ini menelan waktu tiga tahun. “Saat ini sedang tahap kontruksi. Diperkirakan akhir 2022, project ITF plus Pembangkit Listrik Tenaga Sampah sudah dapat beroperasi,” tambah Jari serius.

Naqwa menambahkan, pembangunan  ITF Sunter ini berdiri di atas lahan 3 hektar. Dengan lahan yang terbatas ini, harus dapat dimanfaatkan secara cerdas. Apalagi kawasan ITF ini berada di kawasan pemukiman, sehingga masalah lingkungan benar-benar harus terjaga.

Rencananya Pemprov DKI Jakarta akan membangun ITF  ini sampai empat unit. Namun pembangunan tahap dua, tiga dan empat, kata Naqwa menjadi otoritas Pemprov DKI.  “Jakarta Solusi Lestrari hanya menangani ITF Sunter,” kata Naqwa sambil menambahkan ini merupakan project percontohan yang dilakukan oleh Pemprov Pemda DKI, [] Yuniman Taqwa