Menyoal Pembentukan UU Minerba Baru

Oleh : Marwan Batubara

 

Setelah mengamati perkembangan pembahasan RUU migas dalam beberapa bulan terakhir, IRESS menyimpulkan bahwa pembentukan UU Minerba baru sebagai pengganti UU Minerba No.4/2009 dalam periode pemerintahan saat ini harus ditunda. Penundaan sangat dibutuhkan guna dapat dilakukannya kajian yang lebih komprehensif atas seluruh permasalahan, termasuk menjamin keberpihakan yang lebih jelas kepada BUMN dalam mengusahakan dan mengelola sumber daya mineral dan batubara (minerba) nasional.

Pendapat IRESS di atas ternyata didukung oleh mayoritas narasumber yang menghadiri FGD yang diselenggarakan IRESS pada tanggal 5 Juli yang lalu, di Hotel Century Park, Jakarta. Dalam FGD yang mengambil tema “Menyoal Revisi UU Minerba” telah dibahas RUU Minerba versi April 2018 (terdiri dari 174 pasal) yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk segera ditetapkan. Dalam draf RUU tersebut ditemukan berbagai dampak negatif yang dapat terjadi dan berakibat fatal bagi pengelolaan minerba, jika RUU Minerba dipaksakan terbit pada Oktober 2018.

Akademisi dan pakar pertambangan yang menjadi nara sumber FGD adalah Prof. Satya Arinanto (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia); Prof. Irwandy Arif (Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Ketua IMI); Dr. M. Said Didu (Sekjen Kementrian BUMN Periode 2004-2009); Dr. Ryad Chairil (Ketua Umum AMMI); Tino Ardhyanto (Ketua Perhapi), dan  Iwan Munajat (Pengurus IAGI). Bertindak sebagai moderator FGD adalah Marwan Batubara dari IRESS.

Para peserta FGD sepakat penguasaan negara melalui pengelolaan tambang-tambang minerba oleh BUMN belum diatur dalam RUU minerba secara komprehensif sesuai konstitusi. Ketentuan penguasaan negara dalam RUU sangat minim dan berpotensi mengurangi diperolehnya manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan negara dan pemerintah sebagai penyelenggara negara amat penting untuk dipahami dan dituangkan dalam RUU dengan benar. Jika konsep yang notabene merupakan fondasi dari sebuah peraturan perundang-undangan tidak kokoh, maka pengaturan di dalam perundang-undangan tersebut akan menjadi rapuh.

Prof Satya Arinanto mengungkapkan bahwa RUU Minerba sengaja dimunculkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dibahas dalam suasana tahun politik menjelang pemilu yang saat ini penuh ketidakpastian. Sehingga proses pembahasan RUU ini bisa luput dari perhatian publik. Padahal dalam RUU tersebut banyak pasal-pasal strategis yang “disisipkan” oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan bisnis minerba, sehingga sangat potensial merugikan negara.

“Dari perspektif UUD 1945, harus dikaji adanya kemungkinan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam RUU ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945,” Kata Prof Satya. Hingga saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) memang telah mengeluarkan beberapa putusan dalam kasus hak uji materiil terkait berbagai UU yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian RUU ini harus disempurnakan dengan mengacu pada bagian-bagian yang terkait dengan pertimbangan hukum dan bagian-bagian lain dari putusan MK atas uji materiil tersebut. RUU Minerba harus disempurnakan dahulu secara komprehensif agar bisa dijadikan dasar politik hukum (legal policy) pemberlakuan hukum pertambangan yang lebih bermanfaat, bukan hanya untuk kepentingan segolongan kelompok atau perusahaan tertentu.

Pada kesempatan diskusi, Prof Irwandy Arif dari Indonesian Mining Institute (IMI) menegaskan bahwa RUU Minerba yang diusulkan Pemerintah dan DPR tersebut menyebabkan perubahan pasal yang cukup banyak, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah ini RUU Perubahaan atau UU yang baru sama sekali. Jika ini RUU perubahan seharusnya cukup melakukan penyesuaian atas UU No.23/2011 terkait otonomi daerah dan beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan yang sifatnya teknis nantinya perlu disesuaikan dengan prinsip pengusahaan pertambangan yang baik dan benar.

Irwandy juga menjelaskan pentingnya melakukan penggolongan barang hasil tambang dalam  klasifikasi tambang strategis, vital, dan non-strategis dan non-vital. Penggolongan bahan tambang berdasarkan peran strategis perlu dikuatkan kembali dalam rangka mendukung pembangunan  nasional jangka panjang,  termasuk rencana industri  nasional  yang berkaitan dengan konsep hilirisasi, energy security dan national security,  sehingga amanat konstitusi dapat tercapai. Pemerintah perlu mempertimbangkan pembentukan  suatu badan usaha negara khusus (BUMN Khusus atau BUMD Khusus) untuk memegang Konsesi dari Pemerintah yang tugas utamanya melakukan fungsi pengelolaan  atas seluruh SDA minerba di  Indonesia.

Prof Irwandy mengatakan bahwa kita perlu mengubah persepsi bahwa Indonesia kaya sumber daya tambang, karena pada kenyataannya Indonesia menuju fase kelangkaan. Sumber daya dan cadangan mineral dan batubara Indonesia bukan termasuk dalam top tiers tetapi lebih pada posisi yang moderate. Bahkan kontribusi sektor pertambangan terhadap GDP nasional semakin menurun. Kontribusi sektor pertambangan terhadap GDP pada 2016 adalah  7.21 persen. Negara menerima pendapatan pajak pertambangan sebesar Rp 22 miliar pada 2016 dari 122 perusahaan pertambangan,  pendapatan bukan pajak sebesar Rp27,147 pada 2017.

“RUU Minerba harus memuat aturan konservasi cadangan mineral,” kata Prof Irwandy. Cadangan mineral nasional sangat minim, jika dibagi per kapita cadangan dunia. Cadangan mineral Indonesia per kapita, yakni cadangan  bauksit  adalah 3,91 ton/kapita; cadangan emas 0,0000117 ton/kapita, cadangan nikel 0,018 ton/kapita; cadangan timah 0,0031 ton/kapita, cadangan tembaga 0,1 ton/kapita, dan cadangan batubara adalah 169,67 ton/kapita.

Prof Irwandy mengungkapkan RUU Minerba perlu dibuat lebih seksama, yakni perlu mengakomodasi prinsip-prinsip keberlanjutan, yakni mengakomodasi aspek ineventarisasi, pemanfaatan dan konservasi. Aspek Inventarisasi, yakni mencangkup Akurasi Data Cadangan dan Sumberdaya, Rekonsiliasi Data Eksplorasi, serta meningkatkan gairah junior mining company dengan legal framework yang lebih menggairahkan.  Aspek pemanfaatan yakni penyelesaian KK&PKP2B, serta penyelesaian masalah divestasi. Kemudian aspek konservasi, harus mengakomodasi program Hilirisasi Mineral.

“RUU Minerba minimal harus memuat konsep energy security serta orientasi pengembangan SDM nasional yang mengutamakan kepentingan negara, yang artinya pengelolaan pertambangan harus dilakukan BUMN,” kata Irwandy.

RUU Minerba harus memuat amanat memenuhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bahwa pertambangan mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Hampir semua hal-hal di atas belum terakomodasi dalam RUU minerba yang ada.

Tino Ardyantho, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesai (Perhapi), menegaskan RUU Minerba seyogianya memaksimalkan kegiatan pengelolaan SDA minerba dalam rangkaian kegiatan eksplorasi, pertambangan, pengolahan, dan pemurnian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini merupakan bentuk nyata pelaksanaan amanat konstitusi. Prinsip ini sejalan dengan tiga aspek Trisakti dan sembilan agenda Nawa Cita. Namun sayangnya hal tersebut tidak terefleksi dalam RUU Minerba. Bahkan terlihat tidak konsistennya penerapan nilai tambah dari rangkaian kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Tino menemukan beberapa ketidakjelasan atas ketentuan-ketentuan pasal sebagaimana yang diatur dalam RUU Minerba, antara lain mengenai pengalihan IUP dan kewajiban divestasi perusahaan pemegang IUP Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan pemurnian. Padahal berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12/2011), pembuatan peraturan perundangan-undangan harus dilakukan berdasarkan azas kejelasan rumusan untuk memberikan kepastian hukum. Pertentangan antar pasal serta ketidakjelasan makna pasal-pasal dalam RUU Minerba memperlihatkan pembentukan RUU ini belum sepenuhnya mencerminkan azas-azas sebagaimana diwajibkan UU No.12/2011.

“Dalam RUU Minerba terdapat ketentuan mengenai perubahan usaha pertambangan dalam bentuk KK dan PKP2B menjadi izin. Namun demikian tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan perubahan tersebut dilakukan, serta bagaimana tata cara pelaksanaannya, mengingat KK dan PKP2B merupakan produk hukum privat (perikatan) dan izin merupakan produk hukum publik. Sehingga perubahan harus dilakukan melalui mekanisme terminasi KK dan PKP2B serta penerbitan izin baru untuk area yang sama,” kata Tino.

Sebaliknya, dalam aturan peralihan rancangan revisi UU Minerba disebutkan bahwa KK dan PKP2B dihargai keberlakuannya sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Untuk itu ketentuan-ketentuan dalam rancangan revisi UU Minerba ini menjadi bertentangan satu sama lainnya dan terlihat tidak disiapkan dengan menjunjung tinggi azas kepastian hukum sebagaimana disyaratkan dalam UU No.12/2011.

Tino juga melihat adanya perbedaan definisi terminologi yang dapat menimbulkan kerancuan dalam pemahaman dan penerapannya. Misalnya penggunaan terminologi dalam pasal-pasal komoditas tambang seyogianya mengacu pada terminologi komoditas yang digunakan oleh institusi/lembaga dan pemangku kepentingan terkait seperti Kementrian Perdagangan, pasar komoditas, dll. Atau perumusan terminologi seperti mineral, bahan galian, batuan, bijih, pengolahan, pemurnian, sumber daya, cadangan, tambang rakyat, dll perlu merujuk pada definisi teknis keilmuan yang berlaku umum. Hal ini tidak tercermin dalam RUU Minerba, sehingga RUU ini sarat dengan kerancuan akademis dan penafsiran teknis.

Iwan Munajat dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), juga melihat banyak perubahan mendasar dalam RUU Minerba ini, namun tampak adanya ketidak-konsistenan dengan peraturan yang sebelumnya. Iwan menjelaskan bahwa naskah akademis RUU Minerba lebih menekankan aspek hukum, namun RUU tidak komprehensif dalam membahas aspek teknis pertambangan, mulai dari eksplorasi hingga pengolahan/pemurnian. Banyak persetujuan teknis yang tidak perlu dilakukan oleh DPR, cukup di putuskan oleh Pemerintah untuk mengeksekusi kebijakan pertambangan. IAGI memandang RUU ini perlu memberikan insentif eksplorasi agar kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan minerba dapat ditingkatkan, sehingga memperkuat struktur neraca sumber daya minerba.

“Naskah RUU Minerba, Pasal 17 perlu ditinjau kembali,  yakni menyangkut masalah luas wilayah WIUP,” kata Iwan. Dijelaskan oleh Iwan, Pasal 17 memuat bahwa luas wilayah bisa ditambah, berdasarkan kriteria yang dimiliki pemerintah pusat. Opsi ini berpotensi eksploitasi besar-besaran atas sumber daya mineral dan mengurangi kesempatan pengelolaan oleh negara/BUMN. Iwan juga mengingatkan: “Dalam pengelolaan batubara  diperlukan adanya  cetak biru kebijakan sebagai garis-garis besar untuk panduan  pengelolaan. Batubara harus menjadi modal pembangunan, bukan lagi sebagai komoditas,” kata Iwan.

Di samping itu, RUU Minerba tidak memuat ketentuan divestasi. Kewajiban divestasi 50 persen harus tetap diberlakukan. Revisi  perpanjangan kontrak karya (KK) berpeluang untuk Freeport memperpanjang terus KK-nya, sekaligus mengabaikan kesepakatan divestasi. Akibatnya, kesepakatan divestasi 50 persen bisa mundur atau bahkan gagal terlaksana.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Metalurgi dan Material Indonesia (AMMI), Ryad Chairil, meminta penegasan dalam RUU Minerba ini terkait kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagai basis untuk mendukung industri manufaktur di Indonesia. RUU Minerba terlihat masih membuka ruang ekspor bijih mineral ke luar negeri yang tentunya bertentangan dengan Undang Undang Perindustrian. AMMI juga memandang bahwa RUU Minerba belum mengakomodasi kepentingan keahlian metalurgi dan material nasional untuk berjaya di negara sendiri.

Ryad mengatakan RUU Minerba perlu memuat unsur-unsur penguatan struktur BUMN Pertambangan. Kemudian mengamanatkan kegiatan eksplorasi oleh pemerintah atau pun perusahaan dengan insentif tertentu. Penting sekali RUU Minerba memuat poin tentang bagaimana memperkuat posisi BUMN dan bagaimana hak dan kewajiban Pemda dalam pengelolaan.

“Poin-poin RUU Minerba yang ada saat ini dikhawatirkan akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran sumber daya minerba tanpa memperhatikan aspek sosial, perlindungan lingkungan, serta konservasi minerba bagi generasi mendatang,” kata Ryad. RUU Minerba yang ada saat ini kurang mencerminkan pengelolaan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, bahkan berpotensi menimbulkan eksploitasi besar-besaran tanpa kendali, sehingga layak untuk ditolak.

Dr. Said Didu mengatakan, pihak yang menginginkan segera ditetapkannya RUU Minerba adalah penguasa di DPR, pemerintah dan para pengusaha besar. Dikatakan, industri minerba adalah sumber dana politik yang paling gampang diperoleh. Revisi UU Minerba diarahkan untuk menguntungkan perusahaan-perusahaan besar tertentu yang merupakan sumber atau pun mesin politik sebagian partai. Apalagi periode ini adalah menjelang pemilu dan pilpres, maka tampaknya DPR dan pemerintah bersegera menyelesaikan. Karena itu, kata Said, wajar jika RUU tersebut ditolak, karena tidak berpihak kepada kepentingan negara dan rakyat.

“Selalu ada permainan politik dalam pengelolaan pertambangan. Hal ini misalnya pada smelter Freeport yang akan dibangun. Namun lahannya tidak boleh berasal dari  lahan milik BUMN. Padahal Freeport akan setuju dan bersepakat dengan industri petrokimia. Namun ada penguasa yang berkepentingan, sehingga menjegal kerja sama lahan untuk smelter tersebut”.

Said mengatakan, dalam RUU Minerba pengertian-pengertian dibikin rigid, sehingga tafsiran RUU Minerba menjadi beragam, misalnya hilir tapi tidak diperjelas hilirnya di mana. Jika UU fleksibel maka dapat dimanfaatkan perusahaan-perusahaan tambang untuk mencari celah. Atau bahkan dalam PP sebagai kebijakan teknis sedapat mungkin menjadi celah untuk mengakomodasi kepentingan tertentu, namun sekaligus melanggar UU.

IRESS dapat menyimpulkan bahwa peserta FGD sepakat meminta kepada Pemerintah dan DPR, berdasarkan draf RUU yang ada sekarang, untuk menunda pembentukan UU Minerba yang baru pada 2018 ini. RUU Minerba harus terlebih dahulu dipersiapkan sesuai mekanisme dan kaidah-kaidah yang diatur dalam UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perlu dilakukan kajian atas RUU Minerba yang lebih mendalam untuk bisa mengatur proses pengolahan dan pengusahaan minerba yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. RUU Minerba wajib menegaskan peran BUMN yang lebih dominan dalam mengelola dan mengusahakan sumber daya minerba sesuai amanat konstitusi.[]

*Penulis adalah Direktur Eksekutif  IRESS