Kiprah Veronica Dewi di Bisnis Alat Penunjang Kesehatan
Takdir mengantar mantan perawat ini masuk ke industri alat penunjang kesehatan. Ia pun tak menyangka bila usahanya bisa berjalan sejauh ini. Berbekal jaringan dan kesukaannya bersosialisasi ia mampu mempertahankan loyalitas pelanggan hingga belasan tahun.
Tak pernah terbersit dalam benaknya bisa terjun mengelola usaha produksi alat penunjang kesehatan. Sejatinya, Veronica Sopha Sari Dewi saat ini mengabdi sebagai petugas medis. Tapi takdir berkata lain. Tahun 1991 selepas lulus kuliah Akademi Perawat Saint Carolus, Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Saint Carolus-red), ia ikut ikatan dinas di RS Yos Sudarso, Padang Sumatera Barat dan akhirnya bekerja di sana hingga menjadi Kepala Unit Bangsal dan duduk di komite standarisasi keperawatan rumah sakit. Kemudian tahun 1998 ia menikah dengan pria asal Sumatera Utara yang langsung memboyongnya ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, karena tuntutan pekerjaan sang suami yang bertugas sebagai marketing di perusahaan farmasi nasional.
Wanita yang akrab disapa Dewi ini sempat mengajar paruh waktu di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan-red) TNI Angkatan Laut di Tanjung Pinang. Satu tahun di Kepulauan Riau, Dewi dan suami pindah ke Banjarmasin, Kalimantan. Tak lama kemudian, suami dipromosikan perusahaan memimpin cabang di Yogyakarta, Jawa Tengah.
Dewi dan suami memulai hidup baru di Yogyakarta hingga dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan. Ketika anak sulung mulai duduk di bangku TK, jiwa berdagang wanita kelahiran 11 Januari 1971 ini pun muncul. Ada saja dagangan yang ia bawa ke sekolah anak sampai sapu impor ia jual. “Saya pinjam mobil suami sambil bawa dagangan sapu ke sekolah. Sampai sekolah, saya buka bagasi dan mulailah saya berdagang dan banyak yang beli,”ungkap Dewi mengenang ketika pertama kali berjualan.
Diakuinya dari kecil tak pernah terlintas untuk berdagang. Boleh jadi ketika merantau ke daerah orang ia mulai belajar hidup mandiri tidak ada sanak saudara dan dari situ cara berpikirnya berubah lebih dewasa.
Ia pun sempat membuka konter/loket pembayaran listrik. Tak berjalan lama usaha ini karena tipikal Dewi yang tak bisa diam membuatnya bosan hanya melayani pelanggan yang membayar listrik. “Saya suka bersosialisasi dan kontak dengan banyak orang. Saya tidak bisa bekerja hanya menunggu duduk diam,”akunya.
Hingga suatu hari lewat suaminya, pada tahun 2006 ia berkenalan dengan seorang dokter di RSUD Panembahan, Bantul, Yogyakarta. Bincang-bincang dengan sang dokter pun bergulir, dari cerita pengalamannya sebagai perawat hingga muncul peluang menjadi pemasok di rumah sakit yang dipimpin dokter tersebut.
Awalnya tawaran menjual jasa laundry di rumah sakit, tapi karena dihitung-hitung modalnya lumayan besar, sementara terlanjur membuat badan usaha CV Dwi Nusa Abadi Yogyakarta, akhirnya ia dan suami mengambil tawaran peluang yang lain yaitu menjadi supplier gurita untuk ibu hamil yang dipasok ke koperasi rumah sakit tersebut. “Tak jadi saya ambil peluang jasa laundry karena modalnya besar mencapai Rp 250 juta dan masih harus mencari tenaga kerja lagi, Waktu itu kami tak ada modal,”cerita peranakan Jawa ini.
Di tahap awal menjadi supplier kain gurita untuk ibu hamil, ia membeli grosiran ke Pasar Beringharjo, Yogyakarta. “Beberapa kali saya pasok 100 pcs per tiga minggu habis terus. Karena seringnya saya beli itu si pedagang naikin harga. Saya pun berpikir, sepertinya gampang membuat gurita. Asal memotong dan menjahitnya rapih,”ujar Dewi kepada pelakubisnis.com.
Kebetulan ada tetangganya yang punya mesin jahit obras Wolsum. Ia belajar sebentar. Dan sebenarnya ia juga bisa menjahit karena belajar dari ibunya yang memang seorang penjahit. Mulailah ia membeli satu mesin Wolsum dan ia pun survey mencari bahan kain mori bagus yang paling murah. Maklum, saat itu dan hingga kini hampir 100% produknya diperuntukkan bagi pelanggan business to business (B2B). Dengan margin yang tipis ia harus bisa menekan biaya operasional tanpa mengurangi kualitas produk.
Pun saat itu ia mendapat akses pinjaman modal dari BPD –Bank Pembangunan Daerah-red- sebesar Rp 5 juta yang ia alokasikan untuk membeli mesin dan bahan baku. “Awalnya saya buat sendiri semuanya. Lumayan sekali buat 100 pieces, tapi lama-lama gempor juga. Akhirnya saya cari penjahit. Dulu ongkos jahitnya sekitar Rp 600, sekarang sudah Rp 1000/pieces. Mereka hanya menjahit, yang bagian memotong pola tetap saya yang kerjakan,”papar istri dari Rudy Manatap Sihombing ini.
Hingga suatu hari ia kecelakaan motor dan mengalami dislokasi dimana tulang lengan kanan hampir terlepas dari sendi bahu yang mengharuskan Dewi dioperasi. Saat itu ia diharuskan menggunakan arm sling (gendongan tangan-red) yang harganya sekitar Rp 70 ribu / pc di kisaran tahun 2009-2010.
Muncul ide dari kepalanya untuk memproduksi arm sling. “Saya beli ukuran yang berbeda untuk saya jadikan pola. Setelah itu suami saya yang bantu tawarkan ke rumah sakit-rumah sakit. Bersyukur mereka tertarik dengan produk saya karena menggunakan bahan yang berkualitas dan harga lebih rendah dari pasar karena saya ambil margin tipis,”ungkap alumnus Akademi Perawat Saint Carolus, Jakarta ini.
Penetrasi pasar diakuinya tak lepas dari bantuan sang suami yang memang lama bergelut di bidang marketing di industri farmasi. Meski begitu, ia tetap berusaha membangun reputasi perusahaan termasuk reputasi suaminya yang menjadi jembatan untuknya berhubungan dengan klien.
Dan sejak menjual arm sling, satu per satu distributor alat kesehatan (alkes) mulai mengenal usaha Dewi. Sebut saja PT BSN Medical Indonesia, PT AbadiNusa Usahasemesta (ABN), PT Medika Jaya Raksa (Medika) dan beberapa rumah sakit diantaranya RS Yos Sudarso Padang dan RS dr Sardjito Yogyakarta serta segmen apotik seperti Apotek Makam Haji, Sukoharjo Jawa Tengah. “Saat ini kami memproduksi alat penunjang kesehatan tanpa efek samping, mulai dari gurita, spalk infus bayi dan dewasa, arm sling, neck collar (penyanggah leher-red) dan ketika ada wabah Covid-19, saya buat masker,”terang ibu dua anak ini.
”Yang terpenting komunikasi. Suami yang membukakan pintu tapi selanjutnya saya yang berusaha menjaga hubungan baik. Caranya, berupaya membuat produk berkualitas dan intens berkomunikasi dengan klien yang terjalin sampai sekarang. Jadi untuk membangun hubungan baik sampai bertahan lama itu upaya saya. Suami saya sendiri bingung bagaimana saya bisa mempertahankan hubungan dengan klien selama itu,”ungkapnya.
Diakui Dewi, hingga saat ini ia terus menjaga hubungan baik dengan para pelanggannya. Salah satu koperasi rumah sakit di daerah Panembahan, Yogyakarta merupakan pelanggan pertama yang dari awal hingga sekarang masih menerima pasokan guritanya.
Yang perlu dicermati, Dewi berbisnis dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan. Ketika ada komplain karena ada kerusakan sedikit saja, ia akan mengganti dengan yang baru bahkan dua kali lipatnya. Satu hal, ia selalu menyanggupi permintaan klien yang terkait dengan deadline yang cepat dan jumlah volume dalam jumlah berapapun.
Saat ini Dewi dibantu 3 penjahit lepas bahkan bisa lebih tergantung volume order yang masuk. “Saya selalu bilang ke mereka (penjahit-red), pokoknya kerjakan terus jangan sampai kosong, semampunya si mbak. Berapa mereka sanggup kerjakan, saya minta langsung diserahkan. Sistem upahnya ada yang meminta selesai langsung bayar, ada juga yang dibayar bulanan,”tukas wanita kelahiran Jakarta ini.
Aturan mainnya memang tak seperti memiliki karyawan. Dimana kita memiliki sistem yang dapat menjaga kualitas produk dengan membuat standard operationg procedure (SoP). Mempekerjakan orang lain di luar sistem memang bukan perkara mudah. Tapi Dewi mengantisipasinya dengan pembagian kerja yang paling mendasar yakni, urusan potong pola yang sesuai SoP masih di tangannya dan Dewi berupaya memberikan win-win solution bagi mitra penjahit agar mereka loyal. “Awalnya saya minta mereka kerjakan satu dulu. Setelah saya lihat hasilnya bagus, saya minta mereka lanjutkan hingga selesai. Lagipula mengerjakan jahitan seperti arm sling dan gurita hanya lurus-lurus saja, tidak banyak risiko,”papar Dewi.
Total mitra penjahit Dewi saat ini ada tiga orang. Ada yang khusus penjahit spalk dan gendongan tangan (arm sling), ada satu orang yang mengerjakan spalk dan gurita. Ada yang mengerjakan masker dan neck collar. “Untuk spalk infus volume penjualan sebulan 200 pcs, arm sling 100 pcs, neck collar paling banyak 50 pcs, sedangkan gurita ibu hamil 200 pcs sebulan,”terang Dewi yang mengaku mengambil keuntungan sekitar Rp2000/pc dan tak heran bila omzet CV Dwi Nusa Abadi Yogyakarta ini baru mencapai Rp 5 juta/bulan.
Menurutnya, pekerjaan ini hanya sambilan membantu suami yang saat ini masih bekerja sebagai professional di perusahaan produk medis disposable (sekali pakai-red). Tak heran bila ia belum mengeluarkan seluruh energinya menggenjot produksi yang lebih besar. “Bahkan di tengah pandemic ini boleh dibilang kami tidak terlalu terpengaruh. Untuk produk gurita memang sedikit ada penurunan penjualan hingga 50%. Yang biasanya terjual 200 pcs sempat turun 100 pcs. Tapi belakangan ini sudah naik lagi,”tutur pehobbi olahraga lari ini.
Untuk masker saat ini cukup potensial untuk dikembangkan. Ia sempat ingin berhenti menjual masker karena memang hanya pelengkap dari rentang produk utamanya. Namun belum sempat menghentikan produksi masker tiba-tiba datang order dari salah satu klinik perawatan kulit yang cukup terkenal mengorder ratusan pcs masker. Dewi pun tak kuasa menolaknya!
Satu kebahagiaan buatnya ketika jerih payah usaha yang dibangunnya sejak 2006-2007 menghasilkan sesuatu yang bisa ia beli dari uangnya sendiri . “ Dari jualan ini saya bisa beli Nissan March baru meski mencicil dari uang keuntungan usaha,”ujarnya bangga.
Mimpinya suatu hari ketika suaminya pensiun nanti, saat itu ia akan bekerjasama dengan suami mengelola lebih serius usahanya agar lebih bertumbuh. “E-Catalogue (masuk ke Lembaga Kebijakan Pengadaan dan Jasa Pemerintah-red) adalah salah satu mimpi kami ke depan dan saat itu kami bisa menembus pasar lebih luas,”pungkas Dewi dari ujung telepon mengunci percakapan.[]Siti Ruslina