Optimisme Unilever Menyongsong 2021

Di tengah pandemi PT Unilever Indonesia Tbk  menyesuaikan diri menghadapi perubahan perilaku konsumen.  Empat jenis pertumbuhan perusahaan, yaitu tumbuh konsisten, tumbuh kompetitif, menguntungkan dan sustainable, menjadi prinsip dasar bagi  produsen kategori produk FMCG ini.

Kondisi pandemi Covid-19   di sektor consumer goods mengakibatkan terjadi perubahan pola permintaan. Sementara produk-produk yang mempunyai posisi second brand mengalami kendala. Sebagai contoh  konsumsi es krim atau jalan di luar rumah mengalami penurunan yang relatif dratis. Dengan kata lain, ada pembiasan permintaan antara dua, tiga jenis produk di kategori tersebut

Fenomena itu diaminkan oleh Direktur Keuangan PT Unilever Indonesia Tbk (UI), Arif Hudaya. Menurutnya sampai kuartal tiga pertumbuhan penjualan UI secara menyeluruh hanya 0,3%. Namun demikian, untuk produk domestik tumbuh sampai 1,7% walaupun market dalam keadaan kontraksi.

Melakukan Inovasi dengan melahirkan brand Sahaja/foto doc.Inventure

Kondisi itu disiasati UI dengan dua hal. Pertama, pentingnya produk-produk utama atau produk inti, seperti produk kebersihan, sebut saja sabun dan shampo lifebuoy, karbol Wipol dan pasta gigi Pepsodent harus selalu tersedia setiap saat. Kedua, melahirkan inovasi yang sesuai kebutuhan. “Kami melahirkan inovasi dengan meluncurkan brand Sahaja. Di mana lebih terjangkau dan sangat dekat dengan segmen muslim. Produk itu diluncurkan dengan kategori kebersihan atau kesehatan. Ada juga bentuk spray untuk hand sanitizer atau spray untuk antiseptic,” kata Arif dalam pemaparan pada acara webinar Indonesia Industry Outlook 2021 yang diselenggarakan Inventure pada 4 – 6 November lalu.

Kedua UI menyiasati keadaan pandemic dengan  melihat perilaku belanja.  Perilaku belanja terbagi dua, yaitu, pembelian di sekitar rumah atau proximity channel, apakah melalui toko di perumahan, minimarket,  dan e-commerce yang meningkat pesat.  Tapi tantangan ada di channel-channel offline seperti hadir di mall, akibat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada saat itu.

Tantangan makro juga terjadi  pada konsumen yang berbeda. Ini mengkonfirmasi hasil penelitian Inventure bahwa masyarakat lebih aware terhadap CHSE (Clean, healthy, safety dan environment). Itu sebabnya, produk kesehatan memang makin di push dan berusaha inovatif dengan lahirnya brand Sahaja.

“Saya yakin kondisi saat ini dan ke depan,  setelah  memasuki new normal dengan post covid-19, produk kesehatan dan kebersihan selalu bernuansa melindungi  keluarga, itu biasanya akan terus berkembang di masyarakat konsumen Indonesia,” lanjut Arif yang memulai karirnya di UI sejak 1996 ini.

Tahun ini UI membukukan laba bersih sebesar Rp 5,4 triliun di tahun berjalan September 2020. Laba tersebut turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 5,5 triliun. “Perseroan optimis untuk terus bisa membangun bisnis yang konsisten, kompetitif, menguntungkan, serta bertanggung jawab,” ujar Arif, sebagaimana dikutip dari tempo.com.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan, penjualan bersih dalam negeri hingga 30 September 2020 tercatat sebesar Rp 31,03 triliun, sementara penjualan ekspor tercatat sebesar Rp 1,4 triliun. Dengan demikian, penjualan bersih perseroan pada periode tersebut adalah Rp 32,46 triliun.

Dari angka-angka tersebut, tampak penjualan dalam negeri naik dibandingkan tahun lalu yang tercatat Rp 30,79 triliun. Namun, penjualan ekspor mengalami penurunan dari periode tahun lalu yang Rp 1,57 triliun.

Sementara Arif menilai tahun 2021 menarik dan sangat menantang. Kita tidak tahu kondisi Covid-19 akan berlanjut seperti sekarang atau justru menjadi periode pemulihan bisa lebih cepat.  Di mana Gross Domestic Product (GDP) bisa kembali. Contoh di China!  Kehidupan sehari-harinya kini hampir mendekati normal . Dari situ mereka banyak  melahirkan tren-tren baru.

Pertanyaannya apakah kondisi pandemic akan kembali normal?  Mudah-mudahan kondisinya membaik atau  justru semakin menantang. “Saya rasa ada dua indikator yang perlu kita lihat secara makro. Pertama, pertumbuhan GDP dan inflasi yan kita harapkan menjadi sehat dan recovery.  Tapi ada dua faktor tambahan yang sangat penting, yaitu tingkat kepercayaan konsumen yang saat ini rendah  dan tingkat pengangguran. Faktor ini berujung pada kemampuan daya beli yang ditentukan oleh konsumen,” tambah peraih gelar BSc bidang Banking and International Finance dari Cass Business School, City University, London, Inggris ini.

Menurut Arif, kedua hal itu sangat penting. Asumsi  secara general consumer goods akan selalu dibutuhkan, sehingga UI yakin bisnis barang konsumsi memiliki peluang untuk recovery dan win back di tahun mendatang relatif lebih cepat.

Ia menambahkan, tren 2021 akan sama untuk beberapa konsumen. Mereka akan tetap lebih peduli pada faktor kesehatan dan kebersihan. Karena mereka belajar dari kejadian sekarang. Kejadian sekarang menjadi kebiasaan. Contoh, kalau kita harus keluar rumah dan beraktivitas, orang selalu membiasakan cuci tangan, selalu membawa hand sanitizer dan membawa antiseptik. Itu akan menjadi new normal  di dalam konsep kebutuhan konsumen.

Konsumen saat ini, lanjut Arif,  lebih sering mengkonsumsi dan melakukan aktivitas di rumah, walaupun  ke depan sudah ada pembebasan. Itu akan menjadi kebiasaan bahwa aktivitas dengan keluarga menjadi lebih  erat. Produk-produk yang berperan dalam hal tersebut, seperti bagaimana mengkonsumsi es krim di rumah beserta keluarga, bagaimana memasak bersama dan menikmati makanan bersama keluarga meningkat dalam konteks makanan yang sehat dan bergizi.

Kemudian serba online akan terus berlanjut.  “Hal tersebut  mengkonfirmasi bahwa kebiasaan yang berubah sekarang  karena krisis akan terus berlanjut  dan menjadi kebiasaan baru untuk  permintaan consumer goods di Indonesia.

Dalam konteks ini, ada satu hal mendasar  bahwa saat ini konsumen memprioritaskan kebutuhan untuk membeli. Kita memasuki resesi, misalnya. Maka ke depan konsumen selalu menerapkan konsep value bahwa produk harus tetap berkualitas. Karena konsumen  tidak bisa salah beli. “Konsumen  memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti yang saya sebutkan tadi sebelum membeli kebutuhan lain yang kurang essensial. Selain itu, pilihan harga yang sesuai dan terjangkau konsumen ,” tambah Arif.

Berdasarkan konsep tersebut,   konsumen akan mendapatkan value yang optimal. Unilever melakukan beberapa hal. Misalnya  produk kebersihan dan kesehatan, seperti  Lifebuoy dan Wipol, juga brand produk kebersihan rumah tangga lainnya terus mengalami peningkatan  yang besar. Sehingga strategi UI  selalu  berpegang teguh kepada  brand purpose atau lebih kepada startegi dari brand tersebut.

UI melahirkan hand sanitizer dari Lifebuoy./foto: doc. Unilever Indonesia

”Lifebuoy  selalu melindungi keluarga dari kuman. Ini konsep intinya.  Memberikan proteksi kepada  keluarga. Itu akan selalu kami pegang teguh, tetapi yang kita lakukan adalah meningkatkan brand power-nya , sehingga Lifebuoy tidak bisa tumbuh sendiri. Lifebuoy harus tumbuh bersama-sama dengan masyarakat konsumennya,” jelas Arif.

Lebih lanjut ditambahkan, dalam jajaran produk, UI melahirkan hand sanitizer dari Lifebuoy.”Kami  melakukan penyesuaian produk seperti body wash liquid  Lifebuoy dengan kemasan  lebih kecil, sehingga masyarakat bisa menjangkau kebutuhan tersebut. Mereka merasa bahwa liquid lebih sehat dan healthy, dibanding mungkin pada produk format lainnya. Sekarang kita  harus bisa membuat masyarakat menjangkau,” tandasnya.

 

Arif menambahkan, UI berpegang teguh pada brand purpose, channel-channel, melakukan akselerasi inovasi yang sesuai  dengan kebutuhan dan jangkauan masyarakat. Terakhir dipastikan bahwa produk-produk tersebut  akan selalu ada di channel-channel baru yang berkembang karena krisis.

Saat ini UI mempunyai competitive advantage dan masih terdepan dalam mendistribusikan barang-barang  di seluruh Indonesia.  Untuk distribusi tersebut, tambah Arif,  dilakukan dengan partner-partner distributor  yang berjumlah lebih dari 800 distributor dan juga rekanan pelanggan-pelanggan  di modern trade.

“ Itu tetap merupakan jajaran utama Unilever.  Tapi mulai banyak toko yang tutup, sementara warung-warung  juga tingkat kesehatannya terganggu dengan banyak orang yang berbelanja . Maka kami tambahkan, bagaimana kami men-service atau melayani toko-toko dengan produk-produk digital,” tambahnya.

Sementara menurut survei, tingkat akselerasi di e-commerce meningkat signifikan pada masa pandemic. Sekitar  60%  orang Indonesia mencoba melakukan transaksi melalui e-commerce. UI pun melakukan antisipasi  yang cepat di e-commerce dengan meluncurkan Unilever home delivery.

Arif menambahkan, UI bekerjasama dengan distributor.  “Kami memberikan digital aplikasi yang dimiliki oleh warung. Mereka bisa order kapan saja. Jadi tidak harus menunggu salesman datang, karena  takut kalau salesmannya sakit, sehingga mereka order melalui aplikasi tersebut untuk bisa didistribusikan di kemudian harinyanya. Nah, ini juga membantu modal kerja dan rotasi dari produk-produk kami,” ujarnya seraya menambahkan bekerjasama dengan  partner yang mempunyai visi dan kolaborasi untuk menjamah warung-warung yang mungkin yang saat ini tidak mendapatkan delivery langsung. Ini yang kita sebut B to B to C dari ketiga faktor tersebut.

Ia melanjutkan, memang pandemic membuat tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan setiap institusi. Setiap krisis adalah kesempatan. Dalam kesempatan melahirkan akselerasi yang disebut inovasi.  Inovasi itu butuh market, sehingga melakukan perubahan  dalam operasional.

Nah, ketika GDP kembali membaik, maka marketpun akan  growth. Kalau GDP meningkat  5%, maka market growth consumers goods , mungkin bisa diangka 3 – 4%. Tetapi itu rata—rata.  Apa yang terjadi  dalam konsumen banyak berbeda. Tapi yang paling penting dalam market  average, terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan, di setiap segmen dan di setiap kategori.

Menurut Arif, UI berusaha  menerapkan prinsip empat  jenis growth (pertumbuhan). Pertama, pertumbuhan yang konsisten. Kedua,  pertumbuhan yang kompetitif. Dalam kondisi apa pun, UI harus meningkatkan kompetensi  dan menjadi yang terdepan sebagai market leader. Ketiga, dalam pertumbuhan yang menguntungkan, yaitu  melihat tren-tren baru  lalu aplikasikan  serta  dihitung investasinya. Sementara   melakukan efisiensi-efisien yang cukup  tinggi kepada kebutuhan non essensial, sehingga meahirkan pertumbuhahn yang menguntungkan. Keempat, adalah pertumbuhan yang bertanggungjawab, pertumbuhan yang sustainable.

“Kami berbicara CHSE component of environment, component of consumer  consent . Jadi, kami selalu mencoba yang terbaik dan terdepan saat ini dan  pada setiap kesempatan,”kata Arif mengunci percakapan.[] Yuniman T Nurdin