Gerai Ritel Berguguran, Apa Karena E-commerce?

Dikotomi antara belanja offline dan online jangan dipertentangkan dalam rana bisnis. Kedua model tersebut saling mempunyai keunggulan dan kelemahannya. Pelaku usaha ritel perlu jeli melihat kedua potensi itu untuk dikembangkan menjadi nilai sebuah bisnis!

Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah gerai ritel mulai berguguran. Tercatat beberapa pengusaha menutup gerai usahanya. Mulai dari PT Matahari Department Store, PT Ramayana Lestari Sentosa, Lotus Department Store dan terakhir Debenhams yang ditutup oleh PT Mitra Adi Perkasa Tbk pada akhir Oktober tahun lalu.

Disinyalir tutupnya gerai-gerai itu itu karena terjadi perubahan pola belanja, e-commerce. Melalui cara belanja demikian jauh lebih efisien. Konsumen tak harus mengeluarkan biaya tambahan transport, misalnya. Bukan tidak mungkin konsumen harus mengeluarkaan biaya tambahan karena faktor stimulus yang mempengaruhi tindak pembelian jika kita mengunjungi mall, umpamanya. Di sana banyak barang yang didisplay dengan tata letak menarik. Alam tidak sadar kita akan mudah terpengaruh dengan visual-visual dan gaya komunikatif sales promotion girl (SPG) yang sengaja dihadirkan pemilik gerai untuk menarik pembeli.

Dan kondisi itu tidak terjadi bila melakukan pembelian melalui e-commerce. Market place-market place yang menawarkan ribuan jenis produk dikemas dengan menggunakan kategori produk. Pembeli akan fokus dengan produk yang akan dicarinya. Model belanja demikian, menghilangkan potensi pengaruh untuk membeli produk yang bukan dicarinya.
Paling tidak, dari sisi psikologis belanja akan lebih fokus terhadap produk yang hanya dibutuhkan. Stimulus yang mempengaruhi dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga gaya belanja demikian lebih fokus terhadap kebutuhan produk yang hanya dibutuhkan.

Fenomena ini hanya satu faktor dari sekian banyak keunggulan kompetitif dan komperatif belanja melalui online. Banyak hal yang membuat belanja online menjadi tren belakangan itu. Keterbatasan waktu – karena kesibukan masyarakat perkotaan – menjadi salah satu alasan mengapa mereka beralih belanja dari konvensional ke e-commerce!
Harga jual yang disinyalir jauh lebih murah dengan belanja online dibandingkan konvensional menjadi daya tarik tersendiri. Masyarakat menjadikan gerai-gerai ritel hanya semata-mata sebagai benchmark harga, dan setelah mendapat patokan harga, ia akan hunting barang ke market place-market place untuk kemudian memutuskan tindak pembelian.

Boleh jadi kondisi itu yang menyebabkan mengapa masyarakt mulai beralih belanja via online. Hal demikian diperkuat dengan Berdasarkan survei Shopback terhadap lebih dari 1.000 responden di Indonesia untuk melihat pola belanja masyarakat, sebanyak 70,2 persen mengaku keberadaan toko online memengaruhi pola belanja. Mereka menjadi lebih sering berbelanja online dibangingkan di toko offline. Selain itu, sebanyak 83,1 persen responden mengaku pernah ke toko offline untuk melihat barang, tapi kemudian membelinya secara online.

Sinyalemen belanja online lebih murah, kata Ketua Umum APRINDO, Roy N Mandey, tidak selamanya benar. Ada produk-produk di offline lebih murah dibandingkan belanja di online. “Dalam dunia ritel, baik online maupun offline selalu ada yang namanya marketing intelligence,” ujarnya seraya menambahkan tugasnya untuk mencari benchmark harga jual produk di masing-masing gerai, baik online maupun offline.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengungkapkan, maraknya penutupan toko ritel bukan saja menghantam Indonesia, tapi juga di negara lain. Toko-toko ritel raksasa tumbang karena tak kuasa menahan derasnya arus digitalisasi. “Ini tren dunia. Radio Shack di AS menutup 1.643 toko, Gymboree tutup 150 toko, Walmart dan Meses pun senasib menutup cukup banyak toko. Di Hong Kong mulai diperkecil toko-tokonya, dan di Singapura mulai berubah,” kata Rhenald saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Oktober lalu.

Rhenald menambahkan saat ini jarak tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk berbelanja. Dengan aplikasi belanja online, orang tak perlu lagi belanja seperti dulu, datang ke toko langsung. Sebab, saat ini sewa toko di mall biayanya selangit. “Sekarang masyarakat punya market place, seperti Bukalapak, Tokopedia. Orang dan perusahaan bisa beli apa saja lewat market place ini. Anak-anak muda pun demikian. Jadi ada alat-alat baru yang membuat masyarakat beralih ke sana,” dia menjelaskan.

Lebih lanjut ditambahkan, perubahan ini tidak ditangkap secara cepat oleh perusahaan-perusahaan ritel di Indonesia. Ketika digitalisasi ini menyebar secara cepat, mereka baru mulai berbenah, merombak bisnis model. Perubahan ini tidak dibaca dengan cepat. Fenomena ini seolah mematahkan bahwa penutupan toko ritel secara marak terjadi bukan karena penurunan atau pelemahan daya beli masyarakat. Dia berpendapat, banyak fakta yang justru bertentangan dengan daya beli.

Menurut Rhenald kalau daya beli melemah, uangnya tidak ada. Lihat di bank Dana Pihak Ketiga (DPK) naik, cadangan devisa banyak. Tapi uangnya tidak digunakan untuk belanja di toko-toko yang kelihatan.


Sementara ada yang bilang, banyaknya gerai ritel yang tutup menandakan daya beli masyarakat turun. Namun ada pula yang percaya bahwa yang terjadi hanyalah dampak pergeseran gaya belanja masyarakat dari offline ke online. Terlepas dari itu, penutupan gerai ritel menarik perhatian khalayak dari sisi lain yakni diskon besar-besaran. Demi menghabiskan stok biasanya para pengelola rela membanting harga. Alhasil gerai-gerai yang tadinya sepi mendadak dikerubungi pelanggan.

Tentu fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan. Jika memang benar daya beli masyarakat turun, mengapa masyarakat begitu antusias berburu barang diskon? Lalu apakah benar mereka yang menutup gerainya lantaran tak mampu bersaing dengan toko online?

Memang lesunya bisnis ritel modern cukup mengejutkan. Sebab di saat yang bersamaan pemerintah mengklaim tidak ada yang salah dengan kebijakan ekonomi, namun faktanya toko ritel modern mengalami kelesuan hingga menutup gerainya.
Riset HaloMoney.co.id, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melansir industri ritel hanya mengantongi pertumbuhan di bawah lima persen sepanjang Januari-Juni 2017. Lesunya pasar ritel Indonesia juga tercermin dalam riset Global Retail Development Index yang dikeluarkan ATKearney, Juni lalu.

Tahun ini, Indonesia menempati posisi delapan atau turun tiga peringkat dari 2016. ATKearney menyebut penjualan
ritel di Indonesia mencapai US$ 350 miliar tahun ini, atau hanya naik 8,02 persen dari tahun lalu.

Menanggapi hal itu,Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Tjahya Widayanti mengatakan, kehadiran e-commerce tidak lantas menyebabkan toko ritel menutup gerai, karena masih banyak juga yang bertahan. Tidak ada sesuatu yang menunjukkan daya beli lesu yang menjadi pemicu. Pasalnya, jika melihat ritel keseluruhan, pasar tradisional juga bakal terkena imbas, tapi ternyata tidak terjadi.

“Sekarang diributkan bahwa kalah bersaing dengan online, apakah benar begitu? Karena beberapa ritel modern masih tetap eksis. Daya beli itu dilihat dari mana, karena kalau bicara keseluruhan, pasar rakyat kosong enggak? Kan enggak. Kalau bicara ritel secara keseluruhan, pasar rakyat juga ritel ya,” terangnya.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut berbicara terkait fenomena tersebut. Berdasarkan data pertumbuhan ritel mengalami peningkatan. “Namun kalau kita lihat dari sisi penerimaan perpajakan sampai September lalu, untuk ritel, PPN kita meningkat,” ujar Sri Mulyani, Jakarta, Oktober lalu.

Sementara, Bos BCA, Jahja Setiaatmadja menilai banyaknya ritel yang tutup dikarenakan adanya pelemahan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya membuat konsumen beralih ke toko online.

“Jadi begini daya beli masyarakat turun, penjualan secara online memang mempengaruhi toko ritel offline, mulai dari toko elektronik, fashion, sepatu, kosmetik dan industri tertentu sangat terganggu, semuanya migrasi ke online karena cost bisa lebih murah,” ujarnya dalam paparan kinerja kuartall III Bank BCA di Hotel Kempinski, Jakarta, Oktober lalu.

Belakangan ini masyarakat mulai meninggalkan pasar modern dengan skala besar seperti hypermarket dan beralih ke yang tempatnya lebih mudah dijangkau dari tempat tinggal seperti minimarket. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menilai peralihan ini cukup kuat. “Ada pergeseran, di mana masyarakat belanja untuk kebutuhan lebih sukanya datang ke minimarket. Ada pergeseran, artinya kuat di minimarket, turun di hypermarket,” ujarnya di Jakarta, November lalu.

Menurut Bambang, keberadaan e-commerce yang memiliki beragam produk tersebut memang saling berhadapan dengan ritel konvensional. “Banyak head to head dengan industri ritel, kita lihat banyak masyarakat belanja pakaian, elektronik dan seterusnya lewat online. Kita lihat jumlah yang beli lewat online 25 juta orang atau porsinya 9% dengan penetrasi USD5,6 miliar dan USD228 per orang, ini makin lama makin besar,” pungkasnya.

Bambang menambahkan, mungkin ada masalah dengan daya beli tapi kita juga tolong perhatikan di AS sektor ritelnya juga tumbang, banyak toko tutup karena e-commerce. Artinya ini tren dunia yang suatu saat akan masuk Indonesia dan mungkin gejalanya sudah mulai di Indonesia,” ujar Bambang.

Sejauh ini, Badan Pusat Statistik (BPS) belum bisa menangkap transaksi online atau informal, padahal jumlahnya banyak. Bambang akan meminta BPS ke depannya bisa mencatat denyut konsumsi, khususnya konsumsi dalam bentuk online, yang sebenarnya dari masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada kuartal III-2017 tumbuh mencapai 5,06 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) yang peningkatannya didorong oleh semua komponen. Seluruh komponen PDB pengeluaran tumbuh positif. Pertumbuhan yang tertinggi adalah ekspor yaitu 17,27 persen. Investasi yang ditunjukkan dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 7,11 persen. Sedangkan konsumsi Rumah Tangga (RT) tumbuh 4,93 persen dan konsumsi pemerintah paling rendah pertumbuhannya yaitu 3,46 persen.

Namun demikian, Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia William Tanujaya mengatakan tidak benar bila anggapan perkembangan e-commerce tanah air membuat bisnis ritel konvensional semakin meredup. Menurut dia, transaksi online baru 1% dari total (transaksi) ritel saat ini. Sehingga yang harus dicermati adalah kondisi makro ekonomi atau bisnis-bisnis tertentu. “Setiap hari pasti banyak toko-toko yang tutup, tapi banyak toko-toko yang buka juga,” ujar William saat acara Forum Ekonomi, kerja sama antara Bank Indonesia dan Harian Kompas di Hotel Pullman, Jakarta, Oktober tahun lalu.

Dia melanjutkan, kedepan bisnis toko online dan toko offline konvensional akan saling membutuhkan dengan adanya kolaborasi dalam proses bisnis keduanya. Saat ini, lanjut William, kepopuleran bisnis online juga dipengaruhi oleh kehadiran toko offline. “Kalau trennya ke depan, saya bilang offline dan online itu tidak saling membunuh tapi saling membutuhkan,” kata William.

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA/ Indonesia E-Commerce Association), Aulia Ersyah Marinto. Ia menampik jika mulai maraknya jual beli online berkontribusi besar pada tumbangnya para pemain ritel offline. Menurutnya, banyak alasan yang membuat pemain ritel akhirnya memilih menutup gerainya.

“Jadinya informasi yang saya dapat dari pelaku offline, mereka tutup karena banyak hal, seperti melakukan reposisi, enggak ada urusan sama online. Ini harus dicermati. Online juga tak ada kalau tidak ada offline. Kalau anda punya barang dijual online, itu juga dari offline. Atau orang buka online suplainya juga dari offline. Di satu titik, ada sinergi di situ, jangan dikotomi,” kata Auli, sebagaimana yang dkutip darik detik.com.

Di sisi lain ia juga mengakui bahwa di negara yang toko online sudah berkembang sangat pesat, turut berkontribusi pada lesunya penjalan di toko-toko offline. Namun kondisi di Indonesia jauh berbeda, dimana secara keseluruhan transaksi e-commerce baru di bawah 2%. “Di tengah terjadinya situasi ini (ritel lesu), di belahan dunia dikejutkan ritel offline terpukul karena berbagai macam faktor. Ekonomi global belum membaik, kemudian di negara tertentu offline terpukul karena digitalisasi yang sudah sedemikian masif,” ungkap Aulia.

Sementara CEO Blibli, Kusumo Martanto, menilai banyaknya toko ritel yang berguguran beberapa waktu lalu bukan karena hadirnya penjualan di online, melainkan adanya masalah internal perusahaan. Sehingga, diperlukan adanya perbaikan agar pengusaha ritel bisa mempertahankan usahanya.

Menurut Kusumo, yang dikutip dari merdeka.com, masalah belanja adalah soal kenyamanan pelanggan, baik di toko offline maupun online. Oleh karena itu, perlu ada peningkatan kenyamanan pelanggan belanja. “Jadi offline maupun online hanya medianya. Yang penting bagaimana toko offline bisa memberikan experience yang bagus juga seperti online. Online juga sama bagaimana bisa mendekatkan diri supaya experience sama seperti di offline,” imbuhnya.
Lebih ditambahkan, kelebihan dan kekurangan antara online dan offline, yaitu toko konvensional masih terkendala pada tempat. Di mana saat tempatnya jauh maka sulit untuk dijangkau. Selain itu pilihan barang tidak bisa banyak, investor terbatas. Dan kemudian banyak juga service.”Kalau di online kita bisa tahu yang beli sukanya ada semua data ada. Kalau di offline lebih susah,” tandasnya.

Ambil contoh Transmart sempat tidak diterima pasar pada tahun 2014. “Kami sempat gagal pada 2014 dan tidak diterima pasar, tapi kami terus berbenah dan melakukan inovasi sehingga pada 2015 berhasil dan diterima konsumen. Oleh karena itu kami terus melakukan ekspansi ke seluruh Indonesia dan sekarang Transmart menerapkan konsep 4 in 1,” katanya di sela-sela pembukaan Transmart Semarang, Juni tahun lalu.

President Director and CEO Trans Retail Indonesia Shafie Bin Shamsuddin mengatakan, konsep 4 in 1 yang dimaksud adalah belanja, bersantap, bermain dan menonton menjadi satu dalam sebuah kawasan Transmart. Menurutnya, konsep anyar tersebut diadopsi oleh seluruh gerai Transmart di Indonesia dan menyasar pasar keluarga. Bahkan konsep tersebut baru 40% karena ke depan gerai Transmart akan dikembangkan menjadi 5 in 1 hingga 6 in 1.
Shafie merinci, dari total 23 gerai yang dibuka tahun ini memiliki luas area mencapai 300.000 m2 . Harapannya, saat dibuka setiap gerai akan melayani 13.000 hingga 15.000 transaksi per hari dari sekitar 70.000 orang pengunjung.“Pertransaksi itu nilainya bisa Rp150.000 hingga Rp200.000. Rata-rata transaksinya seperti itu Transmart,” ujarnya.

Belajar dari keberhasil Transmart, maka bukan hanya semata-mata kehadiran e-commerce menjadi penyebab rontoknya sejumlah gerai ritel di Indonesia. Pasalnya, hal yang sama pun terjadi di negara-negara lain dunia. Untuk mengantisipasi kondisi seperti itu, perlu inovasi yang mampu memberi jawaban kebutuhan konsumen.
Konsumen juga manusia. Ia tidak hanya sekedar butuh produk-produk yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia juga butuh hiburan dan sebagainya. Gerai-gerai ritel yang mampu berinovasi untuk memenuhi kebutuhan terintegrasi itu, boleh jadi akan tetap eksis di tengah derasnya tren belanja online belakanagan ini.[]Yuniman T Nurdin