ISO 26000 Standard CSR: Sudahkan Diterapkan?

Pernahkah anda mendengar istilah ISO 26000? ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility (SR) . Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.

Perkembangan penyusunan dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.

Menurut catatan, Standar internasional ISO 26000 diterbitkan pada 1 November 2010 lalu. Standar ini dimanfaatkan pemangku kepentingan, stakeholder, dan praktisi Corporate Social Responsibility (CSR). ISO 26000 menjawab berbagai pertanyaan seperti “apakah penerapan CSR di perusahaan sudah betul ?” “Apakah penerapan ini diakui oleh pemangku kepentingan?”

Pasalnya bila korporasi, misalnya, memberikan bantuan uang, bahan makanan pokok atau membantu perbaikan sarana dan prasarana untuk umum atau masyarakat sekitar perusahaan, di mana perusahaan beroperasi, itu sama saja melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan berbagai pelatihan atau penyuluhan, jika kita bandingkan dengan apa yang diatur di ISO 26000, kegiatan hanya sebagian kecil saja dari ruang lingkup CSR.

Standar internasional ISO 26000 ini, sebagaimana dikutip dari Sekilas Panduan Penerapan CSR (ISO 26000) oleh: Versha, isoindonesiacenter.com termasuk cukup tebal jika dibandingkan dengan standar ISO yang lainnya, yaitu 118 halaman (termasuk cover dan lampiran-lampirannya). Di dalamnya mencakup beberapa bagian penting, misalnya:

  • Prinsip-prinsip dari CSR seperti akuntabilitas, transparansi, kode etis, perhatian terhadap pemangku kepentingan, aturan hukum, norma-norma internasional dan HAM.
  • Identifikasi dan kerjasama (engagement) dengan pemangku kepentingan.
  • “Core subject” dari CSR seperti tata kelola organisasi/perusahaan, HAM, buruh, lingkungan, praktek-praktek yang fair, isu-isu konsumen dan perlibatan dan pengembangan masyarakat. Masing-masing dari “core subject” ini mempunyai berbagai isu-isu CSR terkait.
  • Panduan teknis untuk menerapkan dan mengintegrasikan CSR di organisasi/perusahaan.

ISO 26000 merupakan  standar bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi seluruh sektor badan publik atau badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini, organisasi akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional, sebagaimana dikutip dalam artikel bertajuk: ISO 26000 Sebagi Standar Global Pelaksanaan CSR, oleh: Rendi Mahendra, isoindonesiacenter.com.

 Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah Social Responsibility akan mencakup 7 (tujuh) isu pokok yaitu :

  1. Pengembangan Masyarakat
  2. Konsumen
  3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
  4. Lingkungan
  5. Ketenagakerjaan
  6. Hak asasi manusia
  7. Organisasi Pemerintahan (Organizational Governance)

ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:

  • Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
  • Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder
  • Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
  • Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.

Sementara berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan Social Responsibility hendaknya terintegrasi dari seluruh aktivitas organisasi yang mencakup tujuh isu pokok tersebut. Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya memperhatikan satu isu tertentu saja, misalnya, namun perusaha perusahaan tersebut masih meiklankan penerimaaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhkan karyawan sesuai gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000, perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggungjawab sosial secara utuh, sebagaimana dikutip dalam makalah bertajuk: Implementasi ISO 26000 Dalam Praktek Aktivitas Corporate Social Responsibility di Indonesia, oleh : Septiana Ayu Esti Mahani, dalam Jurnal Manajemen Bisnis Performa, ejournal.unisba.ac.id/

Di Indonesia, menurut Septiana, pemetaaan pemangku  kepentingan tampaknya merupakan batu sandungan yang cukup serius. Kebanyakan perusahaan berasumsi mengetahui secara persis siapa saja pemangku kepentingannya. Padahal sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak penelitian, sebagian besar perusahaan itu mengidap penyakit “separu buta” dalam mengidentifikasikan pemangku kepentingannya. Definisi yang klasik dan juga yang dipakai oleh ISO 26000 menyatakan bahwa pemangku kepentingan adalah pihak yang bisa mempengaruhui atau terpengaruh oleh pencapaian tujuan organisasi.

Sementara kebanyakan perusahaan biasanya hanya mengenal pihak-pihak yang bisa berpengaruh terhadap bisnisnya. Padahal sebagian dokumen yang mendifinisikan tanggungjawab sosial sebagai tanggungjawab atas dampak, sangatlah jelas ISO 26000 memberikan penekan kepada mereka yang terkena dampak [] Yuniman Taqwa/foto ilustrasi utama: ist