PLTS Rooftop Perlu Kesadaran Semua Pihak

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Roof Top menjadi salah satu instrumen akselerasi penggunaan energi baru terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025. Untuk memberikan kontribusi signifikan pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap untuk mencapai 1 giga watt (GW) rooftop solar pada 2020. Fantastik…!

Upaya pemerintah meningkatkan pencapaian target penggunaan Energi Baru Terbarukan  (EBT) 23% di tahun 2025   terus dilakukan. Salah satu potensi yang dinilai cukup besar memberikan kontribusi terhadap pencapaian target tersebut adalah  memanfaatkan atap bangunan dan gedung dengan memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) RoofTop (atap).

Kementerian ESDM memperkirakan potensi PLTS yang dipasang di atap bangunan akan mencapai 1,8 Giga Watt (GW) sampai 2 GW, dalam dua tahun pasca diterbitkannya Peraturan Menteri No. 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Rooftop) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan.

“Kampanye PLTS Satu Juta Atap ini saya kira kampanye yang bagus sekali, acara ini merupakan bagian dari usaha kita memperoleh energi untuk kehidupan kita dengan sumber energi yang lebih bersih. Kalau kita bikin PLTS ini juga akan menghemat tagihan listrik, kan ini listriknya impor ekspor dengan PLN,” ujar Jonan mengawali sambutannya pada acara Kampanye Penggunaan Listrik Surya Atap, di Jakarta, minggu keempat Juli lalu.

Masyarakat seyogyanya jangan hanya berpikir untuk mendapatkan energi yang lebih hemat, tapi juga berpikir bagaimana mendapatkan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. “Cara berpikirnya itu jangan hanya kalau saya pasang ini akan mengurangi tagihan listrik, tetapi juga akan membantu penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan”, imbuh Jonan.

“Badan Usaha dan industri untuk memanfaatkan atap gedung-gedung yang mereka miliki, kan itu penampangnya besar sekali. Istana Merdeka sudah memasang 260 kWp atau 260.000 Watt, Kantor Kementerian ESDM sudah memasang 160 kWp, rumah pribadi saya juga sudah terpasang sebesar 15,4 kWp,” tambah Jonan lagi.

Kepada para Pemerintah Daerah Jonan juga meminta kontribusinya untuk peningkatan pemanfaatan PLTS Atap ini misalnya dengan mengeluarkan kebijakan atau peraturan daerah yang mendukung pemanfaatan PLTS.

“Misalnya Pemerintah Daerah bisa keluarkan aturan apabila ada pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang di atas lahan 200 m2 itu wajib memasang PLTS Atap. Misalnya 60% dari kapasitas listriknya yang dia berlangganan dengan PLN, nah kalau kebijakan ini bisa dilakukan, saya kira bisa jalan,” jelas Jonan.

Untuk meningkatkan pemanfaatan PLTS atap ini Jonan menyarankan agar badan usaha dan industri untuk mulai memanfaatkan atap bangunan dan gedung yang mereka miliki dengan memasang PLTS di atasnya.

Menteri ESDM ), Ignasius Jonan usai melakukan sosialisasi PLTS Atap, foto: doc. ESDM

Aturan ini dimaksudkan untuk membuka peluang bagi seluruh konsumen PT. PLN (Persero) baik dari sektor rumah tangga, bisnis, Pemerintah, sosial maupun industri untuk berperan serta dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi, khususnya energi surya.

PLTS Rooftop adalah sistem PV (Photovoltaic) yang lebih kecil dibandingkan dengan sistem PV yang dipasang di tanah, PLTS Rooftop dipasang di atap perumahan, bangunan komersial atau kompleks industri. Listrik yang dihasilkan dari sistem tersebut dapat seluruhnya dimasukkan ke dalam jaringan yang diatur dengan Feed-in-Tarif (Fit), atau digunakan untuk konsumsi sendiri dengan pengukuran net metering. Melalui sistem net metering tersebut, produksi listrik oleh pelanggan akan mengimbangi energi listrik dari sistem jaringan (PLN).

Di mana konsumen dapat menjadi produsen listrik yang dapat menjual listrik ke PLN. Sementara PLN perlu melihat PLTS Rooftop sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Implementasikan sistem PLTS atap ini, selain mengurangi tagihan listrik bulanan, juga ada peran serta nyata masyarakat ikut mengembangkan energi baru terbarukan.

Dirjen EBTKE, Rida Mulyana menyampaikan, Menteri ESDM sangat mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan dan peningkatan efisiensi energi serta mendorong ke arah penggunaan energi yang ramah lingkungan. “PLTS atap ini sedang populer dan sedang berkembang pesat, karena implementasinya mudah, sederhana dan kapasitas yang mudah diatur sesuai ketersediaan luasan atap, dengan memasang PLTS atap secara on grid, maka konsumen dapat menurunkan biaya tagihan listriknya secara signifikan, minimal 30%”, pungkas Rida dalam sebuah diskusi dalam rangka sosialisasi Peraturan Menteri No. 49 tahun 2018, di Jakarta pada Minggu keempat November tahun lalu.

Sementara Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris menjelaskan,  kita memasang PLTS atap, sebenarnya bukan jualan listrik. Itu rasanya kurang tepat, yang diutamakan adalah bagaimana kita bisa mengurangi tagihan listrik sambil memaksimalkan upaya penurunan gas emisi rumah kaca dan mendukung energi bersih.

Pokok-pokok yang diatur dalam peraturan Menteri ini antara lain ketentuan umum, penggunaan sistem PLTS atap, perhitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS atap, pembangunan dan pemasangan sistem PLTS atap, pelaporan, ketentuan lain dan ketentuan peralihan. Dalam aturan ini, kapasitas Sistem PLTS Atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PT PLN, kapasitas tersebut ditentukan dengan kapasitas total inverter.

Untuk energi listrik yang diproduksi PLTS Atap mayoritasnya digunakan sendiri, untuk kelebihan tenaga listriknya (excess power) akan diekspor ke PLN dengan faktor pengali 65%, dimana pelanggan bisa menggunakan deposit energi untuk mengurangi tagihan listrik bulan berikutnya. Perhitungan ekspor-impor energi listrik dari Pelanggan PLTS Atap ini mulai berlaku 1 Januari 2019.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 mengatur hal-hal mendasar untuk mendorong percepatan pembangunan energi surya, khususnya rooftop solar (panel surya)di Indonesia. Antara lain isinya mengenai ketentuan teknis mengenai kapasitas pemasangan panel di atap rumah atau gedungskema transaksi kredit listrik dengan PLN, prosedur perizinan dan pemasanganserta prosedur penggunaan rooftop solar bagi pelanggan industri.

IESR menilai apa yang diatur Permen tersebut berpotensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga dan industri. “Permen ESDM ini berpotensi membuang peluang dan kesempatan investasi rakyat terhadap 15-20 GW PLTS Atap,” ujar Direktur IESR Fabby Tumiwa, dalam diskusi media, minggu pertama Desember tahun lalu, di Jakarta.

IESR telah melakukan simulasi dan mencatat PLN hanya akan kehilangan revenue sebesar 0,42 persen jika target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap tercapai yaitu akumulasi 1 giga watt (GW) rooftop solar pada 2020. Dengan proyeksi pendapatan PLN sebesar Rp348 triliun, potensi revenue loss dengan adanya 1 GW solar rooftop berada di kisaran Rp1,5 triliun. Selain tarif ekspor listrik, akumulasi selisih kelebihan ekspor listrik rooftop solar ke PLN juga diperpendek dibanding peraturan sebelumnya, yaitu tiga bulan. Dengan periode yang jauh lebih pendek, excess power yang diekspor oleh pelanggan menjadi tidak berlaku setelah periode tiga bulan berakhir. “Jadinya didonasikan ke PLN,” ujar Fabby, sebagaimana dikutip dari hukumonline.com.

Sementara Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy N. Sommeng, mengatakan penerapan PLTS Atap di pelanggan PLN sebagai upaya pemerintah mendorong pemanfaatan EBT sebesar 23%  sampai 2025. Boleh jadi langkah ini sebagai  komitmen Pemerintah atas Paris Agreement yang telah ditandatangani pada 2015 lalu.

Menurut Andy, di era electricity 4.0, masyarakat dapat menjadi prosumen, yaitu produsen sekaligus konsumen untuk saling bertukar energi atau jasa satu sama lain dengan dukungan smart meter. Regulasi tentang PLTS Atap ini salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk mendefinisikan kembali pengalaman pelanggan, khususnya menghadapi era electricity 4.0 tersebut.

Di sisi lain, E Bawa Santosa, Executive Director Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan, PLTS Rooftop sudah menjadi primadona di berbagai negara. Setiap tahun negara-negara maju meningkatkan kapasitas PLTS untuk memenuhi kebutuhan listrik. Hingga 2015, kapasitas kumulatif PLTS di seluruh dunia sebesar 227 GW.

“China menempati peringkat pertama negara terbesar yang memiliki kapasitas PLTS mencapai 45 GW, disusul Jerman, Jepang dan Amerika Serikat. Indonesia diyakini memiliki potensi tenaga surya 10 kali lipat daripada Jerman. Namun, penerapan PLTS di Indonesia masih sangat kecil, yaitu sebesar 86 Mwp (0,02% terhadap potensi),” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari ge.com.

Sebagai informasi, teknologi PLTS Rooftop sudah banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. Di sebuah sekolah dasar Discovery Elementary School di Virginia, Amerika Serikat telah menerapkan Zero Energy Building yang memanfaatkan PLTS Rooftop di atap gedung sekolah tersebut. Listrik yang dihasilkan oleh PLTS disalurkan ke jaringan listrik utilitas untuk mengimbangi penggunaan listrik dari jaringan utilitas tersebut, sehingga transfer energi listrik tersebut menjadi seimbang. Jerman memiliki jumlah akumulasi PLTS terinstal lebih dari 38,25 GW. Dari total kapasitas tersebut, persentase PLTS Rooftop pada perumahan sebesar 9%, pada bangunan komersial sebesar 26% dan pada bangunan industri sebesar 24% dengan 1% dari selubung bangunan, dan sisanya 40% merupakan PLTS yang diinstal pada permukaan tanah.

Sementara salah satu contoh sukses GE bersama Negara Asia seperti yang dilakukan GE bersama Tata Power Renewable Energy (TPREL). Bersama anak perusahaan raksasa asal India, Tata Group, GE telah menandatangani perjanjian pembangunan PLTS Rooftop untuk enam lokasi manufakturnya di India. Proyek ini akan dilaksanakan dengan sistem Build-Own-Operate (BOO).

Instalasi proyek akan membantu menghasilkan lebih dari 1 juta kWh listrik per tahun, dan akan membantu menurunkan tarif listrik rata-rata 30%. PLTS Atap ini akan dipasang di pabrik di Durgapur di Bengal Barat, Pallavaram dan Hosur di Tamil Nadu, sebuah kawasan berikat industri di Pune. Pabrik lainnya yang akan dipasang adalah di Marhowra di Bihar dan fasilitas pemeliharaan di Roza di Uttar Pradesh.

Secara global, bisnis PLTS Rooftop GE akan ditangani GE Solar. Solusi dan teknologi PLTS Rooftop GE dirancang khusus mempertimbangkan integritas struktural bangunan, umur PV, fleksibilitas pemasangan dan faktor lingkungan luar seperti debu, hujan dan sebagainya. Tata letaknya akan memperhitungkan unit dan pemeliharaan di atap, berkoordinasi dengan pengelola lokasi PLTS Rooftop.

GE sengaja memilih fleksibilitas  dalam penawaran agar pelanggan bebas memilih produk, struktur keuangan, atau konfigurasi apa pun yang sesuai dengan kebutuhan. Ini demi mendorong ROI pelanggan dengan secepatnya

Akhirnya target Sejuta Surya Atap untuk mencapai 1 giga watt (GW) rooftop solar pada 2020 perlu kesadaran semua pihak. Koordinasi lintas sektor dengan frame energi bersih menjadi kunci keberhasilan program ini.

Yang lebih penting, implementasi PLTS Rooftop mampu menghemat biaya listrik anda, walaupun anda pelu merogok kocek pada saat instalasi awa. Bagaimana bung? [] Yuniman Taqwa