Menjaga Kebangkitan Nasional Suatu keniscayaan

Oleh : Yuniman Taqwa Nurdin

Pada 20 Mei kita peringati sebagai hari kebangkitan nasional. Rekam jejak sejarah pada 20 Mei 1908 berdirinya   organisasi Boedi Utomo. Pada masa itu pemerintah Belanda menerapkan politik etis dengan membantu orang-orang  terpelajar. Meskipun pada saat itu Budi Utomo masih besifat kedaerahan.

Walau Politik Etis Belanda  pada bidang pendidikan tidak memberikan kesempatan pendidikan yang luas kepada penduduk Hindia Belanda. Pemerintah Belanda hanya memberi kesempatan bagi anak-anak elit pribumi yang bisa mengenyam pendidikan. Sebagian besar pendidikan dimaksud untuk menyediakan tenaga kerja klerikal bagi birokrasi kolonial yang sedang tumbuh.

Momentum itu  mendorong munculnya sejumlah organisasi kepemimpinan pada paruh pertama abad ke-20. Pada November 1913, Soewardi Soerjaningrat membentuk Komite Boemi Poetera. Komite tersebut melakukan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis, tetapi dengan pesta perayaan yang biayanya berasal dari negeri jajahannya. Ia pun menulis “Als ik eens Nederlander was” (“Seandainya aku seorang Belanda”) yang dimuat dalam surat kabar de Expresm milik Douwes Dekker. Karena tulisan inilah Soewardi Soerjaningrat dihukum buang oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1920 berdiri Partai Komunis Indonesia (PKI).  Partai ini memperjuangkan kemerdekaan yang sepenuhnya diinspirasi oleh politik Eropa. Pada tahun 1926, PKI mencoba melakukan revolusi melalui pemberontakan yang membuat panik Belanda. Tak urung Belanda pun   menangkap dan mengasingkan ribuan kaum komunis sehingga secara efektif menetralkan PKI selama sisa masa pendudukan Belanda.

Pada 4 Juli 1927, Soekarno   dan Algemeene Studieclub memprakarsai berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia sebagai partai politik baru. Pada Mei 1928, nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, PNI merupakan partai politik  pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik. Baru pada 28 Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yang menetapkan tujuan nasionalis: “satu tumpah darah — Indonesia, satu bangsa — Indonesia, dan satu bahasa — Indonesia”.

Meskipun demikian, pendidikan Barat membawa serta ide-ide politik Barat tentang kebebasan dan demokrasi. Selama dekade 1920-an dan 30-an, kelompok elite hasil pendidikan ini mulai menyuarakan kebangkitan anti-kolonialisme dan kesadaran nasional.

Perubahan yang mendalam pada orang-orang Indonesia ini sering disebut sebagai “Kebangkitan Nasional Indonesia”. Peristiwa ini dibarengi dengan peningkatan aktivitas politik hingga mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Paling tidak, evolusi pergerakan kebangkitan nasional telah mencapai puncaknya, yaitu Indonesia merdeka. Kemerdekaaan itu dilandaskan ideologi Pancasila yang sampai saat itu tetap bertahan, walaupun banyak pihak yang “merongrong” untuk merubah ideologi yang telah menjadi kesepakatan para founding fathers bangsa ini.

Ideologi tersebut merupakan kesepakatan bersama yang harus dipertahankan, meski tak sedikit mencoba “menggoyang” Pancasila. Kelompok-kelompok bersimbol keagamaan  terus mencoba mengganti Pancasila menjadi Khilafah. Khilafah (bahasa Arab) didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin.

Khilafah dan Pancasila jelas tak bisa disatukan. Pancasila mampu mengakomodir kebhinekaan dengan banyak suku, ras dan agama, sehingga dapat menjadi “perekat” bangsa ini bisa bertahan di usia 77 tahun Indonesia merdeka. Walaupun berbagai upaya yang dilakukan untuk merubah ideologi Pancasila. Masih ingat pemberontakan PKI tahun 1948 oleh Muso di Madiun, Jawa Timur? Berhasil ditumpas. Hal yang sama pun terjadi pada 1965 – PKI pun berhasil ditumpas.

Tidak hanya itu, pemberontakan Kartosuwiryo pada 14 Agustus 1949 memproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia”. Gerakan yang dipimpin disebut “Darul Islam” (DI), sedangkan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Sehingga nama gerombolannya terkenal dengan sebutan DI/TII pun berhasil digagalkan.

Siapa pun yang mencoba “menggoyang Pancasila,  berakhir tanpa hasil. Ideologi–idelogi di luar Pancasila  tak akan mampu mengakomodir keanekaragaman bangsa ini. Namun demikian, kepentingan-kepentingan kapitalis global mencoba “menggoyang” Indonesia dengan berbagai cara. Pendekatan Agama, misalnya, kerap menjadi pemantik yang coba “digesek-gesek” untuk memecah belah anak bangsa.

Kesadaran kolektif kita belum setangguh “karang”, sehingga dengan sangat mudah dicekoki dengan pendekatan agama.  Ancaman infiltrasi ideologi, yakni paham radikalisme yang ingin menggantikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa bukan sebuah ilusi. Gerakan itu ada dan menyebar secara massif melalui media sosial (medsos).

Kini medsos menjadi “senjata” untuk mempengaruhi masyarakat sehingga terkontamisasi dengan paham-paham radikal. Diperlukan rasionalitas dalam mencerna pesan-pesan yang “berseliweran di medsos”. Fenomena ini tak bisa dianggap sepele. Bukan tidak mungkin banyak “anak negeri” yang bisa terpengaruh dengan model propaganda melalui medsos.

Gradasi intensitas pesan yang disampaikan sudah bukan lagi bersifat pemberitahuan atau persuasif. Tapi sudah mencoba membentur-benturkan (adu domba), sehingga membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kondisi demikian yang diharapkan oleh pragmatisme kepentingan politik.

Etika politik telah dikesampingkan hanya untuk tujuan merebut kekuasaan. Itu realitas yang mewarnai demokrasi di Indonesia belakangan ini. Persetan dengan masyarakat terpolarisasi akibat sosialisasi politik yang sengaja “mengkotak-kotakkan” secara “garis keras”, sehingga “lakon yang dipermainkan” berhasil mencapai tujuan.

Dalam kondisi demikian, apakah kebangkitan nasional yang dicanangkan para “bapak bangsa’ – 100 tahan silam masih terpatri dalam sanubari kita? Atau justru sebaliknya, kebangkitan nasional kita, mulai terkikis karena kepentingan-kepentingan sempit para elite, sehingga kita tidak lagi tertanam cinta tanah air.

Adalah suatu ironis bila pragmatisme dan transaksional “mengepung” pemikiran para elit, sehingga anak negeri yang “tidak berdosa” terkontaminasi dengan politik praktis gaya demikian.

Kita tak ingin bangsa ini “tercabik-cabik  karena egoisme segelintir elite demi kekuasaan. Oleh karena itu, kebangkinan nasional yang telah dibangun ratusan tahun lalu, tetap dijaga agar bangsa ini tetap utuh dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi perekat persatuan bangsa. Jangan sampai harta yang berharga itu tercabik-cabik. Terlalu mahal harga yang harus dibayar. Boleh jadi Indonesia akan terpecah belah menjadi beberapa negara. Kita tak ingin hal itu terjadi…![]  foto ilustrasi: ist

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.co