Menangkap Rekam Jejak Bisnis Sonny Jendriza Idroes

Baginya bisnis ibarat air mengalir yang lentur terhadap tantangan. Pengalaman hidup yang dialaminya menjadi guru, sehingga cepat beradaptasi terhadap situasi apa pun. Kuncinya adalah cepat lakukan business recovery!

Masih lekat dalam ingatan Sonny Jendriza Idroes ketika ayahnya meninggal dunia. Saat itu usianya baru 10 tahun. Ia dibesarkan seorang Ibu pegawai negeri yang mempunyai anak tiga. Ibunya harus “membanting tulang” membesarkan dan mendidik anak-anak agar bisa bersekolah. Itu sebabnya, ketika Sonny lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), ia berjanji tak ingin kuliah bila tidak diterima di universitas negeri.

Saat itu Ibu tercinta menangis mendengar putra bungsunya tidak mau kuliah kalau tidak diterima di perguruan tinggi negeri. “Ibu menangis mendengar pernyataan saya. Kata Ibu, kakak-kakakmu semua Ibu  kuliahkan,”  kata Sonny menirukan perkataan Ibunya. Sonny sadar kondisi keuangan Ibu tidak memungkinkan, bila harus kuliah di perguruan tinggi swasta. Tapi, namanya seorang Ibu, pasti diada-adakan, walaupun harus meminjam uang untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Kondisi itu yang tak Sonny inginkan!

Setelah lulus SMA, tambah Sonny,  ia sempat bekerja di perkebunan milik orang tua teman. Gajinya waktu itu hanya  Rp 75.000 per bulan, tapi mendapat makan. “Gaji pertama saya waktu itu saya kasih Ibu  semua,” kenang Sonny, anak bungsu dari tiga bersaudara.

Selama lima bulan bekerja, ia berpikir, mau jadi apa kalau kondisi ini harus dipertahankan! Singkat cerita ia putuskan berhenti. Ia mulai belajar lagi untuk persiapan masuk PTN. Alhasil  tahun kedua  setelah lulus SMA ia diterima di Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Sumatera Barat. “Padahal saya  dari jurusan IPS, tapi saya bisa diterima di Fakultas Pertanian yang seharusnya lulusan dari IPA,” kata Sonny kepada pelakubisnis.com minggu ketiga Mei lalu.

Karena berasal dari jurusan IPS, lanjut  Sonny, memang agak sulit mengikuti pelajaran di bangku kuliah. Itu sebabnya tak heran bila ia baru lulus kuliah setelah menjalankan pendidikan selama delapan tahun di kampus. Boleh jadi mahasiswa terlama mengenyam pendidikan di Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.

Walaupun diakui Sonny, malu menceritakan hal ini. Teman-teman ada yang  lulus tiga tahun delapan bulan. Namun demikian, kondisi itu tak membuat terjebak dalam pesimisme. Kehidupan yang dijalankan menjadi guru yang mengajarkannya tentang banyak hal. “Selama di bangku kuliah ia harus berusaha mencari uang. Saya dagang, menawarkan jasa dagangan sembako kepada orang tua teman-teman kampus,” tandas Sonny yang lulusan SMAN 35, Pejompongan, Benhil, Jakarta  pada tahun 1988.

Namun demikian, Sonny memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan almarhum ayahnya. Disiplin dan ketegasan dalam mengambil keputusan, prinsip hidup yang tak terkontaminasi dengan orang lain. “Filosofi itu yang ditanamkan ayah kepada anak-anaknya,” kata Sonny. Walaupun jujur diakuinya bahwa ia tergolong anak  nakal. Tapi satu hal yang dipegang teguh olehnya adalah, jangan sekali-kali mengambil hak orang lain.

Menurut Sonny, ia baru lulus kuliah pada 1997. Ia putuskan ke Jakarta lagi, mencari pekerjaan di sana. Saat itu niatnya cuma dua, yaitu: dapat pekerjaan terus menikah. Dalam tempo singkat ia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan asuransi sebagai agen asuransi. “Setelah dapat gaji pertama, saya langsung melamar pacar. Saya sudah pacaran dengan calon istri saya ketika masa kuliah, selama 1,5 tahun. Akhirnya lamaran saya diterima dan kami pun menikah,” kenang Sonny saat itu seraya menambahkan istri pertamanya seorang dokter kecantikan yang saat ini cukup populer.

Karena sudah menikah, menurut Sonny, banyak tantangan yang harus di hadapi. Bukan berarti di Padang tidak ada potensi yang bisa dieksplorasi.  Tapi karena  masih berjiwa muda, membuatnya ingin mencari tantangan  lebih besar dan menantang. Ia tak ingin hidup di zona nyaman. Di Sumatera Barat kurang menantang dan kurang menarik menurutnya saat itu. Di Jakarta diyakini lebih menarik dan menantang.

Di perusahaan asuransi itu ia hanya bertahan  empat bulan. Pada tahun 1998, seorang teman yang Bapaknya Kepala Kanwil Pertanian di Lampung menawarkan usaha pembibitan dan distribusi pupuk di sana. “Saya di sana membuka usaha pembibitan padi, pembibitan jeruk dan macam-macam jenis pembibitan tanaman,” ujarnya.

Memulai terjun ke bisnis justru di Lampung. Ia mendirikan  perusahaan yang bergerak di bidang trading dan pembibitan.  Saat itu menurut Sonny,  banyak permintaan bibit tanaman dari Jambi dan Bengkulu, selain permintaan dari Lampung sendiri.

“Kalau saya flashback kembali, bisnis saya di Lampung itu bisa dikatakan ada hasil dan tidak. Sebenarnya hasilnya ada, tapi hasilnya dilarikan oleh teman. Maksudnya tidak dibayar,” ungkap Sonny.

Namun  kejadian itu tak membuatnya patah  arang. Ia kembali ke Jakarta pada tahun 2000. Banyak hal yang dapat menjadi pelajaran. Satu prinsip yang harus dia bawa dalam berbisnis, yakni  harus  tegas. Harus ada perjanjian dan ketentuan-ketentuan perjanjian itu harus  diikuti semua. “Komitmen itu  tidak saya jalankan ketika membuka bisnis di Lampung. Saya cepat percaya dengan orang lain,” jelasnya.

Sonny pun merintis bisnis baru di Jakarta. Bisnis yang dibesut saat itu, membuka bisnis menjual obat-obatan di Pasar Pramuka dan mendirikan badan hukum baru yang bergerak sebagai kontraktor, lagi-lagi bekerjasama dengan seorang teman. Usaha kontraktornya  saat itu  mendapat order dari pengembang untuk membangun  perumahan di kawasan Cirendeu, Jakarta Selatan.

Lebih lanjut ditambahkan, di tahun 2000-an bisnisnya sedang  tumbuh tinggi-tingginya. Cari cuan Rp 5 juta sampai Rp15 juta perhari menurutnya saat itu gampang sekali. Tak dinyana, usaha trading obat-obatan dan kontraktor terus melesat. Dari hasil bisnis trading obat-obatan dan kontraktor, menurut Sonny, ia mampu meraup keuntungan besar. Ia mampu    membangun rumah  mewah  di atas lahan 1000 m2, di kawasan Jalan Darmawangsa, Jakarta Selatan.

Tapi lagi-lagi, ia dicurangi oleh mitra bisnisnya. Ini kejadian kali kedua ia bermitra, tapi teman bisnisnya melanggar komitmen terhadap hak dan kewajiban sebagai mitra bisnis.  Meski demikian, Sonny tetap berbuat baik terhadap teman tersebut. Tapi, ia tak percaya lagi dengan orang tersebut. “Walaupun kami tetap berteman, tapi kalau diajak bisnis lagi dengannya, saya tidak mau,” katanya.  Dari peristiwa-peristiwa tersebut ia belajar banyak tentang sifat-sifat manusia. “Ternyata di dalam diri manusia itu banyak “terselubung setan”, sehingga perilakunya tidak jujur. Manusia-manusia seperti itu banyak bertebaran di muka bumi ini,”kata Sonny.

Hingga suatu saat prahara datang dalam rumah tangganya yang berbuntut pada perceraian.   Singkat cerita di kisaran tahun 2003 ia bercerai dan meninggalkan rumah.

Pada waktu yang bersamaan, bisnis yang telah dirintis selama tiga tahun berakhir hancur karena ditipu teman. “Saya kembali  berjuang mulai dari nol. Saya tinggal di rumah kost di bilangan Radio Dalam dan mulai dengan bisnis baru lagi. Biasanya naik mobil mewah BMW , tapi tiba-tiba harus naik bajaj, naik ojek dalam aktivitas sehari-hari. Terbayang nggak saya dari hidup berkecukupan, tiba-tiba terjun bebas,” kenang Sonny yang pernah menjadi kandidat  Walikota Kota  Padang Panjang Sumatera Barat.

Walaupun di dalam hati, menurut Sonny, ada rasa takut kalau nanti anak-anaknya tidak mengenali siapa bapaknya. “Kenapa rasa takut itu muncul? Karena ibunya orang besar, bapaknya orang kecil. Selintas pernah terpikirkan hal itu,” tambah Sonny yang mempunyai 2 anak dari perkawinan pertamanya.

Beruntung jaringan bisnis obat-obatan, menurut Sonny, masih mempercayainya. Ia pun memulai bisnis distribusi obat-obatan kembali. Perlahan tapi pasti bisnis distribusi obat-obatan berjalan lancar. Pasalnya, jaringan bisnis ini sudah ia kuasai.  Dan bisnis ini pun tak berlangsung lama, hanya sekitar satu tahun, sampai tahun 2004.

Kemudian ia bertemu dengan partner bisnis barunya yang ternyata   teman di SMP semasa di Padang.   Sonny,  dengan partner bisnis baru membuat souvenir untuk perusahaan-perusahaan  atau produk-produk barang promosi perusahaan pada tahun 2005. “Bersama partner bisnis ini, kami menjalankan beberapa bisnis  dan akhirnya dia  menjadi istri saya,” cerita Sonny yang kemudian menikah dengan pengusaha Irda Susanti pada 2007.

Sonny pun  tak perlu waktu lama untuk me-recovery bisnis bersama istri barunya. Bisnis yang dijalankan bersama istri, salah satunya di bidang advertising dan memasok produk promosi (merchandise). Bisnis yang dijalankan cukup terintegrasi. Ada bidang konveksi, percetakan, periklanan  dan lain-lain yang dimana satu bidang dengan bidang lainnya saling mendukung.

Tsamara Resto adalah bisnis yang ia besut bersama Irda. Di awal pembangunan ia tidak mengikutisertakan istrinya sebagai salah satu strategi agar pembangunan proyek berjalan lancar. “ Ketika lahannya sudah jadi bangunan, baru di situ saya biarkan dia berkreasi sesukanya, mau dibuat konsep apa saya serahkan ke dia. Konsep dalam resto ini yah hasil ide istri saya,”tukas Sonny.

Alhasil, Tsamara Resto semakin bertumbuh hingga kini. Bersinergi dengan istri berupaya membesarkan bisnis resto dan menurutnya tak ada lagi ambisi besar seperti waktu muda. “Ibaratnya, sekarang ini saya sudah balik modal. Bukan balik modal soal angka, tapi anak-anak saya sudah menikah dan sudah menjalani kehidupannya masing-masing. Kalau dulu  di usia produktif saya memang banyak coba macam-macam usaha, sampai ikut mencalonkan diri sebagai walikota. Itu juga karena bisikan orang lain, diri saya pribadi sebenarnya tidak ambisi kesitu,”aku Sonny yang meski sudah di zona nyaman, di usia 53 tahun ini  ia masih aktif mengelola usaha.  Namun asam garam kehidupan berbisnis sudah ia dapat benang merahnya, bahwa jika berbisnis dengan orang lain, kita harus tegas karena sampai hari ini menurutnya 99,9% manusia tidak ada yang jujur! [] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa