Ekonomi kreatif Bukan Komoditi, Tapi Inovasi

Oleh: Yoris Sebastian

Tak terasa Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sudah berusia tiga tahun. Banyak hal yang berhasil ditransformasi dalam rangka melakukan pengembangan Ekonomi Kreatif. Salah satunya adalah dihapuskannya negative list investasi di industri perfilman. Boleh jadi hal ini akan mendorong investasi asing masuk ke Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Peraturan ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2016, menggantikan peraturan lama, Perpres No. 39 Tahun 2014.

Sebanyak 35 bidang usaha dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Salah satunya industri perfilman. Dibukanya kran investasi di sektor ini, akan memungkinkan banyak film Indonesia bakal diproduksi dengan pembiayaan investor asing. Pasalnya, investor lokal masih terkendala dalam pembiayaan dalam pembuatan film nasional.

Pada tahun lalu, misalnya,  ada dua investor asal Korea Selatan dan Singapura yang melakukan aksi korporasi terhadap perusahaan bioskop Tanah Air yakni CGV dan GIC. Rencananya CGV  berencana membuka bioskop ke-10 di Gresik. Hingga 2020, CGV akan menambah sekitar 90  bioskop di Indonesia, paskah aksi korporasi  Blitz megaplex menjadi CGV Cinemas setelah dimiliki oleh perusahaan Korea Selatan CJ CGV.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi domestik di Indonesia di sektor film mencapai Rp1,8 miliar, sedangkan investasi asing mencapai US$250.000 sepanjang semester I/2017. Dengan masuknya invetasi asing di industry perfilman ini, akan mempercepat akselerasi pertumbuhan industri film yang saat ini hanya memberikan kontribusi PDB Ekonomi Kreatif hanya sebesar 0,16% dari nilai PDB sebesar Rp 852,24 triliun pada tahun 2015.

Sejauh ini Pemerintah semakin sering memfasilitasi para pelaku ekonomi kreatif di ajang internasional. Bagi para kreator momentum ini dapat dijadikan studi banding dan sekaligus  benchmark untuk evaluasi, sehingga diharapkan pelaku ekonomi kreatif bisa lebih inovatif sesuai dengan selera pasar.

Walaupun sejak dulu dominasi subsektor kuliner, fesyen dan kriya mendomiasi kontribusi PDB ekonomi kreatif. Ketiga sektor memberi sumbangan lebih dari 74% dari 16 subsektor ekonomi kreatif yang ada. Diharapkan ke depan subsektor-subsektor lainnya bisa lebih ditingkatkan kinerjanya.

Namun demikian ke depan diharapkan  akan hadir brand-brand lokal yang bukan hanya menjual barang atau jasa semata, tapi juga menjual intellectual property mereka. Hal ini bukan tidak mungkin! Uniqlo, misalnya, Merek pakaian ini tidak memiliki pabrik, tapi pemiliknya orang terkaya di Jepang. Uniqlo lebih focus di bidang riset dan pengembangan.

Tadashi Yanai adalah CEO Fast Retailing Co, pemilik merek pakaian Uniqlo. Perusahaan ini mencakup sejumlah merek di bawah payung mulai dari memasukkan Uniqlo, Helmut Lang, dan teori, Comptoir des Cotonniers, Princesse Tam.Tam, J Brand dan G.U. Merek ini telah merambah pasar Asean, termasuk Malaysia dan Indonesia. Sang pendiri perusahaan ini, telah menjadi miliarder, dan merupakan orang terkaya di Jepang saat ini, dengan aset harta mencapai 304 triliun rupiah.

Sebagai lembaga yang membantu Presiden mensinkronisasikan berbagai sektor agar melahirkan kebijakan, maka ke depan Bekraf mungkin bisa sinergi dengan Badan Usaha Milik negara (BUMN) untuk membiayai riset bidang ekonomi kreatif, sehingga bisa maju di bidang inovasi utamanya, bukan komoditinya.

Mengingat secara kreatif Indonesia lebih unggul dibandingkan Singapura. Namun demikian, secara strategi justru Singapura lebih unggul dibandingkan kita. Sadar akan kelemahan itu, Pemerintah Singapura lebih intens berinvestasi di bidang industri kreatif melalui sejumlah startup di Silicon Valley. Pemerintahnya meminta membuka kantor di kawasan Asia di singapura. Akibatnya iklim kreatif yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan tersebut berdampak ke komunitas lokal karena lingkungan kreatif di sana menunjang.

Bekraf baru tiga tahun terbentuk. Kendati usianya baru seumur jagung, tapi Saya menaruh harapan besar bahwa badan ini akan berhasil. Kita bisa lihat Singapore Tourism Board juga hanya berbentuk badan bukan kementrian namun berhasil mendatangkan begitu banyak turis ke Singapora.

Sebab selama ini awareness Industri Kreatif kita sudah bagus dan tinggi sekali, sekarang bagaimana kita menampilkan wajah-wajah baru di Industri Kreatif sehingga memancing lahirnya creativepreneur lainnya. Yang sudah sukses adalah industri interactive dimana kita bisa melihat keberhasilan Tokopedia dan GO-JEK yang para pengusahanya berusia kisaran 30-an tahun.

GO-JEK, umpamanya,  dimana pertumbuhannya meningkat dengan memberdayakan orang-orang yang sudah memiliki  kendaraan motor sendiri. Tukang ojek yang tadinya berpenghasilan Rp 1,5 juta kini rata-rata bisa dapat Rp 4,5 juta alias 3 kali lipat. Itulah industri kreatif.

Contoh lain adalah Chef Afit dengan Holycow Steaknya  yang memulai dari kecil. Dari warung pinggir jalan dan kini sudah tersedia di berbagai kota di Indonesia. Cara dia membangun bisnis kulinernya cukup kreatif.  Walau tentunya industri kreatif tidak selalu harus dengan angka yang bombastis. Ni Luh Jelantik  juga yang tetap setia dengan jalur handmade misalnya.

Berdasarkan pantauan saya dari berbagai kota yang dikunjungi untuk kasih seminar atau workshop seputar creativepreneur, masih terlalu banyak menemukan pedagang bukan kreator. Bukannya pedagang tidak bagus lho, namun peningkatan value tidak bisa terlalu besar kalau kita sebagai trader. Berbeda kalau kita sebagai creator, peningkatan value akan besar karena akan melahirkan kreasi-kreasi baru.

Dan yang tak kalah penting adalah masalah paten. Masih terlalu banyak pelaku industri kreatif yang belum mau mematenkan merek maupun design industry untuk produknya. Kepastian hukum dan penegakan hukum diharapkan harus diperhatikan sebagai langkah antisipasi bila suatu waktu ada pihak yang mengakui karyanya. Sebagai contoh pemilik paten merek tongsis dari Indonesia, sayangnya  tidak mematenkan ‘selfie stick’  dan juga desain industri.

Sementara dalam mensosialisasikan pentingnya mematenkan merek, kita melakukan testimoni dari pemilik paten merek yang kini menikmati uang dari kepemilikan nama yang mereka patenkan. Tongsis misalnya. Padahal biaya mematenkan merek tidak terlalu mahal, hanya sekitar Rp 1 juta. Dalam konteks demikian, yang diperlukan adalah awareness nyata bukan bantuan dana.

Berbeda dengan desain industry yang biayanya cukup mahal. Seperti tongsis kalau desain industrinya (waktu saya check di New York biayanya US$5000) dibayarkan oleh negara, lalu tongsis meledak. Semua orang di seluruh dunia harus bayar royalty ke innovator tongsis dan dari royalty tersebut tentunya ada pajak untuk negara.

Dan yang menarik adalah generasi muda di industri kreatif ini punya purpose yang baik. Tidak sekedar berbisnis, namun ada unsur kebaikan di sana. Saya bertemu dengan orang kreatif Indonesia yang bekerja di Google atau Facebook, semuanya punya visi jangka panjang untuk pulang ke Indonesia dan memajukan negaranya.

Akhirnya Presiden Joko Widodo ingin duta besar Indonesia jadi marketer untuk industri kreatif kita, maka diperlukan atase industri kreatif di setiap kedutaan yang menjadi prioritas utama Bekraf. Atase ini bertugas untuk mencarikan berbagai informasi yang diperlukan oleh seorang creativepreneur menembus pasar tersebut. Jadi sebelum berjualan, kita perlu memberikan insights bukan sekedar informasi perizinan yang diperlukan.[]

 

*Penulis adalah Founder & Creative Thinker of OMG Consulting