Kondisi Ekonomi Global, Membuat Industri Mamin Galau

Industri makanan dan minuman memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Potensi industri ini bisa menjadi champion, karena supply dan demand nya besar. Salah satu kunci daya saing  di sektor ini adalah food innovation and security.

Industri makanan dan minuman, kata Airlangga, konsisten memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Potensi industri ini di Indonesia bisa menjadi champion, karena supply and user-nya banyak. Salah satu kunci daya saing  di sektor ini adalah food innovation and security.

Meski  2019 digelar pesta demokrasi, (pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD dan DPD), tapi perhelatan tersebut belum mampu secara signifikan mendongkrak pertumbuhan industri makanan dan minum.  Diprediksi pertumbuhan di sektor ini pada 2019 berada di kisaran 8% – 9%.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memprediksi tahun politik menjadi momentum cukup menguntungkan bagi industri makanan dan minuman (mamin). “Pemilu pasti banyak kegiatan berkumpul, paling tidak kegiatannya butuh logistik (makanan dan minuman),” kata Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman.

Wakil Ketua Umum GAPMMI, Rachmat Hidayat menjelaskan, pesta demokrasi tersebut bakal memacu pertumbuhan sektor mamin olahan nasional yang selama ini menjadi kontributor terbesar PDB industri. Konsumsi mamin biasanya meningkat tajam saat musim kampanye pilpres, dengan jenis yang laris terutama minuman dan makanan ringan.

Sementara Kementerian Perindustrian mencatat pada kuartal III 2018 industri makanan minuman tumbuh sekitar 10,7%, melampaui pertumbuhan ekonomi di periode yang sama sebesar 5,17%. Sektor makanan dan minuman Indonesia memiliki potensi pertumbuhan besar. Hal itu lantaran didukung sumber daya alam yang berlimpah dan permintaan domestik yang besar.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengapresiasi industri makanan dan minuman yang cepat menerapkan digitalisasi. Kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 6,31% dan bisa terus naik pada tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan ekspor periode Januari-September 2018 untuk industri makanan tumbuh sebesar 3,22% dan untuk industri minuman tumbuh sebesar 13,00%.

Walaupun Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menurunkan target pertumbuhan industri tahun 2019. Kementerian hanya mematok pertumbuhan industri sebesar 5,4%; lebih rendah dibandingkan target pertumbuhan industri pada 2018 sebesar 5,6%. “Kita melihat outlook ke depan itu sinkronisasi dan harmonisasi dibutuhkan,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menggelar konferensi pers di Jakarta, pada 19/12 lalu.

Namun demikian, industri makanan dan minuman diproyeksikan akan tumbuh mencapai 9,86% pada 2019. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar menyampaikan, target pertumbuhan industri 2019 tersebut menyesuaikan dengan kondisi perekonomian global. Masalahnya berbagai negara saat ini tengah berupaya memproteksi pasarnya.

Pertumbuhan industri mamin diprediksi bisa menyentuh 10% pada 2019, dibandingkan proyeksi tahun ini 8%. Itu artinya, konsumsi mamin domestik 2019 bisa menyentuh Rp 1.700 triliun, dari proyeksi 2018 sebesar Rp 1.550 triliun.

Sementara Rachmat mengungkapkan, industri mamin mulai menaikkan produksi kuartal IV-2018 untuk mengantisipasi lonjakan permintaan tahun depan. Kenaikan produksi itu juga untuk mengantisipasi kenaikan konsumsi mamin momen Hari Raya Natal dan Tahun Baru.

Boleh jadi fenomena tersebut merupakan indikasi suatu harapan bagi kita. Masa mendatang, industri makanan dan minuman nasional akan terus menunjukan perkembangan  positif dan memberikan kontribusi lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Adhi S Lukman, sebagaimana dikuti dari katadata.com, mengatakan, prospek pertumbuhan industri makanan minuman pada 2019 masih cukup positif. Peningkatan rata-rata jumlah penduduk sekitar 4 juta per tahun, akan menjadi penyumbang utama pertumbuhan. Sementara agenda politik 2019 tak terlalu besar mengerek konsumsi makanan minuman.

Pertumbuhan industri makanan dan minuman diprediksi akan melandai pada 2019. Biaya produksi yang naik pada 2018, membuat pelaku industri makanan dan minuman akan menaikkan harga jual produknya rata-rata sekitar 5 persen pada akhir tahun. Akibatnya keuntungan yang didapatkan oleh industri makanan dan minuman menjadi sangat tipis saat ini.

Di samping itu, menurut Adhi, daya beli masyarakat yang menurun terjadi di segmen menengah ke bawah. Produk makanan olahan yang banyak dikonsumsi segmen ini, seperti mie instan, penjualannya tidak sebaik yang diharapkan. Padahal produk tersebut hampir menjadi makanan pokok di segmen menengah ke bawah. “Harga komoditas perkebunan dan pertambangan yang menurun juga mempengaruhi segmen menengah bawah,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari bisnis.com.

Adhi menambahkan, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menyebabkan produk-produk dari negeri Tirai Bambu menjadi lebih mahal jika masuk ke negara Paman Sam. Akibatnya mereka menjadi sedikit kalah saing. Kondisi itu memaksa industri Tiongkok untuk mengalihkan penjualannya ke negara lain. “Biar bagaimana pun mereka kan harus jualan, sementara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan pasar yang empuk dengan jumlah penduduknya yang besar. Tidak heran jika sekarang kita banyak digempur barang impor Tiongkok,” ujar dia di Jakarta, 9/12, sebagaimana dikutip dari pikiran-rakya.com.

Padahal lebih dari 90 persen produk industri makanan dan minuman Indonesia dipasarkan di dalam negeri. Banyaknya produk impor menimbulkan persaingan bagi produk makanan dan minuman lokal. “Apalagi bea masuk ke Indonesia nol persen,” ujar dia.

Sementara pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), boleh jadi menjadi salah satu kendala yang dihadapi industri makanan minuman. Masih banyak kendala yang dihadapi di lini industri ini.  Bahan baku yang masih impor, misalnya, akan mempengaruhi biaya produksi. Misalnya  gandum sebagai bahan baku utama tepung terigu yang 90%-100% masih berasal dari impor, kemudian gula 80%, garam 70%, susu 80%, kedelai 70% dan jus buah 70%.

Beberapa produsen juga mulai menyiasati kenaikan biaya produksi dengan melakukan efisiensi seperti dengan menggunakan bahan baku alternatif, menyiasati dari segi ukuran maupun kemasan.

Karenanya, untuk merespon depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sejumlah industri makanan minuman pada awal tahun depan berencana menaikan harga sebesar 5%. “Produsen makanan minuman besar, termasuk juga pada retail modern masih menahan kenaikan harga hingga tahun depan untuk menjaga daya beli masyarakat,” kata Adhi, masih dari sumber katadata.

Institute For Development of Economics and Finance (Indef) dalam rilisnya pada 28/11, lalu memperkirakan prospek industri makanan dan minuman di tahun 2019 bakal tumbuh sekitar 8,5% yoy. “Industri makanan minuman menjadi sektor yang kami harapkan bisa terdorong dari kontribusinya yang besar bagi ekonomi nasional dan konsumennya besar juga,” kata Ekonom Indef Eko Listiyanto.

Indef mematok target pertumbuhan terbilang moderat bagi industri makanan dan minuman. Sebab, tantangan yang mesti dihadapi industri ini tahun depan cukup kompleks. Perlambatan ekonomi dunia yang berpotensi menggerus permintaan sehingga industri makanan dan minuman berorientasi ekspor akan tertekan. Lantas, langkah perluasan pasar ke negara-negara tujuan baru mesti dilakukan.

Fluktuasi nilai tukar rupiah juga diproyeksi Indef masih akan berlanjut di tahun depan, meski belakangan menunjukkan penguatan. Depresiasi kurs ini bakal memengaruhi industri makanan dan minuman, mengingat masih besarnya bahan baku dan penolong yang diimpor.

Menurut laporan Bank Indonesia (BI), nilai tukar Rupiah bergerak sesuai dengan mekanisme pasar dan konsisten mendukung penyesuaian sektor eksternal. Rupiah pada November 2018 menguat sebesar 6,29% secara point to point dibandingkan level bulan sebelumnya, dipengaruhi aliran masuk modal asing yang cukup besar akibat dampak positif perekonomian domestik yang tetap kondusif dan eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok yang sempat mereda.

 

Sedangkan Desember 2018, Rupiah mendapat tekanan dipengaruhi kembali meningkatnya ketidakpastian global serta meningkatnya permintaan valuta asing musiman untuk kebutuhan akhir tahun. Ke depan, BI  terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamental, dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar dan mendukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.

Meskipun demikian, menurut Adhi, yang paling banyak mempengaruhi melambatnya pertumbuhan adalah kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia. Hal itu menyebabkan ongkos pinjaman untuk produksi menjadi bertambah. “Ini yang lebih banyak menyebabkan margin pengusaha menjadi menipis,” ujar dia.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 19-20 Desember 2018 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan sebesar 6,00%. suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Sementara Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani memprediksikan pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,2 persen. Hal itu lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,3 persen. Ketidakpastian ekonomi global menimbulkan tekanan pada dunia usaha. Hal itu terutama perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat‎. “Saat ini memang ada gencatan senjata selama 90 hari antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Namun kan belum ada kesepakatan lebih lanjut,” ujarnya dikutip dari sumber pikiran-rakyat.com.

Adhi pun berharap pemerintah segera mengatasi masalah nilai tukar rupiah yang cukup memberatkan kinerja industri, seperti dengan membenahi kebijakan yang bisa berdampak terhadap penurunan ongkos logistik, mendorong ketersediaan bahan baku dalam negeri atau pembenahan hulu dan hilir untuk industri mamin jika ingin menjadikannya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut ditambahkan, kebijakan jangka pendek pemerintah dengan pemberian insentif seperti subsidi bunga ekspor serta melalukan percepatan perundingan kerjasama dagang agar pelaku industri bisa segera melakukan penetrasi produknya ke negara tujuan ekspor yang belum pernah dijangkau.

Airlangga  mengatakan, sektor unggulan yang akan menopang pertumbuhan manufaktur pada tahun depan (2019), antara lain industri makanan dan minuman, kimia, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, serta kosmetika. Pemerintah terus berupaya memformulasikan skema insentif fiskal yang lebih menarik sesuai kebutuhan pelaku usaha saat ini. Fasilitas perpajakan dinilai mampu meningkatkan investasi sekaligus memacu pertumbuhan di sektor industri manufakur.

Dia mengatakan,‎ pemerintah terus berupaya memformulasikan skema insentif fiskal yang lebih menarik sesuai kebutuhan pelaku usaha saat ini. Fasilitas perpajakan dinilai mampu meningkatkan investasi sekaligus memacu pertumbuhan di sektor industri manufakur.

Menurut Airlangga, ‎saat ini pelaku industri nasional tengah bergairah untuk melakukan ekspansi. Hal itu tak lepas dari kebijakan pemerintah yang pro pengusaha. “Beberapa insentif yang tengah ditunggu para pengusaha, antara lain adalah  super deductible tax dan aturan terkait pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM),” ujar dia, sebagaimana dikutip dari pikiran-rakyat.com.

Sementara Kementerian Perindustrian terus berupaya meningkatkan inovasi dan daya saing industri makanan dan minuman (mamin) seiring dengan ditetapkannya sektor ini sebagai salah satu dari lima sektor implementasi Industri 4.0 di Indonesia. “Industri mamin berperan penting terhadap pemerataan usaha di Tanah Air, dimana para pelakunya sebagian banyak berskala industri kecil dan menengah,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis sebagaimana dikutip Antara.

Airlangga menambahkan Kemenperin bersama GAPMMI mendorong untuk membangun innovation center. Dengan adanya pusat inovasi tersebut, pelaku IKM sektor mamin juga diharapkan dapat memanfaatkan pengembangan teknologinya sehingga produk yang dihasilkan mampu bersaing di pasar domestik dan memenuhi kebutuhan ekspor, sebagaimana dikutip dari mediaindonesia.com.

Bila instrument dan kebijakan tersebut dapat terealisasi, maka industri mamin  dapat menjadi salah satu industri yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomi nasional. Sebab, jangan sampai pasar Indonesia yang besar menjadi sasaran empuk bagi produk-produk mamin impor. [] Yuniman Taqwa