PLTS Akan dikembangkan Secara Masif Pada Tahun 2030

Laporan  The Indonesian Institute for Forest and Environment (RMI) dan Bezos Earth Fund menunjukkan bahwa secara global PLTS telah tumbuh 24 persen per tahun selama lima tahun terakhir. Indonesia mulai “berlari mengakselerasi PLTS”. Bagaimana progresnya?

Menurut prediksi German Federal Government, sumber energi primer dunia hingga tahun 2100, menunjukkan bahwa mulai 2030 sumber energi primer yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dunia (minyak, batubara dan gas bumi) akan mengalami penurunan drastis dan akan digantikan dengan sumber energi terbarukan terutama energi surya.

Apalagi harga energi terbarukan ke depan semakin menurun. International Renewable Energy (IRENA), sebuah organisasi yang memiliki sekitar anggota 150 negara, mengeluarkan sebuah laporan tentang tren harga energi terbarukan. IRENA mengatakan biaya untuk membangkitkan listrik energi matahari telah turun sebanyak 73% sejak tahun 2010.  Biaya pembangkit tenaga matahari telah turun menjadi USD 0,1 per kwh. Di Indonesia harga listrik tenaga surya turun jadi US$3 sen hampir Rp500 per KW.

Namun demikian, akselerasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) belum sekencang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara. Tapi, transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi suatu keniscayaan menghadapi net zero emission pada tahun 2060. Menurut Christoper, memang investasi awal energi surya lebih mahal dibandingkan energi berbasis fosil. Tapi jangka panjang  energi ini sangat efisiensi dibandingkan energi berbasis fosil  “cost production energi ini hanya sekitar Rp 400 per KWa,” kata Christoper Liawan, Chief Executive Office (CEO) PT Solar Karya Indonesia (SKI)  kepada pelakubisnis.com, minggu kedua, November lalu.

Peluncuran PLTS Cirata/Foto: Ist

Walaupun saat ini industri PV (Photovoltaic)  atau   solar panel di Indonesia  sudah ada, tapi sifatnya masih laminating, belum sampai ke industri hulu. Idealnya, kalau marketnya sudah cukup, maka sampai sektor hulunya lengkap. Apalagi raw material pembuatan sel surya, seperti pasir selika cukup banyak di Indonesia, sehingga industri hilir solar panel di Indonesia tidak tergantung dari luar negeri.

Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pemanfaatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia hingga semester I-2023 secara keseluruhan mencapai 12.736,7 Megawatt (MW). Dari jumlah itu, sebanyak  322,6 disumbang dari PLTS.

Memang angka tersebut masih sangat kecil. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi EBT yang berlimpah mencapai 3.687 GW, terdiri dari potensi surya sebesar 3.294 GW, potensi hidro 95 GW, potensi bioenergi 57 GW, potensi bayu 155 GW, potensi panas bumi 23 GW, potensi laut 63 GW.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Parada Hutajulu mengatakan kebutuhan listrik di Indonesia akan melonjak hingga 4,2% di tahun 2024 dari tahun 2023 ini yang menncapai 283,12 tera watt hour (TWh). “Kami sudah hampir menyelesaikan RUKN (rencana umum ketenagalistrikan nasional). Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan kami tetapkan dan sudah ada pembahasan dengan RUPTL (recana usaha penyediaan tenaga listrik), ternyata in line (RUPTL dengan RUKN), ” ujarnya pada acara Pembukaan Pameran Hari Listrik Nasional, di BSD, pada 14/11.

Jisman megatakan, RUKN yang hampir selesai disusun tersebut di dalamnya mencakup pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang akan dikembangkan secara masif pada tahun 2030 mendatang.

Menurut Jisman, pengembangan PLTS dilakukan lebih dulu karena modal yang dibutuhkan lebih rendah dengan memanfaatkan bendungan atau waduk yang juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga hibrida (PLTH), menggunakan konsep PLTS terapung sebagai solusi keterbatasan lahan di daratan.

Selama ini, membangun PLTS memerlukan lahan yang luas. Sebagai contoh, 1 hektar lahan untuk pembangunan PLTS hanya menghasilkan 0.8 MW. Sementara pembebasan lahan  menjadi masalah tersendiri. Kecuali seperti program PLN, yang mana waduk-waduk milik PLN untuk Pembangkit Tenaga Air (PLTA), di atasnya dibangun PLTS terapung, sehingga tidak ada pembebasan lahan.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata 192 MWp, pada 9/11 di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Presiden mengatakan infrastruktur ini merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dan ketiga di dunia.

“Hari ini merupakan hari yang bersejarah, karena mimpi besar kita untuk membangun pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dalam skala besar akhirnya bisa terlaksana. Dan, kita berhasil membangun salah satu pembangkit listrik tenaga surya terapung yang terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia,” ujar Presiden.

PLN melalui anak-anak perusahaan melakukan akselerasi membangun banyak PLTS di tanah air/Foto: pelakubisnis.com

Presiden mengatakan, pengoperasian PLTS terapung ini dapat terlaksana atas kerja sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT PLN Persero, serta Masdar dari Uni Emirate Arab. Keberadaan PLTS ini, kata Presiden, akan menambah pasokan listrik yang saat ini berkapasitas 1.000MW. “Di Cirata ini sudah ada PLTA dengan kapasitas 1.000 MW dan sekarang ditambah dengan PLTS Terapung sebesar 192 MWp. Ke depan, kalau dimaksimalkan bisa  menambah kurang lebih 1.000 MWp. Jadi, nanti tenaga airnya bisa untuk energi hijau juga,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI)  Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa para pengembang anggota AESI berhasil menjalin kontrak pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan total kapasitas 134 Mega Watt (MW) sampai semester I 2023.

“Kabar baiknya adalah ada 541 MW sampai tahun 2023 yang ada di pipeline (antrian), kami hendak melaporkan bahwa 134 MW yang sudah kontrak sampai dengan semester I 2023,” ujar Fabby dalam Indonesia Solar Summit 2023 di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu, sebagaimana dikutp dari antaranews.com yang diposting pada 26/7/2023.

Menurutnya, hal tersebut merupakan bukti bahwa para pengembang anggota AESI turut serta aktif dalam upaya transisi energi dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.“Kami terus berjuang menjaga asa bisnis PLTS untuk selalu berkibar,” ujar Fabby.

Pada tahun lalu, pihaknya telah mengidentifikasi adanya pipeline (antrian) proyek PLTS mencapai sebesar 2,3 Giga Watt (GW) di Indonesia, yang rencananya dibangun pada 2022 sampai 2023.

Dalam kesempatan ini, pihaknya memberikan tiga alasan bahwa masyarakat harus optimistis terkait dengan pengembangan EBT berupa PLTS di Indonesia. Pertama, PLTS menjadi fenomena global dan merupakan pilihan utama bagi banyak negara dan bisnis, sebagai upaya melakukan dekarbonisasi, dan transisi energi.

Kedua, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, secara global kapasitas PLTS tumbuh pesat di luar perkiraan para analis dan perencana energi.

Ketiga, International Energy Agency memproyeksikan bahwa dari 440 GW tambahan EBT secara global pada tahun ini, dan 550 GW pada tahun depan, sekitar 66 persen akan berasal dari PLTS.

Keempat, laporan dari The Indonesian Institute for Forest and Environment (RMI) dan Bezos Earth Fund menunjukkan bahwa secara global PLTS telah tumbuh 24 persen per tahun selama lima tahun terakhir.

Sementara PLN berusaha meningkatkan kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2030 mencapai lebih dari 3 GW sampai akhir 2030. Ini merupakan angka yang besar yang dapat menjadi peluang bagi industri solar panel di Indonesia. [] Yuniman Taqwa