Ekraf Mampu Tingkatkan Lama Tinggal Wisatawan

Kehadiran ekonomi kreatif (ekraf) di destinasi wisata menjadi instrumen untuk meningkatkan waktu tinggal lebih lama. Salah satunya seni pertunjukan akan menjadi magnet yang dapat menimbulkan multiplier effect bagi peningkatan perekonomian.

Sedikitnya terdapat 16 subsektor Ekonomi Kreatif (ekraf), yakni seni rupa, desain produk, desain komunikasi visual, desain interior, arsitektur, seni pertunjukan, kuliner, fotografi, kriya, fesyen, musik, periklanan, penerbitan, televisi dan radio, aplikasi dan pengembangan permainan, serta film animasi dan video. Ke-16 sektor ini sangat menunjang industri pariwisata.

Hari Sungkari, Deputi Infrastruktur Bekraf (Foto: pelakubisnis.com

Menurut Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Dr. Hari Sungkari, tiap daerah tak mesti harus memiliki keunggulan dari ke-16 sektor itu. Tapi paling tidak, tiap daerah memiliki maskot yang mempunyai daya tarik, sehingga dapat menarik wisatawan.“

Termasuk wisata budaya! Tidak bisa menampilkan tarian setempat untuk turis seperti apa adanya. Umumnya budaya kita dibuat upacara adat, seperti kelahiran, kematian, pernikahan dan sebagainya. Harus dibungkus sedemikian rupa,” katanya kepada pelakubisnis.com. Ia memberi contoh  Thailand sebagai benchmark yang sudah pintar “membungkus” upacara adat menjadi pertunjukan untuk turis.

Hari menambahkan, membungkus tradisi lokal harus berkesan entertain, tanpa mengurangi identitas lokal. Wisatawan tetap harus tahu bahwa tarian itu berasal dari daerah itu.”Nah, inilah tugas Bekraf, merubah tradisi lokal menjadi entertain dan kekinian,” urai Hari menambahkan. Oleh karena itu, perlu menggunakan teknologi supaya lebih menarik. Misalnya seni pertunjukan, menggunakan lighting dengan efek cahaya yang membuat decak kagum penonton.

Lebih lanjut ditambahkan, pemerintah kini sedang mengembangkan lima destinasi wisata prioritas, yaitu: Danau Toba, Borobudur, Labahuan Bajo, Mandalika (Lombok) dan Likupang, Sulawesi Utara. Dari lima prioritas destinasi pariwisata itu, hanya Borobudur yang sudah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan turis. Kalau Bali, tak usah diceritrakan lagi, karena sudah dapat menyesuaikan kebutuhan pariwisata.

“Saya baru tahu tahun lalu kalau tarian Kecak yang buat  orang Spayol. Tapi kita tahu tarian itu berasal dari budaya Bali yang diset ulang untuk turis. Jadi koreografer ini paham keinginan turis,” katanya.

Artinya dalam mengemas pertujukan tak salah melibatkan kreatif dari luar agar pementasan yang ingin ditampilkan sesuai kebutuhan turis. Misalnya bila ingin menargetkan turis  asal Jepang, maka tak salah melibatkan kreatif dari Jepang untuk mengemas seni pertunjukan dan sebagainya. Selama ini belum banyak talent-talent marketing kita yang melakukan pendekatan kreatif demikian.

Pementasan Tari I La Galigo dari Bugis (Foto: Indonesia.go.id)

Hari memberi contoh tarian I La Galigo. I La Galigo ini menceritakan asal muasal Suku Bugis, Sulawesi Selatan. Sendratari ini pernah dipentaskan pada acara Pertemuan Tahunan IMF-World Bank, di Bali, Oktober 2018 dengan sangat menarik. Tapi sutradara sendratari pementasan itu orang Amerika Serikat.

“Pementasan itu sangat menarik! Tapi penonton tidak pernah bilang ini seni tari orang Amerika. No…! Tetap penonton menyebutkan ini seni tari Suku Bugis,” ujarnya sambil menambahkan kita tak usah kaku terhadap hal-hal seperti ini. Perlu kolaborasi dalam mengemas karya kreatif yang hasil akhirnya sesuai dengan keinginan turis.

Kehadiran orang asing dalam mengemas seni budaya lokal, kata Hari, dengan tidak sengaja bisa membawa market. Tapi, tetap ini hikayat orang Indonesia. Artinya, eksplorasi budaya dengan melibatkan kreator asing dalam “menjual budaya” lokal Indonesia.

Pertanyaannya bagaimana potensi lima destinasi wisata itu bisa dieksplorasi, sehingga menjadi magnet para wisatawan? Menanggapi hal tersebut, Hari memberi contoh ada beberapa daerah yang sudah dilakukan  Bekraf untuk meningkatkan potensi ekraf setempat. Walaupun tujuan awalnya tidak menaikkan destinasi, tapi untuk meningkatkan ekraf daerah.

Contoh di Pulau Komodo. Di situ ada pengrajin yang membuat kerajinan dari limbah kayu. Dulu masyarakat setempat membuat souvenir  persis seperti Komodo. Siapa turis yang mau membeli souvenir dengan ukuran seperti Komodo itu? “Kami datangkan desainer ke situ. Desainer itu mengerti market. Dari tangan desainer tersebut lahir karya-karya kreatif berbentuk gantungan kunci salah satunya dengan motif-motif komodo,” katanya serius. Rupanya masyarakat lokal tak paham kalau turis datang ke Pulau Komodo membeli souvenir berupa gantungan kunci, tempelan kulkas dan sejenisnya dengan  kekhasan lokal setempat.

Hari menambahkan, Bekraf melakukan pendampingan selama enam bulan di sana. Mengajarkan masyarakat membuat souvenir-souvenir yang dieksplorasi dari potensi daerah. Alhasil, para pengrajin di sana mulai terbuka. Mereka membuat souvenir seperti gantungan kunci, tempelan-tempelan di dinding kulkas dan sebagainya. Hasilnya? Para pengrajin di sana penghasilannya meningkat drastis, berkali-kali lipat. Bahkan, ada pengrajin yang bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp 400 juta/bulan. “Mereka juga kami ajarkan menjadi desainer, karena menjadi pengrajin value-nya tidak ada. Nilai itu ada didesain, termasuk proses produksinya,” tambah Hari.

Perlunya membangun karakter dari satu daerah. Di Lombak, misalnya, belum banyak hotel berbintang4. “Para turis mancaranegara banyak tinggal di homestay. Mereka tak perlu tinggal di hotel bintang 4 atau 5, yang penting tempat tinggalnya bersih. Masalah kebersihan ini masih menjadi kelemahan kita,’ kata Hari.

Kebetulan lanjut Hari,  Menteri Pendidikan yang baru,  Nadiem Makarim, menyebutkan,  ada tiga fokus yang diperlukan untuk pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah pembangunan karakter. Misalnya membuang sampah pada tempatnya, budaya antri, tidak menyalahkan orang dan banyak lagi lainnya. “Kita ingin membangun destinasi wisata, maka Sumber Daya Manusia (SDM) nya harus unggul. Ini  menjadi tugas politeknik-politeknik pariwisata untuk membentuk SDM  pariwisata yang berkarakter.

Ambil contoh, tour guide bukan hanya sebagai penunjang jalan saja, tapi dia juga bisa story telling. Kekuatan destinasi wisata, menurut Hari, berada pada  story telling dari objek-objek wisata, Dia harus tahu banyak sejarah-sejarah dari objek-objek wisata yang dikunjunginya. Masalah pembangunan karakter tidak cukup dilakukan pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun perlu aktif ikut membantu membangun karakter SDM di sektor pariwisata.

Menurut Hari, jangan terlalu terlalu banyak perizinan bila investor ingin masuk ke daerah. Misalnya kemarin dari Kedutaan Thailand ingin membikin film di Indonesia. Rencana itu bagus bagi promosi destinasi parawisata di Indonesia.

Ia mengambil contoh film Entrapment pada tahun 1999 yang dibintangi Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones dirilis. Karena film itu Gedung Petronas semakin dikenal. Orang jadi ingat gedung dengan arsitektur yang khas, ditambah jembatan (Skybridge-red) yang berada di ketinggian, langsung menyita perhatian dunia. Ditambah lagi, Petronas Twin Towers kala itu memiliki predikat sebagai gedung paling tinggi sedunia.

Pemerintah Malaysia memberi kemudahan bagi produser yang ingin membuat film di sana. Bahkan, pemerintah Malaysia memberi incentive tax bagi produsen Hollywood yang membuat  film di negaranya. “Jangan mikir PAD (Pendapatan Asli Daerah) di depan, jangan mikir izin, tapi dampak ekonominya yang dilihat,” kata Hari. Itu yang dilakukan Malaysia. Efek dari film Entrapment, membuat banyak masyarakat mancanegara mengunjungi Malaysia.

Bekraf memang baru bergabung dengan kementerian Pariwisata. Ekosistemnya memang harus dibangun. “Saya agak kecewa ketika bekunjung ke Belitung. Belum ada restoran yang layak. Untuk mengunjungi restoran di sana harus melewati jalan yang masih berumput, belum ditata dengan baik. Siapa yang harus menata coba?,” tanya Hari.

Padahal essensi ekonomi kreatif adalah bagaimana kita mampu mengajak turis stay lebih lama. Kalau hanya lihat gunung, lihat laut, ya dua hari cukup. Turis langsung pulang. Pertanyaan bagaimana turis bisa tinggal lebih lama, tinggal di hotel atau homestay, makanan, souvenir tidak ada?

“Kami ditantang untuk membuat creative hub di tempat-tempat destinasi wisata. Di mana para pelaku kreatif, apa itu story telling, fesyen, dan sebagainya juga ditantang. Sehingga tempat itu layak menjadi destinasi. Itulah tugas kami,” katanya serius.

Di Borobudur, misalnya, tidak bisa dipisahkan dengan Yogyakarta. Apa yang dilakukan Bekraf di sana? “Kami banyak melakukan renovasi bangunan di tempat seni pertunjukan. Di sana seni pertunjukannya sudah bagus. Diantara lima destinasi, kalau berbicara seni pertunjukan hanya di Yogyakarta yang siap,” lanjutnya. Kalau dilihat secara infrastruktur di antara lima destinasi yang paling siap adalah Yogyakarta.

Menurut Hari, seni pertunjukan menjadi magnet yang dapat meningkatkan lamanya kunjungan wisata dan multiplier effect yang dapat meningkatkan perekonomian nasional. Ini menjadi tanggungjawab Bekraf. Dengan adanya pertunjukan yang menarik, wisata akan lebih lama stay, sehingga akan sektor ekraf yang lain turut terdongkrak.

Hari meminta maaf menyebutkan, hingga saat ini  hospitality di daerah Danau Toba masih rendah. Perlu dicari jalan keluar agar potensi daya tarik daerah bisa menarik perhatian dunia. Misalnya dengan meningkatkan mutu pendidikan Politeknik Pariwisata.

“Tapi kita juga harus tahu dulu target wisata manacaranegara (wisman)nya siapa? Misalnya Jepang. Orang Jepang ke Indonesia pengen main Golf. Apakah perlu di Toba dibangun lapangan golf. Tapi hal  ini belum diputuskan. Bisa juga membangun lintasan sepeda. Kalau ini dijadikan pilihan, berarti di pinggiran Danau Toba, track-nya harus dibagusin,”tukas Hari  sambil menambahkan, “Sampai saat ini masing-masing destinasi belum diinventarisasi apa-apa saja yang akan dijual,”.

Dan hari ini hanya di Borobudur yang sudah siap dari lima destinasi unggulan lainnya. Sedangkan di Mandalika untuk sport, sedangkan Danau Toba belum kelihatan, walau banyak yang bisa dikembangkan, tapi harus ada maskotnya.

Jadi, sinergi 5 destinasi wisata prioritas,  adalah Kementerian Pariwisata menentukan maskot dari masing-masing destinasi. Kemudian ekonomi kreatif akan mengikutinya, dan PUPR akan membangun infrastrukturnya,  yang sesuai dengan maskot dari masing-masing destinasi. [] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina