Menangkap Perubahan Gaya Milenial Muslim

Paradigma tren milenial kini mulai berubah. Dulunya cenderung ke fit and fun, tapi kini mereka mengimbangi hidup dengan ke play hard, pray harder. Bagaimana gaya hidup milenial muslim masa kini?

Terjadi perubahan perilaku di masyarakat ketika mereka dipaksa tinggal di rumah karena pandemic Covid-19. Mereka banyak terpapar  media sosial yang menyebabkan pasar muslim mencari kesunyian, keteduhan dengan cara Islami, seperti sholat, baca Al-Qur’an dan banyak berdoa.

“Intinya, spiritual semakin meningkat,  ketika pandemi karena kondisinya  serba stress, serba bingung, cari keteduhannya dengan  banyak membaca Al-Qur’an, banyak merenung, banyak kontemplasi menurut cara-cara Islam, “ kata Yuswohady, Pengamat Pemasaran Inventure  pada momen webinar Millennial Muslim Megashift yang terselenggara melalui aplikasi zoom.

Fenomena itu yang disebut Yuswohady sebagai Islam Mindfulness. Intinya, tren orang semakin banyak berdoa, sholat banyak baca Alquran itu dilakukan untuk mnghadapi kondisi yang terjadi sekarang ini. Bila kita membuka google, membaca berita, membaca tulisan-tulisan di social media membuat kita membutuhkan obat untuk menyendiri yang dijalankan secara konvensional dengan  yoga atau zumba misalnya. Sementara Islam punya cara sendiri yang disebut penulis buku “Millennials Kill Everything” ini  sebagai Islam Mindfulness.

Sementara menurut Farid Fatahillah, Senior Business Analyst  Inventure, milenial muslim sekarang ini hidupnya seimbang. Kalau  dua tahun yang lalu kita menyebut  milenial muslim jam now itu dengan sebutan Fit and Fun nya seimbang, kini mereka mengimbanginya dengan play hard, pray harder.

Menurutnya Islam sendiri mengajarkan tentang keseimbangan dunia akherat.  Itu sebabnya, bila bicara milenial muslim sekarang ini hidupnya seimbang antara bekerja/bermain dan beribadah.  “Mereka mencari jati diri, bereksplorasi, tapi mereka juga mencari wawasan Islam semakin kencang,” kata Farid serius seraya menambahkan,   mereka  nongkrong di kafe, jalan-jalan ke mall, traveling,  tapi tetap memikirkan keuangan untuk mencicil rumah dan tetap menjalankan ibadah.

Makanya sekarang di mall-mall itu musholla atau masjidnya bagus-bagus  untuk menarik milenial muslim mau datang ke mall. Seperti resto siap saji McDonald’s itu terpajang gambar musholla cukup besar. Itu menunjukkan  bahwa di resto itu tak sekedar bisa makan tapi bisa sekalian ibadah juga.

Meski pun  pandemi, kata Farid,  milenial ini selalu mencari pengalaman baru yang menyenangkan, unik dan otentik.  Ini ciri millennial sekarang! Play hard pray harder!

Karena pandemi, para milenial banyak mencari travel  halal, wisata halal atau lebih tepatnya yang ramah muslim, dimana tempat ini memberi kemudahan akses beribadah dan menyajikan makanan halal. “Makin penting di masa pandemi ini sektor wisata mencari sesuatu yang lebih sustainable dan bertanggungjawab (responsible) terhadap wisatawan yang datang.  Dan wisatawan muslim milenial konsern  menjaga kesehatan dan mencari destinasi wisata halal,” tambahnya.

Pencarian di google misalnya,  mengkonfirmasi tentang halal tourism atau wisata halal itu lumayan meningkat dan terus meningkat. Pada 2 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021 pencarian di google trends menunjukkan  wisata halal  yang paling banyak dicari.

Selain itu, tambah Farid,  Wego-Pear Anderson dalam studinya mengonfirmasi,  terjadi perubahan preferensi dimana muslim traveler in the new normal (2020),  wisata halal yang banyak dicari saat ini adalah yang mengedepankan faktor  “Safety & Hygiene”.  Dalam 10 tahun terakhir ini istilah green menjadi kata sakti untuk komunikasi pemasaran.  Hal ini terjadi karena sudah semakin banyak konsumen yang peduli lingkungan  dan keberlanjutan.

Lebih lanjut ditambahkan, Safety and Hygiene menjadi kata kunci yang banyak dicari ketika konsumen milenial mencari destinasi  wisata. “CHSE (cleanliness,  hygiene,  safety and environment). Tren new hygiene untuk traveling.  Termasuk wisata halal itu sudah mencakup CHSE selain kemudahan akses beribadah dan mendapatkan makanan halal,”tutur Farid dalam webinar Millennial Muslim Megashift.

Di samping itu, kata Farid, trennya pun belakangan mengarah ke New-A atau  New Attraction.  Tahun  kemarin tren wisata di masa pandemi,  salah satunya konsep nature, eco, wellness dan adventure (New-A) yang menjadi  magnet baru kaum  milenial wisata yang suka hal-hal natural dan penuh petualangan. “Wisata alam  menjadi pilihan karena social distancing-nya lebih terjaga.   Tidak seperti di ruangan tertutup seperti mall, theme park atau hotel.  Ada juga tren travel to cycle. Traveling ke Bali, Banyuwangi atau ke Yogyakarta membawa sepeda,” tandasnya.

Kemudian, muncul tren Muslim Wear Simple, Stylish, Sustainable.  Sekarang ini  tren pakaian muslim cenderung mengarah ke minimalis dan casual.  Kalau dulu baju koko hanya dipakai pada saat Sholat Jumat, acara pengajian dan Sholat Idul Fitri.  Tapi sekarang modelnya semakin minimalis, simpel dan casual  yang akhirnya  menjadi pilihan untuk bisa dipakai kemana saja. Konsepnya  baju koko tapi modelnya semakin tidak seperti baju koko  yang jadul.

Ada tren celana angkle atau celana cingkrang di atas mata kaki. Kalau dulu dianggap radikal, tapi sekarang termasuk bagian dari stylish.  Termasuk dalam katagori  sustainable seperti  Zayana Organic, mereka membuat heejab  menggunakan kain organic dan mengusung mukena yang dikomunikasikan bahannya paling adem dimana mereka menggunakan konsep 3S (simple, stylish dan sustainable).

Munculnya tren Muslim Wear Simple, Stylish, Sustainable  ini menggelitik pemilik brand besar sekelas Disney bekerjasama dengan perusahaan  Malaysia karena mereka memandang cukup legit pasar milenial muslim di bisnis fesyen. Mereka memberanikan diri tak cuma pakai kerudung atau heejab ‘jadul’ sekarang lebih bervariasi. “Seperti brand Uniqlo yang berkolaburasi dengan desainer asal Inggris berdarah Jepang, Hana Hajima, dia membuat  salah satu seri heejab,”ungkap Farid.

Yang menarik Disney  berkolaburasi dengan brand fesyen dari Malaysia  namanya Duck. Mereka membuat seri dengan menggunakan karakter Elsa  Frozen. Dibuat seri heejabnya dengan brand Disney X Duck.  Bahkan Eiger yang kita kenal sebagai brand fesyen outdoor  sekarang juga heejab series, baju koko bahkan membuat sajadah juga.  Karena potensinya sangat terbuka lebar di segmen milennial muslim khususnya  untuk sektor fesyen.

Pencarian dari Google terkait muslim brand ini naik 2,5 kali lipat dari periode tahun sebelumnya  selama 2020 – 2021 kemarin.

Sementara  dari sisi kasus sosial, munculnya Emphatic GenerationWelcome to Emphatic Society. Pandemi telah menciptakan satu masyarakat baru yang  penuh empati . Khususnya dari milenial muslim banyak yang melakukan penggalangan dana untuk menolong sesama  baik untuk yang terdampak Covid maupun dari bencana yang lain. 

Berdasarkan data google, pencarian yang terkait dengan kata ‘menyumbangkan’  naik 150%.  Sedangkan data yang terkait dengan  kata paket sembako naik 200%. Dikonfirmasi lagi dari data Gopay digital outlook mereka  menunjukkan  80% responden pernah berdonasi  selama 6 bulan terakhir karena  alasan sosial dan spiritual (agama). Hal ini membuktikan telah terjadi Emphatic Society dari masyarakat yang mempunyai solidaritas tinggi, masyarkat yang suka gotong-royong dan makin naik trennya.

Berdasarkan data google, pencarian yang terkait dengan kata ‘menyumbangkan’  naik 150%.  Sedangkan data yang terkait dengan  kata paket sembako naik 200%. Dikonfirmasi lagi dari data gopay digital outlook mereka  menunjukkan  80% responden pernah berdonasi  selama 6 bulan terakhir karena  alasan sosial dan spiritual (agama). Hal ini membuktikan telah terjadi Emphatic Society dari masyarakat yang mempunyai solidaritas tinggi, masyarkat yang suka gotong-royong dan makin naik trennya.

Menurut survei Gopay-Kopernik (2021), frekuensi donasi generasi milenial lebih banyak dibanding generasi yang lain, yaitu sebanyak 1,5x per bulan lebih besar jika dibandingkan Gen-X dan Gen-Z yang besarnya masing-masing 1,4x dan 1,2x. Tak hanya itu, rerata nominal donasi pun mengalami peningkatan semenjak pandemi COVID-19 baik donasi digital maupun non-digital. 

Senada dengan temuan tersebut, Ivan menambahkan bahwa, “maraknya aksi sosial dan tingginya tingkat donasi di kalangan masyarakat Indonesia tak lepas dari kebiasaan Gen-Sy yang menganggap giving sebagai lifestyle baru yang keren dan cool.{] Siti Ruslina/Ilustrasi: geotimes.id