Antara Menjual dan Membangun Brand

Pemilik brand atau pemasar belum seluruhnya memanfaatkan media digital sebagai instrumen membangun brand. Mereka lebih memanfaatkan channel digital sebagai sales, karena merasa panik melihat digital disruption yang mengkhawatirkan bisnis model dijalankan secara offline selama ini akan tergilas secara online!

Satu dekade terakhir ini penggunaan media digital sebagai instrumen pemasaran mulai menunjukkan tren positif. Sinyal itu dapat dilihat dari alokasi belanja iklan media digital yang terus meningkat. Bila pada 2013 belanja iklan media digital masih dibawah 5%, tapi tahun lalu meningkat menjadi 20%. Global Digital Ad Trends Report dari PubMatic, memprediksi belanja iklan untuk media digital mencapai $2,6 miliar (sekitar Rp36,5 triliun) pada tahun ini atau meningkat 26 persen dibanding tahun lalu.

Trend itu didorong karena penggunaan internet dan smartphone yang terus meningkat. Berdasarkan data, sekitar 58% penduduk Indonesia menggunakan internet, baik dalam bentuk sosial media atau pun  akses lainnya. Data lain menyebutkan bahwa pengguna smartphone di Indonesia mencapai 100-an juta. Fenomena ini menunjukkan bahwa akses informasi ada di genggaman tangan kita. Dari smartphone tersebut, apa pun arus informasi dan apa pun transaksi dapat dilakukan.

Sementara skala ekonomi digital di Indonesia sangat besar angkanya. Pemerintah mentargetkan sampai 2020 nilai ekonomi digital mencapai US$ 130 milyar. Pemerintah pun membangun ekosistem ekonomi digital, baik dalam bentuk infrastruktur maupun mendorong tumbuhnya startup -startup  baru dalam rangka menghadapi era ekonomi digital saat ini.

Kini pelaku usaha saat ini memanfaatkan teknologi digital sebagai instrumen penjualan. Indikatornya bermunculan marketplace sebagai platform untuk menjual produk kian marak satu dekade terakhir ini. Investor asing melihat Indonesia sebagai peluang besar dalam mengembangkan bisnis digital. Jumlah penduduk yang besar, kelas menengah yang terus meningkat, menjadi alasan mengapa mereka tertarik berinvestasi di sini.

Fenomena itu jangan dilihat hanya sebagai instrumen menjual produk semata. Tapi, perspektifnya harus lebih dari itu. Teknologi digital dapat dioptimalkan sebagai marketing digital yang bernilai strategis dalam rangka membangun brand. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemilik brand bahwa era digital saat ini akan merubah landscape marketing dalam membangun  brand.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dalam sambutan pembukaan Pameran Pasar idEA, 15 Agustus lalu, e-commerce merupakan cara baru kita berdagangan. Hal ini merupakan keniscayaan.   Ajang Pasar idEA 2019 ini diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan industri UMKM  guna  mendorong laju sektor ekonomi digital di tanah air.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara bersama Ketua idEA, Ignatius Untung, sedang meninjau Pameran Pasar idEA/foto: pelakubis.com

“Pasar idEA yang menggandeng UMKM ini akan bisa memberi dampak positif dalam mengantisipasi serbuan produk asing di industri e-commerce. Mudah-mudahan event ini menghasilkan,   bukan hanya mencari  nilai transaksi melainkan juga sosialisasi cara baru  tentang bagaimana kita berdagang, karena biar bagaimana pun perubahan sudah pasti terjadi, mindset kita harus berubah. Jika dulu pemerintah hanya berperan sebagai regulator,  urusannya regulasi dan dasar hukum.  Sekarang peran pemerintah bukan hanya regulator tetapi fasilitator bahkan menjadi akselerator,”papar Rudiantara  dalam Opening Ceremony Pasar idEA. Ia berharap,  suatu hari UMKM sukses menjadi tulang punggung dalam produk domestik  bruto (PDB) Indonesia.

Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Ir. Mohammad Rudy, e-commerce berperan sangat signifikan untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.  Menurutnya, perdagangan berbasis elektronik (e-commerce) mendorong efisiensi dalam kegiatan ekonomi, inovasi  dan daya jangkau yang lebih luas.

Bila sebelumnya pemilik brand mengandalkan marketing komunikasi secara konvensional, dengan mengandalkan kekuatan media mainstream, tapi kini revolusi teknologi informasi berbasis internet menjadi keniscayaan dalam membangun brand.  Kehadiran internet sebagai media komunikasi atau sebagai media pemasaran telah membawa banyak perubahan dalam strategi pemasaran.

Boleh jadi pakem-pakem pemasaran dalam memilih media lebih banyak pilihan. Pemasaran tidak lagi dilakukan secara tradisonal melalui offline, tapi belakangan ini dilakukan secara lebih modern atau secara  online dengan menggunakan berbagai peralatan teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai media komunikasi modernumum digunakan oleh organisasi atau perusahaan adalah website, surat elektronik, affiliate marketing, keyword advertising, dan online advertising.

Tren pemasaran melalui media digital itu karena ada perubahan consumer behavior. Hadirnya platform-platform e-commerce satu dekade terakhir ini, menjadi salah satu peendorong marketing digital berkembang pesat belakangan ini.

“Kita harus lebih alert terhadap peranan kegiatan pemasaran digital,  karena ini memang sudah ‘Zaman Now’, tetapi jangan ‘kebablasan’, yaitu  melupakan peranan media konvensional – non-digital.  Dengan kata lain, seolah offline tidak penting dan tidak perlu dipakai lagi. Digital semakin meningkat peranannya dalam pembangunan brand, karena sebenarnya digital itu mempermudah berbagai aspek kehidupan konsumen. Bagi brand, digital merupakan channel untuk berkomunikasi, channel untuk berjualan, untuk memahami perilaku konsumen, dan lain-lain,” kata Amalia E. Maulana, Ph.D, Branding Consultant & Ethnographer Director PT. ETNOMARK Consulting kepada pelakubisnis.com.

Amalia E. Maulana, Ph.D, Branding Consultant & Ethnographer Director PT. ETNOMARK Consulting /foto: doc. pribadi

Menurut Amalia di zaman dimana komunikasi one-to-one, dan many-to-many sudah bisa dilakukan dengan biaya yang sangat rendah melalui internet, tentu ini entry barrier masuk ke bisnis. Tidak harus memiliki budget besar karena media massa bukan lagi sebuah keharusan. Pengelolaan yang optimal media internet termasuk media sosial menggantikan peranan media massa. Pesan tentang produk dan services bisa disampaikan secara lebih efektif dan efisien, biaya rendah.

Lebih lanjut ditambahkan, distribusi produk ke prospek tidak harus lagi melalui jaringan distribusi yang kuat dan merata (harus menyediakan produk di hampir setiap outlet), maka ini juga faktor menurunnya entry barrier bagi pemula untuk masuk ke kancah bisnis. Channel distribusi tradisional digantikan dengan channel e-commerce, online purchase.

Sama seperti komunikasi, pengelolaan online purchase, kata Amalia,  juga relatif mudah. Situasi ini disebut sebagai sebuah tahap disintermediation, yaitu proses removal atau menghilangkan intermediaries atau penghubung antara pemilik brand dengan prospek dalam supply chain.

Jadi, tanpa penghalang biaya komunikasi yang tinggi dan biaya distribusi yang tinggi, semua orang pada dasarnya bisa mulai membuka lapak, mulai berdagang melalui media yang diciptakannya sendiri, melalui channel distribusi yang dikelolanya sendiri. Itulah sebabnya bisnis startup bermunculan seperti jamur. “Kunci keberhasilan bisnis baik itu startup ataupun yang sudah established, karena itu bergeser. Modal atau investasi yang besar bukan lagi faktor penentu keberhasilan. Yang menjadi rahasia suksesnya adalah kreatifitas dan pemahaman konsumennya,” jelas Amalia.

Bagaimana secara kreatif bisnis ini dibangun, secara kreatif komunikasinya bisa menembus belantara seribu satu media lain yang juga ikut bertempur? Pemahaman konsumen juga menjadi kritikal. Ini yang seringkali, kata Amalia,  disepelekan. Consumer insights yang mendalam, mengerti berbagai aspek kebutuhan konsumennya secara tepat, masih jarang dilakukan dalam persiapan bisnis.

Sementara Agus Nurudin, Managing Director PT Nielsen Indonesia mengatakan, menjadi pelaku bisnis sekarang ini tak bisa hanya berpangku pada satu lini saja. Misalnya lewat online saja, karena terbukti mereka masih survey ke toko.  Sebaliknya, kalau hanya melihat secara offline saja, konsumen akan menganggap bahwa perusahaan ini  belum maju.

“Seperti media print! Saat ini produk otomotif masih beriklan di media cetak. Apalagi di segmen Milenial.  Mereka akan tetap  mengecek kesana-sini.  Lebih kritis.   Apa word of mouth saja cukup untuk menjual mobil?  Saya tak yakin!, kata Agus kepada pelakubisnis.com.

Coba lihat Kosmetik Wardah! Dia pakai cara social marketing yang terintegrasi.  Punya innovation strategy yang sangat agresif. Kalau sudah bicara marketing strategy kita tidak bisa mengeneralisasi   hanya dengan satu cara ini the most effective marketing strategy.

Di era sekarang market leader tidak bisa tinggal diam. Konsumen perilakunya  berubah, tambah Agus, berdasarkan digital disruption  ini. Apa dampaknya? Perusahaan harus melakukan review business model. Apa masih fit dengan perilaku konsumen sekarang?

Di perbankan kita bicara soal fintech.  Bayangkan, Capex BCA  untuk teknologi informasi itu, tambah Agus,  di atas Rp 5 trilyun. Kenapa harus keluar sebanyak itu?  Karena semua perusahaan melakukan review business model. GoPay klaimnya subscribe mereka  sudah 30 juta.  Sementara bank  account di Indonesia baru 70 juta orang.   Harus revisit business model , salah satunya dengan  The Power of Sharing seperti  OVO gandeng Grab.  Tak menutup kemungkinan pakai MRT nanti tinggal tempelkan handphone dengan QR Code.  Itu solusi untuk masyarakat. Inovasi dan kreatifitas yang membantu memberikan solusi bagi masyarakat. Berikanlah sebuah produk yang bernilai bagi masyarakat!

Suasana Pasar idEA, antara menjual produk dan membangun brand/foto: pelakubisnis.com

Sementara Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, penjualanan lewat digital lebih bisa diukur dan bisa dievaluasi, sehingga enak buat mereka untuk menentukan migration-nya. Sayangnya yang kita harapkan sebetulnya digital dipakai bukan hanya untuk sales channel, tapi juga marketing channel atinya masuk digita bukan melulu untuk jualan, koq.

Kan prosesnya sebelum terjadi penjualan, ya harus nge-trade dulu. Mereka nge-trade masih banyak di offline. Contoh,  tv masih besar, billboard masih besar. Jadi, bisa dibilang presentation sudah ada, tapi belum untuk membangun brand, masih untuk berjualanan.

Menurut Untung lima  tahun yang lalu pemilik platform yang datangi ke brand. Kalau sekarang pemilik brand yang datang ke pemilik platform: “Eh, saya mau jualan ke tempa kamu, dong. Tapi belum saya membangun brand ke tempat kamu, dong. Ada tapi belum banyak, masih sangat sedikit,” tambah Untung

Ya sesuatu, walaupun progress-nya significant menjadikan digital sebagai sales channel. Lima tahun yang lalu, belum, pemilik platform yang datangi ke brand. Kalau sekarang mereka yang masuk ke pemilik platform: “Eh, saya mau jualan ke tempa kamu, dong”. Tapi belum saya membangun brand ke tempat kamu, dong. Ini belum, walau ada tapi belum banyak, masih sangat sedikit.

Untung menanbahkan kaum millennial  orang yang jujur. Contoh film, ketika dia bicara film  di facebook, teman yang membacanya, langsung menonton. Apakah digital ini sesuatu yang sukses? Sukses betul (viral). Tapi effort tidak direncanakan oleh pemilik brand. Jadi, konsumen menggunakan digital untuk membicarakan soal brand. Tapi pemilik brand-nya tidak cukup melakukan dalam upaya membangun brand.  “Ini lho, saya melakukan ini supaya arahnya ke sana,” tambah Untung. Jadi secara tidak sengaja pemilik brand diuntungkan. walaupun kalau kita ngomong  positif reference diuntungkan, tapi kalau berbicara negative reference dirugikan. Kan banyak juga brand dibicarakan buruk di digital.

“Menurut saya, pemilik brand ini masih belajar tentang digital dalam arti yang paling gampang adalah jualan. Kenapa begitu? Karena pemain digital itu terlalu panik dalam arti: ini channel baru, dia harus berusaha rebutan dengan channel lama. Caranya rebutan dengan channel lama supaya bisa menang adalah dia harus mempunyai competitiveness. Competitiveness-nya apa? Value yang paling mahal dari proses ini semua, kan sebenarnya jualan. Terjual nggak pada akhirnya semua.  Itu terus yang didorong dan itu yang bisa diukur dari online. Kalau offline nggak bisa diukur. Masang billboard yang terjual berapa, nggak bisa diukur. Kalau online bisa diukur,” lanjut Untung

Seharusnya setiap brand owner harus punya strategi bagaimana harus membangun brand. Brand guide seperti apa, personality brand  seperti apa. “Itu dulu yang harus punya, baru untuk masuk ke channel mana pun nggak ada masalah,” jelas Untung.

Sementara menurut Managing Partner Inventure Yuswohady, Peran milenial sebagai recommender  sangat besar karena suka sharing product dan komunikasi kita. Kalau bicara Gojek,    merek-merek yang memang lahir di era digital itu tak sulit melakukan penetrasi pasar karena mereka  sudah bersentuhan dari kecil dengan dunia digital. Tapi bagaimana dengan merek lama bisa mensinergikan kegiatan  pemasarannya. Bagaimana dengan Baby Boomers?  Contoh yang bisa diimplementasikan! Dulu kita mengatakan, brand makin tua itu makan hebat.  Contoh CocaCola, General Electric, The Sosro,  Aqua dan sebagainya. Tapi milenial ini tidak mau disamakan dengan papanya.  Brand-brand papa nya dia gak mau, maunya brand sendiri.  Makanya muncul merk-merk seperti The Pucuk Harum atau LeMineral misalnya.

Milenial ini mencari referensi yang lebih baru yang lebih konek dengan dia.  Makanya hati-hati dengan brand-brand yang sudah tua ini, karena dia harus cepat beradaptasi dengan menggaet pasar milenial ini. Kenapa mesti milenial? Karena generasi X dan generasi baby boomers itu nantinya  akan habis digilas generasi milenial. Ini proses alam. Ketika pergantian generasi, brand lama yang basis pelanggannya kebanyakan Gen X dan Baby Boomer, dia harus bisa memilah customer, lihat opini  Yuswohady bertajuk: Milenial Pembunuh Berdarah Dingin, yang dimuat di pelakubisnis.com, April 2019.

Jadi, memang brand  harus dimudahkan atau dibuat konek dengan milenial.  Diantaranya melakukan rebranding, repositioning,  agar brand nya lebih muda  dan millenial friendly. Brand yang disukai generasi milenial. Kalau dia tak merubah imagenya, masih berpikir bahwa dia seperti 20-30 tahun lalu dan basis pelanggan di  Gen X dan Baby Boomer, takutnya segmen milenial gak mau karena tak identik dengan dirinya. Mereka akan memilih  brand yang sesuai dengan jaman dan era nya milenial.

Kini  Tinggal tergantung pemilik brand. Mau tetap eksis di era millennial ini atau sebaliknya. Remuk deram ditelah-brand-brand baru di era digital saat ini. Anada pilih mana?[] Siti Ruslina/Yuniman Taqwa